Meskipun berkarier di luar negeri, para ilmuwan asal Indonesia merupakan aset bagi bangsa Indonesia. Mereka bisa menjembatani kerja sama penelitian antara perguruan tinggi di dalam negeri dan luar negeri.
Keberadaan ilmuwan diaspora Indonesia di luar negeri, terutama di komunitas akademisi, harus bisa dimanfaatkan untuk membangun jembatan akses ke sumber daya ilmu pengetahuan termutakhir. Kerja sama tidak hanya berupa berbagi peralatan laboratorium, tetapi juga merancang penelitian hingga pemutakhiran materi perkuliahan.
Hal ini dibahas dalam Simposium Cendekiawan Kelas Dunia 2019 di Jakarta, Kamis (22/8/2019), yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Pendidikan Tinggi (SDID) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Hadir sejumlah guru besar, dosen, dan mahasiswa ataupun pakar-pakar dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam simposium tersebut, para dosen dari dalam negeri mengeluhkan kurangnya sumber daya berupa laboratorium ataupun peralatan untuk meneliti. Selain itu, mayoritas penelitian di Indonesia juga mendapat gelontoran dana berbasis proyek yang dikembangkan lembaga terkait sehingga dosen tidak memiliki kemerdekaan mengembangkan gagasan.
“Harus diakui selama ini pengembangan laboratorium dan sarana penelitian yang ekstensif hanya terjadi di segelintir perguruan tinggi” kata Dirjen SDID Kemristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti.
Ia mengusulkan agar diaspora menjadi jawaban atas masalah itu. Caranya dengan membuka layanan berbagi sumber daya antarlembaga dan perguruan tinggi di dalam dan luar negeri. Misalnya, dengan memberi kemudahan para dosen ataupun mahasiswa pascasarjana untuk melakukan penelitian di lembaga lain, bahkan di universitas di luar negeri.
“Dosen bisa bersurat kepada Ditjen SDID Kemristek dan Dikti mengenai kebutuhan berbagi sumber daya. Apabila fakultas atau perguruan tinggi sudah memiliki lembaga mitra di dalam dan luar negeri, pemerintah memberi mereka layanan kemudahan administrasi untuk pergi dan melakukan penelitian. Jika ternyata dosen tersebut belum memiliki mitra di lembaga lain, Kemristek dan Dikti bisa mengajaknya berembuk dan mencari mitra penelitian yang potensial,” kata Ghufron.
Klusterisasi
Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) periode 2018-2020 Deden Rukmana mengungkapkan, di I4 mulai diadakan klusterisasi bidang. Sejauh ini ada dua kluster. Pertama, fisika dan teknologi material yang para ilmuwan diasporanya mayoritas dari Nanyang Technological University dan National University of Singapore.
Kluster kedua, farmasi dan kimia yang digawangi diaspora Indonesia di University of Kansas di Amerika Serikat dan Osaka University di Jepang. “Mereka bekerja membangun kemitraan dengan Universitas Bengkulu, Universitas Jambi, dan Universitas Lampung,” kata Deden yang juga Guru Besar Kajian Perencanaan Komunitas dan Regional di Alabama Agricultural and Mechanical University, Amerika Serikat.
Wakil Presiden periode 2009-2014 Boediono, yang hadir sebagai narasumber pada simposium mengatakan pentingnya sinergi teknologi dengan lembaga dalam kesuksesan pembangunan. Teknologi harus bisa dibumikan dalam kehidupan sehari-hari, sementara institusi harus mampu menyediakan aturan yang mendukung penerapan teknologi sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (DNE)
Sumber: Kompas, 23 Agustus 2019