Kesadaran masyarakat Indonesia untuk hidup ”selaras alam” masih rendah. Salah satu penyebabnya, sebagian besar produk yang tersedia mengandung zat kimia sehingga membentuk budaya konsumsi tidak sehat.
”Masyarakat tidak memiliki banyak alternatif pilihan,” ujar Ketua Komunitas Organik Indonesia Christopher Emille Jayanata dalam acara ”Pre Press Conference Organic and Healthy Expo of Indonesia 3”, Selasa (24/9), di Jakarta.
Christopher menyatakan, banyak makanan mengandung pemanis buatan atau bumbu masak (monosodium glutamate/MSG), terutama jajanan anak. ”Itu sebenarnya racun,” katanya.
Selain itu, banyak peternak ayam memberikan berbagai macam suntikan, obat, dan pakan mengandung bahan kimia untuk memperbesar ukuran ayam. Saat dikonsumsi, daging ayam menjadi berbahaya bagi kesehatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sayuran yang sering dikonsumsi masyarakat umumnya mengandung pestisida yang disemprotkan untuk mencegah hama. Hal itu bisa menimbulkan kanker.
Dokter ahli gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Saptawati Bardosono, yang dihubungi secara terpisah menuturkan, secara teori bahan kimia berbahaya yang terkandung pada makanan menyebabkan penyakit. Namun, belum ada penelitian yang membuktikan pengaruh jangka pendek dan jangka panjang dampak bahan kimia itu.
Saptawati menuturkan, untuk mendapatkan kualitas hidup yang sehat perlu mengonsumsi makanan organik. Namun, kondisi ekonomi masyarakat yang relatif rendah menyebabkan belum semua mampu mengonsumsi makanan organik yang mahal.
Jalan keluar, kata Saptawati, memberikan edukasi kepada masyarakat. Contoh sederhananya, sebelum dikonsumsi, buah atau sayuran harus dicuci untuk menghilangkan pestisida. Banyak minum dan berolahraga untuk mengeluarkan racun dari tubuh.
Marjuki (59), warga Srengseng, Jakarta Barat, menuturkan, sulit menemukan bahan makanan yang tak mengandung bahan kimia berbahaya. ”Beras dan sayuran di pasar mengandung bahan kimia. Saya dan keluarga tidak memiliki pilihan lain. Apa boleh buat, kami konsumsi yang ada saja,” ujarnya. (K13)
Sumber: Kompas, 25 September 2013