Keberadaan tekstil telah meluas ke berbagai kebutuhan. Tidak hanya dari sisi estetika untuk penutup badan, kebutuhan serat ini untuk berbagai hal seperti peralatan militer, medis, dan kebutuhan peralatan teknis lain.
Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sejak dua tahun terakhir merancang tekstil yang sensitif terhadap sinyal gerak tubuh. Ke depan hasil kerja sama dengan Korea Institute of Materials Science (KIMS) ini pun bisa banyak dikembangkan untuk pengukur suhu dan sebagainya.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Rike Yudianti, Kepala Pusat Penelitian Fisika Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 19 Juli 2019, menunjukkan benang yang bisa dimanfaatkan sebagai tekstil cerdas. Ia membuat tekstil cerdas sebagai sensor gerak dan kelembaban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kepala Puslit Fisika LIPI Rike Yudianti menyebut hasil inovasi ini sebagai tekstil cerdas. Disebut cerdas karena bisa sensitif dan merespon perubahan lingkungan di sekitarnya seperti sinar matahari, hujan, gerak, tekanan, dan keasaman.
“Yang melakukan riset tekstil cerdas ini masih sedikit,” kata Rike, peneliti utama dalam riset tersebut, pertengahan Juli 2019, di Puspiptek Serpong, Tangerang Selatan.
Ia mengatakan inovasi ini bekerja sama dengan KIMS yang mendukung dari sisi anggaran. Tak hanya kebetulan, KIMS juga memiliki basis riset terkait tekstil cerdas ini.
Rike mengatakan, riset material dasar tekstil berupa tekstil telah dilakukan sejak lama. Material serat tekstil yang terbuat dari bahan polimer plastik bercampur nanokarbon dikembangkan sejak tahun 2010.
Baru kemudian, tekstil ini diinovasi menjadi tekstil cerdas setelah proposalnya lolos dalam KIMS Asia Countries Program. Saat itu, KIMS mencari riset-riset inovatif dengan syarat materi riset tersebut bisa memiliki host atau bisa disupervisi dari Korea.
KIMS pun mendanai riset ini selama dua tahun. Dan tahun 2019 ini merupakan periode final dalam risetnya. Rike mengungkapkan dalam pertemuan seminar terkait riset ini mendatang bersama KIMS akan jelas kepastian pengaturan paten akan tekstil cerdas yang dihasilkannya.
Sebagai sensor
Riset yang dilakukan Rike ini menarik karena tak banyak yang melakukan riset serupa. Umumnya tekstil hanya dipandang dari sisi fungsi estetika menutup tubuh dan melindungi dari panas maupun dingin.
“Smart tekstil punya efek dan fungsi lain misalnya sensitif atau respon tergantung faktor eksternal yang dia dapat, dengan tetap bisa dimanfaatkan sisi estetikanya,” kata dia.
Faktor eksternal itu bisa berupa perubahan lingkungan seperti sinar matahari/sumber cahaya, hujan, gerak, tekanan, dan kelembaban (ph). Semisal, tekstil yang merespons keberadaan cahaya matahari dengan merubah warna atau sebaliknya saat kondisi gelap, serat tersebut menjadi bercahaya.
Rike mengembangkan, serat tekstil tersebut merespons gerakan dan kelembaban. Hasil pengujiannya pada tangan, sensitivitas tekstil tersebut akan gerakan mencapai 600 kali lipat. Kelebihan ini bisa dimanfaatkan untuk bahan keperluan olahragawan. Misalnya mengukur detak jantung serta dikonversi menjadi kalori yang dibakar selama pergerakan tersebut.
“Tekstil tersebut berfungsi sebagai sensor itu sendiri,” kata dia.
Ia menjelaskan hal ini bisa terjadi karena tekstil cerdas yang mendapatkan rangsangan gerak tersebut akan mengeluarkan perubahan arus yang memberikan sinyal. Kemudian, sinyal ini yang ditangkap oleh instrumen.
Tekstil cerdas yang dihasilkannya pun bisa menjadi pendeteksi kelembaban. Pada pemberian perlakuan kelembaban 70 persen, diameter serat tekstil cerdas tersebut mengembang hingga 3 kali lipat atau mencapai 350 mikron.
Rike mengatakan hal ini bisa dimanfaatkan untuk dunia medis. Semisal menjadi perban untuk menutup pendarahan bekas luka atau operasi yang memberi tanda bila pendarahan (dari kelembaban) telah melebihi batas tertentu.
Ia mengatakan, pembuatan fiber ini relatif mudah. Rahasianya ada pada komposisi polimer plastik dan nano karbon yang berukuran sampai 50 nanometer. Nano karbon yang memiliki kelebihan konduktif dan mekanikal tinggi ini dimanfaatkan sifat-sifatnya.
Tantangannya adalah bagaimana sifat nano karbon ini tetap ada meskipun ukurannya diperbesar. “Jadi harus ada perlakuan tertentu agar karakteristiknya tetap bisa didapat,” kata Rike.
Campuran polimer dan nanokarbon yang dirahasiakan formulanya tersebut dibuat menjadi serat atau benang – seperti benang jahit – dengan menggunakan alat spinning. Cairan dari jarum spinning tersebut berubah menjadi padat ketika masuk dalam larutan.
Ia mengatakan hasil uji coba menunjukkan serat tersebut tahan atau tidak putus saat diberi beban 100 – 20 gram. Artinya, kekuatan benang tersebut bisa dimanfaatkan menjadi tekstil.
Tantangan
Rike mengakui tantangan saat ini adalah menjaga konsistensi produknya ketika diproduksi dalam skala besar. Ia masih harus mengujinya bila terdapat industri yang melirik atau berminat akan tekstil cerdasnya.
Dari sisi keekonomisan, ia mengaku belum menghitungnya. Namun dari 1 mm larutan bisa menghasilkan 1 meter benang tekstil cerdas. “ Yang mahal itu karbonnya. Tapi justru tidak boleh banyak karbonnya karena bisa tidak terbentuk karakteristiknya,” kata dia.
Kebutuhan menjadi tekstil cerdas pun tak memerlukan jumlah luasan kain yang banyak. Ia mengatakan tekstil cerdas buatannya cukup menggunakan 4-5 sentimeter benang bisa terukur gerak atau kelembaban yang terjadi.
Secara terpisah, Widi Nugroho Sahib, pelaku atau praktisi industri tekstil yang juga anggota APSyFI (Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia) memberi masukan agar tekstil cerdas juga berorientasi pada masa depan sumberdaya alam. Bukan hanya dari sisi bahan baku pembuatan yaitu terbuat dari serat alam seperti bambu dan kayu, juga dari sisi kebutuhan/pengelolaan air dalam prosesnya.
“Contohnya pada serat yang diproduksi dengan konsep unggulan dan ketat dalam pemeliharaan alam karena alam adalah siklus ekosistem yang terus berputar,” kata dia. Dikatakan, pasar harus terus diedukasi karena sebagian konsumen masih beranggapan “value for money” yang seharusnya diubah menjadi “value for life & sustainability”.–ICHWAN SUSANTO
Editor YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 19 Agustus 2019