Pulau Bali menjadi surga perdagangan burung, termasuk spesies yang dilindungi. Sebagian besar burung yang diperdagangkan berasal dari alam liar dari berbagai daerah Indonesia, terutama dari Indonesia timur.
Hasil kajian ITU dipublikasikan Serene Chng dkk dari TRAFFIC, lembaga konservasi internasional yang fokus pada perdagangan flora dan fauna, di jurnal Forktail yang dirilis pada 17 September 2019.
Pada tahun 2017 tercatat 5.228 individu dari 129 spesies yang diperdagangkan di dua pasar burung terbesar di Denpasar, Bali. Sebanyak tujuh spesies di antaranya jenis yang terancam punah. Sementara pada tahun 2018, sebanyak 7.258 individu dari 144 spesies diperdagangkan. Satu spesies di antaranya termasuk yang terancam punah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Petugas melihat cenderawasih sitaan dalam rilis penyelundupan burung langka dari Papua ke Jakarta dengan menggunakan KM Gunung Dempo oleh Kepolisian Resor Tanjung Perak dan Balai Besar Karantina Pertanian Suarabaya, Surabaya, Kamis (21/4/2016). Sebanyak 34 ekor burung dan delapan diantaranya mati dari jenis Cenderawasih Kepala biru, Julang Mas, Cenderawasih Ekor Panjang, Kakak Tua Jambul Kuning, Kaka tua hijau dan Kakak Tua Merah berhasil disita dari dua tersangka yaitu CA dan SL.–Kompas/Bahana Patria Gupta
Sebanyak 7,8 persen burung yang diperdagangkan di Bali pada tahun 2017 berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Maluku dan Papua. Adapun pada tahun 2018, burung-burung dari Indoensia timur yang diperdagangkan sebanyak 2,8 persen.
Survei TRAFFIC menemukan, burung dari Indonesia timur yang diperdagangkan di Jakarta hanya sekitar 0,7 persen, sedangkan di pasar di Jawa Timur dan Jawa Tengah 1,9 persen.
Pada tahun 2018, para peneliti juga mencatat ada banyak spesies langka yang habitatnya dari pulau-pulau kecil dan habitat pegunungan, dibandingkan yang terjadi pada tahun 2017. Hal ini diduga terjadi pergeseran sumber, karena spesies yang lebih dekat telah terkuras akibat eksploitasi berlebihan.
Direktur TRAFFIC untuk Asia Tenggara, Kanitha Krishnasamy mengatakan, pada tahun 2018, Pemerintah Indonesia mengeluarkan daftar baru spesies dilindungi. Secara keseluruhan undang-undang baru memberi perlindungan bagi jumlah spesies lebih tinggi termasuk burung.
Namun sejumlah burung langka yang populer dalam perdagangan tidak masuk dalam perlindungan, termasuk white-rumped shama (Kittacincla malabarica), javan iied starling Gracupica jalla, straw-headed bulbul (Pycnonotus zeylanicus), sangihe whistler (Coracornis sangihe) dan little shrikethrush (Colluricincla megarhyncha).
Spesies pied starling jawa atau jalak suren, sumatran laughingthrush (Garrulax bicolor), dan greater green leafbird (Chloropsis sonnerati) termasuk di antara 30 spesies teratas yang diperdagangkan. Spesies-spesies yang menjadi perhatian ini juga masuk dalam daftar spesies IUCN SSC Asian Songbird Trade Specialist Group yang membutuhkan tindakan konservasi prioritas.
“Kami berharap pihak berwenang Indonesia menggunakan informasi dari survei perdagangan untuk membuat keputusan yang terinformasi mengenai perlindungan spesies, regulasi perdagangan dan tinjauan legislasi,” kata Serene Chng, penulis utama TRAFFIC dan koordinator dari IUCN SSC Asian Songbird Trade Specialist Group. Itu bisa mengarah pada manajemen perdagangan jauh lebih baik yang menjadi sasaran banyak pengawasan beberapa dekade terakhir.
Para peneliti itu merekomendasikan adanya pemantauan perdagangan yang berkelanjutan. Berikutnya, pemerintah dapat menentukan apakah dibutuhkan pengurangan pasokan atau bahkan pelarangan spesies tertentu yang tengah mengalami tekanan populasinya untuk mencegah kepunahan di alam liar.–AHMAD ARIF
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 18 September 2019