Center for Plasma Research Universitas Diponegoro Semarang tak berhenti berinovasi. Setelah memproduksi mesin ozon pegawet sayuran dan penyaring udara kotor, kini CPR mengembangkan Medical Ozone.
Center for Plasma Research atau CPR, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro Semarang tak berhenti berinovasi. Setelah memproduksi mesin ozon pegawet sayuran dan penyaring udara kotor, kini CPR mengembangkan Medical Ozone atau mesin penghasil ozon untuk medis.
Plasma merupakan gas yang terionisasi atau teknologi yang memotong rantai oksigen. Melalui teknologi itu, dapat dihasilkan ozon, sehingga kerap dikenal sebagai plasma ozon. Sementara ozon dapat digunakan untuk berbagai macam keperluan, salah satunya terapi medis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Pegawai Teaching Industry Universitas Diponegoro menunjukkan mesin Medical Ozone di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (15/10/2019). Alat itu itu menghasilkan ozon dari oksigen murni, yang dapat dimanfaatkan untuk penanganan medis.
Saat ini, terdapat sejumlah klinik terapi ozon, baik untuk kecantikan maupun penyembuhan luka, terutama akibat diabetes. Namun, klinik-klinik tersebut masih menggunakan mesin impor. Sementara seluruh komponen mesin yang disebut M’Ozone dari dalam negeri, kecuali pada tabung gas.
“Untuk evidence-based (basis bukti), kami mengacu standar Eropa. Kami mempelajari semuanya. Teknologi, komponen, daya, aliran, hingga cara kerja, semua terstandar,” kata Guru Besar Fakultas Sains dan Matematika Undip, yang juga pendiri CPR FSM Undip, Muhammad Nur, Senin (14/10/2019).
Nur menjelaskan cara kerja mesin. Oksigen murni dari tabung masuk ke reaktor, hingga dihasilkan ozon dengan tingkat pilihan tingkat konsentrasi 50 part per million (ppm) atau 100 ppm. Ozon dapat dimanfaatkan untuk terapi bagging (gelembung) atau untuk pelarutan pada minyak, air, dan gel.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Guru besar Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro, Muhammad Nur (kiri) menunjukkan mesin Medical Ozone di Pusat Penelitian Plasma (CPR) Undip, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2019). Alat itu itu menghasilkan ozon dari oksigen murni, yang dapat dimanfaatkan untuk mengobati luka.
Aliran (flow) pada M’Ozone juga dapat diatur. Untuk terapi bagging misalnya, oksigen yang dibutuhkan yakni 0,1 liter sampai dengan 1 liter per menit. Sementara untuk ozon untuk pelarutan, oksigan yang dibutuhkan yakni 1 liter hingga 10 liter per menit.
Pada M’Ozone juga terdapat pemusnah ozon. Dengan demikian, ozon yang telah digunakan untuk terapi bagging langsung dialirkan ke tempat pemusnah tersebut, sehingga tak tercemar ke udara bebas.
Salah satu percobaan yakni pada tikus yang menderita diabetes (telah diberi serum), yang kemudian disayat. Luka itu lalu dioleskan minyak ozon. Dalam 14 hari, luka pada tikus itu sembuh. Sementara pada tikus yang tidak diberi minyak ozon, luka belum sembuh.
Tabung khusus
Nur menceritakan, riset dimulai pada awal 2018. Pihaknya sempat terkendala mencari tabung kaca pyrex yang menjadi reaktor ozon. Sebab, pembuatan tabung pyrex itu memerlukan keahlian khusus. Akhirnya, mereka mendapat tabung pyrex dari perajin di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mesin pertama rampung pada November 2018. Hingga kini, CPR FSM Undip telah memproduksi lima M’Ozone dan semuanya digunakan untuk kebutuhan penelitian dalam tahap praklinik dan uji klinik dengan ethical cleareance (kelayakan etik). Kini semua tahap riset itu dimatangkan sebelum berlanjut pada aspek legalitas.
Nur menuturkan, dalam riset pemanfaatan ozon untuk medis, pihaknya melibatkan berbagai disiplin ilmu. Selain fisika, juga ada kimia, biokimia, biologi, kedokteran, keperawatan, dan lainnya. Dengan pengerjaan melibatkan banyak pihak, hasilnya diharapkan dapat optimal dan diterima publik.
Ia menambahkan, sejumlah perguruan tinggi lain seperti Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Universitas Padjadjaran terlibat dalam riset itu. Meski belum ada konsorsium, terdapat pihak yang dilibatkan. Nur pun menjadi pembimbing di beberapa perguruan tinggi itu.
BELANJA SEKARANG–Pegawai Teaching Industry Universitas Diponegoro menunjukkan mesin Medical Ozone di Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (15/10/2019). Alat itu itu menghasilkan ozon dari oksigen murni, yang dapat dimanfaatkan untuk penanganan medis.Salah satu klinik yang menggunakan M’Ozone, dan juga bagian dari riset yakni Fathull Wound Care Healing di Kabupaten Grobogan, yang dikelola perawat profesional yang juga alumnus Keperawatan Undip. Klinik tersebut untuk masyarakat umum. Sejumlah penderita diabetes melakukan terapi di klinik itu.
Pada akhir 2019, ia menargetkan ada Pusat Terapi Ozon di Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) Undip. “Pusat terapi ozon akan mengontrol secara teknologi, dosis, fungsi, dan lainnya. Nantinya, ada penjaminan mutu baik dari alat maupun SOP (prosedur operasi standar),” kata Nur.
Dari keterlibatan berbagai pihak dan multi siplin ilmu, diharapkan penelitian semakin matang, termasuk terkait dosis tepat pada penanganan medis berbagai kasus. Selanjutnya hasil inovasi itu akan diajukan ke Kementerian Kesehatan, dengan harapan ada regulasi terkait pemanfaatan ozon untuk medis.
Menurutnya, semakin banyak yang meneliti dan mengungkapkan manfaat dari M’Ozone akan semakin baik. “Sebab, saat ini ozon belum bisa dianggap sarana terapi di Indonesia, padahal sudah banyak yang melakukan. Ketimbang mengimpor mesin, mari bersama-sama mengembangkan,” kata Nur.
Penguasaan teknologi
Nur menambahkan, perlu upaya untuk meyakinkan semua pihak. Perdebatan pemanfaatan ozon untuk medis selama ini dikarenakan sebelumnya belum ada ahli yang menguasai teknologi itu. Namun, kini pihaknya sudah menguasai teknologi ozon untuk medis.
Ia juga memastikan M’Ozone aman. Selain terdapat pemusnah sisa ozon, pihaknya memiliki alat pengukur ozon di udara yang sangat sensitif. Pengecekan pun dilakukan rutin. Terlebih, dengan alat rancangan sendiri, masalah dapat langsung diatasi oleh tim. Lain halnya jika ada masalah pada mesin impor.
Meski ada pihak yang mesti terus diyakinkan, ia dan tim tidak akan menyerah. “Kami kerjakan dengan dikeroyok agar bisa tuntas. Tak boleh menyerah. Bukan pada sisi bisnisnya, tetapi bagaimana alat ini bisa benar-benar membantu,” ujar Nur.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Suasana di Teaching Industry, Pusat Penelitian Plasma (CPR) Universitas Diponegoro, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2019). Sejumlah produk yang telah dihasilkan antara lain D’Ozone, M’Ozone, dan Zeta Green.
Peneliti CPR FSM Undip, Maryam Restiwijaya, menambahkan di Undip terdapat tim, terdiri dari perwakilan dari farmasi, kedokteran, kedokteran gigi, dan keperawatan. Setiap dua pekan, mereka berdiskusi terkait pengembangan M’Ozone. Saat ada kemajuan, diskusi dilakukan seminggu sekali.
Klinik-klinik penanganan luka yang ada di sejumlah daerah kebanyakan menggunakan mesin ozon impor dari China, yang harganya lebih murah. “Ozon dihasilkan dari udara bebas yang mengandung 78 persen nitrogen dan 20 persen oksigen. Ada kemungkinan nitrogen berubah menjadi nitrit oksida yang bersifat toksik. Sementara M’Ozone, 99,99 persen oksigen,” kata Maryam.
Menurut dia, mesin penghasil ozon standar dari Jerman harganya sekitar Rp 300 juta, sedangkan dari AS Rp 150 juta. Adapun M’Ozone, yang berstandar Eropa, dibanderol dengan harga sekitar Rp 100 juta. Sementara itu, mesin ozon dari China harganya hanya puluhan juta rupiah.
Rektor Undip Yos Johan Utama mengatakan, pihaknya turut mendukung pengembangan termasuk pemanfaatan ozon untuk medis. Dukungan akan riset dan inovasi, yang kemudian dihilirisasi, sebagai perwujudan dari visi Undip untuk menjadi universitas riset yang unggul.
Sebelumnya, CPR Undip juga menghasilkan D’Ozone yakni generator ozon yang digunakan untuk menghilangkan jamur, bakteri kapang, dan pestisida, yang membuat usia sayur lebih panjang. Juga Zeta Green, alat yang mengubah udara kotor, karbon dioksida, menjadi udara yang bersih, segar, dan sehat.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA–Guru besar Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro, Muhammad Nur, di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2019).
Oleh ADITYA PUTRA PERDANA
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 21 Oktober 2019