Riset untuk daerah terpencil dan terluar masih minim sehingga perlu ditingkatkan. Hal itu penting untuk mewujudkan pembangunan yang merata di negara berkembang, seperti Indonesia.
Upaya untuk mendorong pengembangan riset di daerah terpencil menjadi salah satu topik pembahasan dalam pertemuan ilmuwan regional Asia Pasifik yang berlangsung pada penyelenggaraan Indonesia Science Expo (ISE) 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten, Kamis (24/10/2019).
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Siswa-siswi melihat produk inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi terkini dalam penyelenggaraan Indonesia Science Expo (ISE) 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten, Rabu (23/10/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Laksana Tri Handoko mengatakan, riset mesti berorientasi pada misi, yaitu bagaimana mengarahkan riset untuk lebih bisa memecahkan problem-problem yang spesifik di masyarakat dalam suatu negara. Riset berorientasi misi lewat skema pendanaan riset akan berimplikasi pada perubahan sosial dan pembangunan secara umum.
”Untuk itu, dalam pertemuan kali ini kami juga mendorong pengembangan riset di daerah-daerah terpencil dan terluar. Diperlukan upaya yang lebih serius untuk membangun daerah-daerah tertinggal melalui dana insentif riset,” katanya.
Menurut Handoko, Indonesia sampai saat ini masih tertinggal dalam riset karena critical mass yang rendah. Critical mass adalah jumlah sumber daya manusia (SDM), fasilitas, dan anggaran yang diperlukan untuk mendukung aktivitas profesional lembaga penelitian.
”Sebenarnya anggaran yang tersedia cukup besar. Tahun ini, anggarannya mencapai Rp 37 triliun. Namun, karena terpencar-pencar di sekitar 4.000 universitas dan 74 lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) pemerintah akhirnya sulit bergerak,” tuturnya.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Perwakilan dari berbagai negara berfoto bersama pada pembukaan Indonesia Science Expo (ISE) 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten, Rabu (23/10/2019). ISE 2019 digelar hingga Sabtu (26/10).
Handoko mengatakan, riset untuk daerah terpencil bisa dilakukan di mana saja, dan tidak harus dilakukan di daerah tersebut. Sebab, yang paling penting adalah riset yang dilakukan itu bisa menjawab masalah-masalah yang memang riil ada. ”Riset di Jakarta bisa saja untuk menjawab masalah di Papua,” ujarnya.
Meskipun demikian, pengembangan riset di daerah-daerah terpencil dan terluar tetap perlu dilakukan perguruan tinggi di daerah tersebut. Hal itu setidaknya sudah dilakukan dua perguruan tinggi berbasis teknologi di Indonesia, yaitu Universitas Teknologi Sumbawa di Nusa Tenggara Barat dan Institut Teknologi Del di Toba Samosir, Sumatera Utara.
”Pada umumnya, sulit sekali mengembangkan kampus berbasis teknologi di daerah-daerah terpencil dan terluar, yang notabene jauh dari ibu kota. Namun, Universitas Teknologi Sumbawa dan Institut Teknologi Del bisa menjawab masalah itu,” kata Handoko.
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS–Pengunjung melihat produk inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditampilkan dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja pada penyelenggaraan Indonesia Science Expo (ISE) 2019 di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang, Banten, Rabu (23/10/2019).
Kapasitas SDM
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Teknologi Sumbawa (UTS) Arief Budi Witarto mengatakan, tantangan terbesar dalam pengembangan riset dan inovasi di daerah luar Jawa adalah ketersediaan SDM yang mumpuni. Di UTS misalnya, doktor masih sedikit. Hampir 90 persen, dosen baru S-2 dan minim pengalaman.
”Meskipun peluang untuk mengembangkan riset di luar Jawa itu cukup besar, seringkali mereka tidak bisa menangkap peluang itu karena belum berpengalaman,” katanya.
Untuk mengembangkan riset di daerah, menurut Arief, dana insentif riset itu memang penting, namun lebih penting lagi adalah memperkuat SDM. Jika tidak demikian, riset yang dilakukan di daerah hanya mengikuti riset yang sudah dilakukan di Jawa.
”Kami berharap pemerintah bisa memberikan perhatian dalam pengembangan SDM di daerah,” ucapnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Laksita Kirana dan Satria Devriyanta menunjukkan purwarupa alat bantu pembersihan cairan pada luka dengan teknologi vakum hasil karya mereka dalam pameran Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indonesia Science Expo/ISE) 2019 di ICE BSD, Tangerang, Banten, Rabu (23/10/2019).
Dengan keterbatasannya, UTS kini telah memiliki Science and Technopark Sumbawa. Itu akhirnya mendorong dosen dan mahasiswa melakukan penelitian untuk membuat inovasi suatu produk. Salah satu produk yang sudah dibuat, yaitu mesin pencacah batang jagung dan daun lamtoro untuk pakan ternak.
”Sekarang, kami juga sedang membangun pabrik pakan udang dengan investasi sebesar Rp 40 miliar. Kami ingin memproduksi pakan udang untuk memenuhi kebutuhan pakan udang di daerah Sumbawa dan sekitarnya,” kata Arief yang juga menjabat sebagai Direktur Science and Technopark Sumbawa.–JUMARTO YULIANUS
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 25 Oktober 2019