Beras patah atau menir yang dahulu tanpa arti, ternyata bisa diolah menjadi bahan baku susu beras fortifikasi yang kaya serat dan nutrisi. Produk ini bisa menjadi bahan pangan fungsional karena kaya antioksidan dan gizi.
Beras patah menjadi masalah dalam produksi beras di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2018, produksi beras di Indonesia sebanyak 56,54 juta ton gabah kering giling atau setara 32,42 juta ton beras. Jika beras utuh sekitar 75 persen dari produksi beras giling, berarti sisanya atau sebanyak 8,1 juta ton merupakan beras patah atau menir.
KOMPAS/MELATI MEWANGI–Susu beras fortifikasi yang berbahan baku beras patah (menir) hasil penelitian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Balitbang Pertanian Kementerian Pertanian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Beras putih yang patah masih bisa dimanfaatkan menjadi campuran untuk dijual kembali berdasarkan kualitas. Kendala muncul pada beras hitam dan merah yang lebih memprioritaskan keutuhan butir beras. Pada dua jenis beras ini, beras patah tidak bisa dicampurkan karena akan menurunkan harga jual.
Dedi Mulyadi (28), petani beras hitam di Subang, mengatakan, dalam satu ton beras hitam giling menyisakan sekitar 30-40 kilogram beras patah. Beras patah ini biasanya dimanfaatkan untuk pakan ternak dan unggasnya atau dibuat tepung. Di rumahnya, ada 7 ekor sapi dan 20 ekor ayam yang menikmati pakan campuran beras patah.
Ia berharap ada teknologi yang membantu pemanfaatan beras patah atau menir. ”Daripada terbuang percuma, saya lebih senang jika ada teknologi pengolahan yang menjadikan beras patah jadi makanan bergizi,” katanya.
Hal tersebut menginspirasi peneliti pascapanen Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Balitbang Pertanian Kementerian Pertanian Zahara Mardiah bersama tim untuk mengembangkan produk berbahan dasar beras patah. ”Petani belum memanfaatkan maksimal beras patah. Padahal, jika diolah sangat berpotensi menjadi produk yang memilliki nilai lebih,” kata Zahara saat ditemui di kantor Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Rabu (14/8/2019).
Zahara dan tim mengolah beras patah menjadi bahan baku susu beras fortifikasi yang kaya serat dan nutrisi. Tim peneliti setidaknya butuh setahun untuk menghasilkan formula susu beras fortifikasi.
Tim peneliti melakukan uji organoleptik (flavor) pada produk tersebut melalui evaluasi sensori, antara lain uji skoring untuk menilai aroma, rasa, dan tekstur susu. Sementara uji hedonik (kesukaan) untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis atau orang yang direpresentatifkan sebagai konsumen terhadap produk.
Pangan fungsional
Susu beras fortifikasi terdiri dari ekstrak beras sebesar 2-30 persen, ekstrak wortel (2-20 persen), dan ekstrak kacang hijau (2-20 persen). Zahara mengatakan, fungsi penambahan bahan tersebut selain sebagai fortifikasi juga berperan sebagai rasa dan tekstur produk. Bahkan, dari uji kandungan, produk ini bisa menjadi bahan pangan fungsional karena kaya akan antioksidan dan gizi.
Mengutip Yustinus Marsono dalam ”Prospek Pengembangan Makanan Fungsional” di Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi Vol 7 No 1 April 2008, secara umum makanan fungsional diartikan sebagai makanan yang mampu memberikan efek menguntungkan bagi kesehatan di samping nutrisi.
Dalam bahan pangan terdapat berbagai jenis antioksidan alami, antara lain flavonoid dan karotenoid. Antioksidan jenis karotenoid ditandai pada bahan pangan yang berwarna oranye, merah, dan kekuningan, misalnya wortel. Antioksidan itu diklaim dapat menangkal radikal bebas, menyehatkan mata, dan mencegah timbulnya penyakit jantung.
Jenis flavonoid bisa diperoleh dari bahan pangan kacang-kacangan dan bermanfaat untuk menjaga kesehatan jantung serta menangkal radikal bebas. Kandungan senyawa fenolik dalam susu beras fortifikasi diukur menggunakan metode Folin-Ciocalteu (FC).
Jika dibandingkan dengan beberapa literatur dengan pengujian metode sama, susu beras fortifikasi memiliki kandungan senyawa fenolik (senyawa bioaktif yang memberi efek kesehatan) lima kali lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi dan 15 kali lebih unggul dari susu kambing. Begitu pun jika dikomparasikan dengan sampel susu beras komersial dari sejumlah negara, susu beras fortifikasi tetap lebih unggul.
”Bahan makanan yang memiliki kandungan senyawa fenolik tinggi biasanya memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi pula. Sehingga biasanya bahan tersebut digunakan sebagai pangan fungsional karena mampu memberi efek positif bagi kesehatan seperti antikanker, antiinflamasi, antidiabetes, dan lainnya,” kata Zahara.
Berdasarkan hasil pengujian produk susu beras fortifikasi asal Indonesia, serta produk impor dari Australia dan Korea Selatan, kandungan mineral dan vitamin hanya ditemukan dalam produk susu beras fortifikasi asal Indonesia, yakni 36,3 miligram kalsium; 45,7 gram fosfor; 133 mg kalium; dan 41,5 mg magnesium. Fortifikasi bahan wortel dan kacang hijau juga memengaruhi adanya vitamin yang terkandung di dalamnya yakni vitamin A, vitamin E (tokoferol), dan vitamin B2.
Dalam 250 mililiter per sajian produk susu beras fortifikasi mengandung energi sebesar 123 kcal; 1,8 gram protein; 1,5 gram lemak; dan 25,4 gram karbohidrat. Jika dibandingkan dengan produk komersil sejenis asal Australia dan Korea Selatan, kandungan proteinnya lebih tinggi dan rendah lemak.
Zahara menyebutkan, produk ini cocok dikonsumsi orang yang intoleransi terhadap laktosa (protein yang terdapat dalam susu), sedang menjalani diet, dan mereka yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler.
Proses pembuatan susu beras fortifikasi yang dilakukan tim peneliti dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian tersebut terdaftar paten pada awal tahun 2019. Harapannya, produk itu menambah khasanah pangan fungsional berbahan lokal pada tahun ini.
Kepala BB Penelitian Padi Balitbang Pertanian Kementan Priatna Sasmita berharap, teknologi ini dapat kian dikembangkan menjadi teknologi tepat guna sehingga pengembangannya bisa dilakukan bersama Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna LIPI di Subang.
Saat ini, BB Padi sedang merancang mesin scale up produksi untuk skala UMKM agar segera diadopsi oleh mereka sehingga produk inovasinya bisa dikonsumsi oleh konsumen. Diharapkan pula rancangan mesin pengolah susu beras fortifikasi segera dapat terwujud dan dapat dipatenkan pula, sehingga bisa dimitrakan dengan UMKM.
”Kami juga sedang mengembangkan produk beras kombinasi (campuran beras merah, putih dan hitam) atau beras Mozaik yang memiliki cita rasa nutrisi khusus, masih dalam tahap penelitian,” kata Priatna.
Selain produk fortifikasi, BB Padi juga melakukan penelitian biofortifikasi untuk perbaikan nutrisi beras, kandungan Zn, Fe dan beta katotin. Salah satunya yang sukses adalah merilis padi dengan keunggalan kandungan Zn pada beras tinggi, yang dapat digunakan untuk mengatasi stunting (tengkes). Varietas tersebut adalah Inpari IR Nutrizinc.
Saat ini, produk belum dapat dijual secara luas di Indonesia. Tim peneliti tengah menyiapkan alat semimanual untuk mempermudah pembuatan produk agar memiliki standar sama. Harapannya ke depan, pengembangan produk dapat menggandeng mitra dari usaha mikro kecil dan menengah sehingga dapat memberdayakan masyarakat.–MELATI MEWANGI
Editor CORNELIUS HELMY HERLAMBANG,YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 23 September 2019