Keberadaan miliaran mikroorganisme yang berkoloni di dalam pencernaan kita terbukti berperan penting bagi kesehatan. Selain membangun imunitas, mikroorganisme ini juga bisa membantu tubuh melawan berbagai penyakit mematikan. Terganggunya pola hidup modern cenderung merusak keseimbangan mikroorganisme ini.
Pentingnya mikrobioma pencernaan ini banyak diungkapkan para peneliti dalam Konferensi Pangan ASEAN yang ke-16 di Denpasar, pekan lalu. Salah satu pemateri, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Endang Sutriswati Rahayu menyebutkan pentingnya gut microbiome atau mikroorganisme yang hidup di pencernaan terhadap kesehatan tubuh.
HTTPS://WWW.GENOME.GOV/IMAGEGALLERY/VIEWIMAGE/?IMAGEID=30395469313–Mikrobioma yang ada dalam tubuh manusia dan terdiri atas berbagi mikroorganisme hidup sangat memengaruhi kesehatan manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Saat ini penelitian tentang gut microbiome ini berkembang pesat seiring kemajuan teknologi Next Generation Sequencing (NGS),” kata Endang, yang dihubungi Kompas di Jakarta, Minggu (20/10/2019).
Kajian oleh Endang dan tim yang diterbitkan di World Journal of Gastroenterology (2019) ini menemukan, populasi mikrobioma anak-anak di Indonesia lebih tinggi dibandingkan orang tua. Kelompok bakteri yang paling dominan adalah Clostridium, Prevotella, Atopobium, Bifidobaterium, dan bakteoides. Tingkat Clostridium perfringens pada populasi di Yogyakarta lebih rendah dibandingkan di Bali.
Menurut Endang, keseimbangan dan keragaman mikrobioma menjadi kunci bagi kesehatan. Individu yang tidak sehat atau orang-orang yang mengalami masalah obesitas, mikroorganisme di tubuhnya cenderung tidak seimbang dan kurang keragamannya.
Riset terbaru oleh para peneliti di Institute for Biomedical Sciences di Georgia State University (GSU) di Atlanta telah mengidentifikasi adanya mikrobiota usus atau mikroorganisme yang dapat mencegah dan menyembuhkan infeksi rotavirus. Riset dipublikasikan di jurnal Cell edisi Oktober ini, seperti diberitakan Medical News Today.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan, setiap tahun 215.000 anak usia di bawah lima tahun di seluruh dunia meninggal karena diare parah. Infeksi rotavirus yang tidak dapat diobati bertanggung jawab terhadap mayoritas kasus ini.
”Studi kami menunjukkan bahwa penyebab utama parahnya infeksi rotavirus karena terganggunya komposisi mikrobiota pencernaan,” kata Andrew Gewirtz dari GSU.
Para peneliti menemukan satu spesies bakteri di dalam pencernaan, yaitu bakteri filamentous tersegmentasi (SFB) yang berperan penting menentukan resistansi individu untuk infeksi rotavirus. Bakteri ini juga mengurangi kerusakan yang disebabkan rotavirus dengan mengganti sel epitel yang terinfeksi dengan yang baru dan sehat.
”Ini penemuan dasar baru yang harus membantu memahami kekencangan terhadap infeksi rotavirus,” catatan Gewirtz.
Menghilang
Riset terpisah oleh peneliti dari Universitas Trento dan Eurac Research Itali dari Bolzano yang dipublikasikan di jurnal Cell Host & Microbe menyebutkan, pola makan dan kebersihan di negara Barat telah menurunkan jumlah dan variasi bakteri yang membantu pencernaan. Penipisan mikrobioma ini telah meningkatkan prevalensi alergi, autoimun, dan munculnya penyakit terkait pencernaan seperti obesitas.
Sebelumnya, para ilmuwan dari Eurac Research berhasil mengurutkan DNA fosil manusia atau disebut ”Iceman” yang ditemukan di balik lapisan es Pegunungan Alpen Ötztal di perbatasan Italia dengan Austria. Para peneliti dari University of Trento kemudian membandingkan mikrobioma dari fosil ini dengan populasi non-Barat kontemporer, terutama dari Tanzania dan Ghana yang tidak makan makanan olahan.
Studi yang difokuskan pada Prevotella copri, mikroba banyak ditemukan di Iceman yang diperkirakan berumur 5.300 tahun. Diketahui bahwa P. copri terdiri dari empat clades atau kelompok taksonomi dengan leluhur sama. Iceman diketahui memiliki tiga dari empat clade P. copri. Kajian terpisah menemukan, empat clade dari P. copri juga ditemukan dalam sampel tinja yang memfosil dari Meksiko yang berusia lebih dari seribu tahun.
”Kami kemudian memperhatikan bahwa setidaknya tiga dari empat clades ini hampir selalu ada pada populasi yang non-Barat, tetapi jauh lebih jarang pada individu di Barat,” kata Nicola Segata, koordinator studi.
Melalui sampel ”kuno” ini, para peneliti dapat mempelajari evolusi P. copri. Disimpulkan bahwa bakteri ini telah berada dalam pencernaan manusia sejak awal sebelum keluar dari benua Afrika, tetapi kemudian menghilang dalam kehidupan manusia modern di Barat. Dengan kata lain, kehidupan modern di Barat telah menyebabkan hilangnya bakteri ini dalam pencernaan mereka secara bertahap.
Perubahan pola dan ragam makan, serta kebersihan, diduga berpengaruh menghilangkan bakteri ini. ”Kita masih tidak tahu apa konsekuensi biomedis dari perubahan mikrobioma ini. Tetapi, diduga membawa konsekuensi besar,” katanya.
Oleh AHMAD ARIF
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 21 Oktober 2019