Presiden didesak mengevaluasi pelaksanaan semua peraturan dan instruksi yang dikeluarkan, baik secara langsung maupun tak langsung terkait kebakaran hutan dan lahan. Berbagai instrumen tersebut akan mampu memitigasi kebakaran hutan dan lahan karena mencegah persoalan pada hulunya jika dijalankan dan diawasi pelaksanaannya.
Instrumen itu meliputi, antara lain, Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pembentukan Badan Restorasi Gambut, dan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan Konflik.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI–Kebakaran lahan di areal kebun kelapa sawit yang dikelola sebuah perusahaan perkebunan sawit di Kampung Sri Gemilang, Kecamatan Koto Gasib, Siak, Jumat (26/7/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejumlah instrumen hukum lainnya adalah Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit, serta Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru & Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer & Lahan Gambut.
”Banyak kebijakan yang dihasilkan Presiden selama 2015-2019 yang bisa digunakan untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan. Namun, lemah di implementasi sehingga terjadi kebakaran hutan dan lahan separah sekarang,” kata Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Kamis (19/9/2019), di Jakarta.
Sebagian kejadian kebakaran hutan dan lahan terkait konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan. Sawit Watch mencatat 822 komunitas masyarakat berkonflik dengan perusahaan. Hal itu seharusnya bisa diatasi dengan menerapkan peraturan-peraturan tersebut sebagai solusi dan semangat keberpihakan pada masyarakat.
Inda mengatakan, Inpres No 8/2018 atau lebih dikenal dengan Inpres Moratorium Sawit memiliki peluang untuk meminimalkan risiko kebakaran. Inpres tersebut memberi ruang bagi pemerintah untuk meninjau ulang dan mengevaluasi izin-izin yang telah dikeluarkan.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Kamis (19/9/2019), di Jakarta.
Evaluasi kepatuhan
Evaluasi legalitas lahan dan ketaatan perusahaan terhadap aturan, termasuk alokasi 20 persen kebun plasma, serta kewajiban pencegahan kebakaran hutan dan lahan bisa dilakukan. Namun, setelah setahun perjalanan Inpres Moratorium Sawit, pemerintah masih berkutat pada integrasi data dan penyusunan prosedur standar operasi.
”Sangat banyak kebijakan yang mendukung penyelesaian konflik, tetapi harus serius. Jangan membuat kebijakan hanya jadi obat penenang. Jokowi harus persistent pada kebijakan-kebijakan, termasuk pembiaran pada pembantunya yang membangkang atau lamban menjalankan instruksinya,” katanya.
Secara terpisah, Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan, mempertanyakan efek jera dari penindakan hukum terhadap korporasi pembakar hutan dan lahan selama ini. Capaian Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atas triliunan rupiah gugatan perdata berkekuatan hukum tetap dari korporasi pembakar lahan dinilai tak memberikan dampak.
”Belum ada satu rupiah pun dari triliunan rupiah gugatan pemerintah itu yang telah dieksekusi pada perusahaan pembakar hutan dan lahan. Bagaimana mau ada efek jera,” ungkapnya.
Hadi juga menunjukkan sejumlah nama perusahaan yang hampir setiap tahun selalu kedapatan kebakaran hutan dan lahan di konsesinya. Namun, perusahaan itu belum terkena sanksi dari pemerintah. Ia pun menyebut sejumlah perusahaan yang bahkan pernah dikunjungi Presiden Joko Widodo pada kebakaran tahun 2015. Lahan perusahaan sawit tersebut tahun ini terbakar lagi.–ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 20 September 2019