Kalender Jawa sebenarnya memiliki otoritas tunggal penjaga kalender, yaitu keraton-keraton yang ada di Yogyakarta dan Solo.
KOMPAS/ADITYA DIVERANTA–Warga melaksanakan kirab obor menuju kawasan Bundaran Hotel Indonesia dari arah Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Sabtu (31/8/2019) malam. Mereka memperingati malam Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 Hijriah yang dirayakan dalam kegiatan Jakarta Muharram Festival.
Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharram 1441 Hijriah. Selamat Tahun Baru Jawa 1 Sura 1953 (Wawu). Tahun ini, tahun baru pada kedua kalender yang berbeda walau mirip itu jatuh di hari yang sama. Awal tahun baru dimulai setelah Matahari terbenam atau magrib pada Sabtu, 31 Agustus 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak selepas Matahari tenggelam, berbagai perayaan menyambut datangnya Tahun Baru Islam dan Tahun Baru Jawa itu digelar masyarakat dengan berbagai acara. Ada yang menggelar pawai keliling kampung, pengajian di masjid dan mushala, serta syukuran dan pentas seni di berbagai sudut perumahan.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggelar Jakarta Muharram Festival 2019 yang dipusatkan di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, Sabtu (31/8/2019) sore hingga malam. Sementara Minggu (1/9/2019) pagi hingga siang, sejumlah kelompok masyarakat Islam juga menggelar pawai di berbagai daerah.
Seperti tradisi tahun-tahun sebelumnya, Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Praja Mangkunegaran menggelar kirab pusaka di sekitar keraton atau istana mereka di Solo, Jawa Tengah, Sabtu malam. Di saat bersamaan, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat di Yogyakarta, DI Yogyakarta, menggelar tradisi mubeng benteng atau mengelilingi keraton.
KOMPAS/ERWIN EDHI PRASETYA–Menyambut Tahun Baru Jawa Wawu 1853, Pura Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah, menggelar tradisi kirab pusaka 1 Suro di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (31/8/2019) malam.
Pemerintah menjadikan peringatan tahun baru Islam 1 Muharram itu sebagai hari libur nasional. Dalam sistem kalender Masehi yang digunakan di seluruh dunia saat ini, pergantian hari terjadi pada pukul 00.00, bukan selepas Matahari terbenam seperti dalam kalender Islam dan kalender Jawa. Karena itu, libur nasional tahun baru Islam ditetapkan jatuh pada Minggu, 1 September 2019 walau sejatinya tahun baru Islam dan Jawa sudah berlangsung sekitar enam jam sebelumnya.
Di dunia maya pun, banyak bertebaran ucapan selamat tahun baru untuk merayakan kedua jenis tahun baru tersebut. Namun, sama seperti di dunia nyata, banyak ucapan itu yang terbalik-balik. Ada yang menyebut perayaan tahun baru Islam 1 Sura atau peringatan tahun baru Jawa 1 Muharram.
Pencampuradukan dan kesalahan dalam membedakan kalender Islam dan kalender Jawa adalah hal yang lumrah terjadi. Kedua jenis kalender itu sudah jarang digunakan masyarakat sehingga wajar jika kemudian nama-nama bulan dalam kedua kalender itu pun tak dipahami, apalagi sistemnya. Untuk keperluan sehari-hari atau administrasi publik, kini semua orang di seluruh dunia menggunakan kelander Masehi.
Masyarakat umumnya menggunakan kalender Islam dan kalender Jawa saat berhubungan dengan ibadah atau tradisi budaya tertentu. Namun, karena jarang digunakan, khususnya pada masyarakat perkotaan, kini sejumlah ritual tradisi, seperti peringatan kematian seseorang, dalam tradisi Islam dan Jawa pun menggunakan perhitungan hari dalam kalender Masehi.
Serupa, tetapi tak sama
Kalender Jawa merupakan akulturasi antara kalender Islam dan kalender Saka yang digunakan umat Hindu hingga saat ini. H Djanudji dalam Penanggalan Jawa 120 Tahun Kurup Asapon, 2006 menyebut kalender Jawa mulai digunakan pada 1 Muharram 1043 H atau bertepatan dengan 8 Juli 1633 M.
Penggunaan kalender Jawa itu digagas saat Kerajaan Mataram diperintah Sultan Agung Hanyakrakusuma. Pemakaian kalender Jawa itu dilakukan untuk menyatukan sejumlah penanggalan yang digunakan masyarakat Jawa ketika itu, yaitu masyarakat Kejawen menggunakan kalender Saka dan kaum santri menggunakan kalender Islam.
Karena menyatukan kalender Saka dan kalender Islam, sistem penentuan tanggal, hari, bulan dan tahun pada kalender Jawa mengadopsi sistem yang ada di kedua kalender tersebut.
Untuk perhitungan tahunnya, kalender Jawa mengacu pada perhitungan tahun kalender Islam yang menggunakan sistem penanggalan Bulan atau sistem lunar. Hal itu berbeda dengan sistem penanggalan Saka yang menggunakan sistem penanggalan gabungan Matahari dan Bulan atau lunisolar.
Karena menggunakan sistem penanggalan Bulan (moon), patokan waktu utama dalam kalender Jawa dan kalender Islam adalah bulan (month). Panjang satu bulan ditentukan berdasarkan waktu yang digunakan Bulan untuk satu kali mengelilingi Bumi atau dari fase Bulan mati ke Bulan mati berikutnya. Dengan demikian, panjang satu bulan kedua kalender ini hanya 29 atau 30 hari saja, tidak pernah kurang atau lebih.
Sementara itu, satu tahun dipatok terdiri dari 12 bulan. Karena itu, panjang satu tahunnya antara 354-355 hari. Itu berarti jumlah hari dalam sistem tahun penanggalan Jawa atau Islam lebih pendek 10-11 hari dibanding jumlah hari dalam kalender Masehi yang berkisar antara 365-366 hari.
KOMPAS/KOMPAS–Sistem penamaan hari dalam kalender Jawa yang mengadopsi penamaan hari dalam kalender Islam.
Hal yang membedakan antara kalender Jawa dan kalender Islam adalah panjang dan awal bulan kalender Jawa ditentukan secara matematis, sedangkan kalender Islam secara astronomis.
Panjang bulan ganjil dalam kalender Jawa selalu terdiri atas 30 hari, sedangkan panjang bulan genapnya hanya 29 hari. Namun, ada pengecualian pada tahun kabisatnya, yaitu panjang bulan ke-12 dibulatkan menjadi 30 hari.
Sementara dalam kalender Islam, awal bulan ditandai dengan terlihatnya atau kemungkinan terlihatnya hilal atau Bulan sabit muda. Dengan demikian, jumlah hari dalam setiap bulannya tidak menentu, harus dibuktikan dengan observasi lebih dulu. Meski demikian, panjang hari tiap bulan itu selalu 29 hari atau 30 hari, sesuai siklus Bulan.
Di masa lalu, kalender Islam sebenarnya juga memiliki sistem tahun kabisat. Namun, dengan makin majunya teknologi pengamatan Bulan, kini kalender astronomi menjadi kalender astronomis sepenuhnya. Artinya, awal bulan baru bisa dipastikan setelah melihat hilal pada bulan-bula
n yang menyangkut dengan ibadah wajib, seperti puasa di bulan Ramadhan, Idul Fitri di bulan Syawal, dan Idul Adha di bulan Zulhijah. Di luar ketiga bulan itu, awal bulan umumnya ditentukan dengan perhitungan kemungkinan terlihatnya hilal.
”Sifat kalender Jawa yang matematis membuatnya tak mengalami perdebatan (dalam penentuan kriteria awal bulan) seperti yang terjadi pada kalender Islam,” kata pendiri observatorium dan musholatorium Imah Noong, Lembang, Jawa Barat, Hendro Setyanto, seperti dikutip Kompas, 12 September 2018.
KOMPAS/KOMPAS–Sistem penamaan bulan dalam kalender Jawa yang mengadopsi penamaan bulan dalam kalender Islam.
Perbedaan dalam penentuan awal bulan itulah yang membuat tanggal pertama setiap bulan dalam kalender Jawa dan kalender Islam tidak selalu dimulai pada hari yang sama.
Perayaan tahun baru Islam 1440 H atau tahun baru Jawa 1952 (Bé) tahun lalu jatuh tidak pada hari yang sama. Ketika itu, 1 Muharram 1440 H jatuh pada 11 September 2018 dan 1 Sura 1952 (Bé) jatuh pada keesokan harinya atau 12 September 2018. Perbedaan itu terjadi karena tahun Jawa sebelumnya atau 1951 (Dal) adalah tahun kabisat.
Perbedaan yang juga sudah terjadi beberapa kali adalah dalam penentuan hari raya Idul Fitri. Beberapa kali jatuhnya waktu Lebaran di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat mundur sehari dibanding ketentuan pemerintah.
Seperti yang terjadi pada 2016, pemerintah menetapkan Idul Fitri pada 6 Juli 2016, sedangkan Kasultanan Ngayogyakarta pada 7 Juli 2016. Perbedaan itu terjadi karena panjang bulan Ramadhan yang ditetapkan pemerintah hanya memiliki panjang 29 hari. Adapun padanan bulan Ramadhan dalam kalender Jawa, yaitu bulan Pasa, selalu memiliki panjang 30 hari.
Tak hanya dalam penentuan panjang bulan dan tahun, kalender Jawa juga mengadopsi sistem penamaan hari dan bulan dari kalender Islam. Namun, penamaan atau penyebutannya sudah disesuaikan dengan lidah Jawa atau tradisi Islam yang hidup di masyarakat Jawa, tidak diadopsi mentah-mentah dari budaya Arab.
Sementara untuk angka tahun dalam kalender Jawa tetap mempertahankan angka tahun dari kalender Saka. Akibatnya, kalender Jawa yang pertama kali digunakan dimulai pada 1 Sura 1955 (Alip), bukan 1 Sura 1 (Alip). Itu berarti tidak ada tahun Jawa 1 hingga 1554. Tahun 1555 itu diambil karena saat kalender Jawa mulai digunakan bertepatan dengan tahun Saka 1555 yang juga bertepatan dengan tahun 1043 H atau 1633 M.
Selain itu, kalender Jawa juga memiliki kekhasan yang tidak ditemukan pada kalender Saka maupun kalender Islam, yaitu penggunaan siklus windu atau delapan tahunan. Setiap tahun dalam siklus windu itu dinamai dengan nama huruf dalam tulisan Arab atau hijaiyah, tetapi dengan pengucapan lidah Jawa.
Dengan demikian, nama tahun Alip untuk menyebut huruf alif (?) dalam tulisan Arab digunakan untuk menunjuk tahun pertama dalam siklus windu. Adapula Bé dan Wawu yang masing-masing menunjuk huruf Arab ba (?) dan wau (?) untuk menyebut tahun ke-6 dan ke-7 dalam siklus windu.
KOMPAS/KOMPAS–Kalender Jawa memiliki penamaan siklus delapan tahunan atau windu yang unik. Siklus ini tidak ditemukan dalam sistem kalender Islam dan kalender Saka yang menjadi acuan kalender Jawa.
Tantangan
Meski demikian, penggunaan kalender Islam dan kalender Jawa saat ini sama-sama menghadapi tantangan yang tidak sederhana yang memengaruhi eksistensi kedua kalender itu. Makin sedikit orang yang menggunakan, apalagi memahami kalender itu, terutama kalender Jawa.
Saat ini, tidak ada negara yang masih menggunakan kalender Islam untuk keperluan administrasi publik. Sistem penentuan awal bulan yang astronomis membuat banyak pihak menilai kalender Islam sulit memberikan kepastian, khususnya untuk perencanaan ke depan. Arab Saudi meninggalkan kalender Islam untuk keperluan administrasi publik sejak 2016 dan kini menggantinya dengan sistem kalender Masehi. Kalender Islam hanya digunakan untuk keperluan ibadah.
Kalender Islam juga tidak memiliki otoritas tunggal seperti kalender Masehi yang dijaga oleh Gereja Katolik di Vatikan. Otoritas tunggal itu penting untuk menentukan sekaligus menjaga sistem kalender yang digunakan. Keberadaan Gereja Katolik di Vatikan yang menjaga kalender Masehi membuat meski kalender Masehi juga belum sempurna, tetapi setiap gejolak yang muncul dalam penggunaan kalender Masehi bisa diatasi dengan baik.
Tiadanya otoritas tunggal penjaga kalender Islam membuat masing-masing pemerintah di negara-negara Muslim memiliki otoritas untuk menentukan kapan menentukan awal bulan dalam kalender Islam. Belum lagi, dalam satu negara Muslim, seperti Indonesia, kewenangan menentukan awal bulan itu juga dimiliki organisasi massa Islam. Akibatnya, dalam satu negara, awal bulan kalender Islamnya bisa ada beberapa hari yang berbeda, seperti yang terlihat dalam perbedaan hari raya Idul Fitri.
Kalender Jawa sebenarnya memiliki otoritas tunggal penjaga kalender, yaitu keraton-keraton yang ada di Yogyakarta dan Solo. Meski demikian, mengecilnya pengaruh keraton membuat informasi tentang sistem kalender itu sering kali tidak sampai kepada masyarakat yang jauh dari pusat keraton.
Situasi itu terlihat setidaknya dari perubahan penggunaan kurup atau siklus 120 tahun yang ada dalam kalender Jawa. Kurup adalah metode koreksi dalam kalender Jawa agar panjang tahun dalam kelander Jawa selalu sama dengan kalender Islam yang menjadi acuannya. Metode koreksi ini baru muncul pada 72 tahun setelah kalender Jawa resmi diberlakukan.
Saat ini, kalender Jawa sudah menggunakan kurup Asapon yang merupakan singkatan dari Alip Selasa Pon. Artinya, 1 Sura pada tahun pertama atau Alip dalam kurup yang digunakan saat ini jatuh pada hari Selasa Pon. Penggunaan kurup Asapon berlangsung sejak 1 Sura 1867 (Alip) itu membuat kalender Jawa yang digunakan saat ini juga sering disebut kalender Asapon.
Namun, masih ada sebagian masyarakat Jawa yang menggunakan kurup Aboge, kurup yang digunakan sebelum kurup Asapon diberlakukan. Aboge merupakan singkatan Alip Rebo Wage yang artinya dalam siklus 120 tahun itu, 1 Sura pada tahun pertama kurup itu dimulai pada hari Rebo atau Rabu Wage. Kurup ini digunakan sejak 1 Sura 1747 (Alip) hingga tahun 1866 (Jimakir).
Meski kurup Aboge sudah lama berakhir, masih ada sebagian masyarakat Jawa yang menggunakannya. Akibatnya, seperti yang terlihat dalam penentuan awal bulan Pasa (Ramadhan) dan Idul Fitri sering kali ditemukan perbedaan pada sekelompok masyarakat Jawa. Perbedaan itu terjadi baik dengan waktu yang ditentukan oleh keraton yang sudah menggunakan kurup Asapon maupun yang telah ditentukan pemerintah menggunakan sistem kalender Islam.
Pemanfaatan
Dosen Astronomi Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, yang dikutip Kompas, 12 September 2018, menyebut tantangan terbesar kalender Islam dan kalender Jawa ialah pemanfaatannya. Kini, kedua kalender itu hanya digunakan untuk keperluan ibadah atau ritual tradisi, bukan untuk administrasi publik.
Karena tak pernah digunakan, jangankan soal sistem kalendernya yang berbeda dengan sistem kalender Masehi, awal hari dalam kalender Islam dan Jawa yang dimulai setelah Matahari terbenam atau pukul enam sore saja banyak yang tidak memahami. Banyak masyarakat menganggap awal hari kedua kalender itu sama seperti kalender Masehi, yaitu dimulai pukul 00.00 atau tengah malam.
Akibatnya, yang sering terjadi, dalam penentuan waktu upacara peringatan kematian, sering menggunakan patokan waktu dalam kalender Masehi.
Sebagai gambaran, dalam tradisi masyarakat Islam Jawa yang melaksanakan tahlilan atau peringatan meninggalnya seseorang, jika seseorang meninggal pada pukul 15.00, maka tahlilan yang dilakukan pada malamnya sudah dihitung tahlilan hari kedua. Hal itu terjadi karena sejak Matahari terbenam, sudah masuk hari baru dalam kalender Islam dan Jawa. Namun, karena tidak dipahami, sebagian masyarakat tetap menghitungnya sebagai peringatan tahlilan hari pertama.
”Sebagai produk budaya, kalender akan hilang jika tidak pernah dipakai,” kata Moedji menegaskan.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 2 September 2019