Revolusi Industri berbasis teknologi selalu berkaitan erat dengan demokrasi dan korporasi ekonomi. Kenyataan ini melahirkan pertanyaan: benarkah proses demokrasi yang terjadi itu untuk rakyat, oleh rakyat, dan dari rakyat? Atau sebaliknya, oleh elite kekuasaan, untuk kekuasaan dan dari kekuasaan; atau oleh korporasi, untuk korporasi dan dari korporasi?
Gugatan ini dilontarkan sineas Garin Nugroho dalam orasi budayanya, Rabu (7/8/2019), pada malam resepsi Hari Ulang Tahun Ke-25 Aliansi Jurnalis Independen di Hotel JS Luwansa, Jakarta.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Garin Nugroho
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Sejarah Indonesia senantiasa mencatat, di setiap momentum perubahan zaman, impian demokratisasi untuk dan dari rakyat selalu tertekan dan kalah oleh kekuasaan militer dan politik, atau juga oleh kekuasaan korporasi, ataupun penggabungan ketiga kekuatan tersebut,” paparnya.
Contoh konkret fenomena ini tampak saat Indonesia mengalami euforia demokrasi setelah rezim Soeharto lengser pada medio 1998. Saat itu, televisi swasta sontak menjadi primadona, sementara televisi publik dan komunitas yang berperan menumbuhkan nilai-nilai publik justru makin kehilangan peran.
Televisi seakan menjadi medium satu-satunya cermin demokrasi. Muncul adegan salah kaprah, bahwa sekiranya tampilan televisi tidak seru, demokrasi juga tidak seru. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kali muncul teknologi informasi dan komunikasi baru berbasis kemampuan mengelola massa, terciptalah euforia ketergantungan tunggal yang banal.
Banalitas di layar kaca mengemuka ketika etika publik dan etika profesi di dunia penyiaran dilanggar seiring masuknya sponsor-sponsor iklan. Pada saat yang sama, media penyiaran juga berlomba-lomba menyajikan program dengan cara-cara peliputan yang melanggar privasi.
Di televisi, politik yang sejatinya mesti menampilkan keutamaan tata negara dan perilaku kenegarawanan justru disuguhkan secara kurang elok dengan intrik-intrik licik, berikut persaingannya yang tidak sehat. Kepemimpinan politik tidak lagi bisa dinilai atas nilai keutamaan kepemimpinan berbangsa, tetapi dalam kacamata Diva, yakni satu unsur populer yang dicintai dengan posesif, mengabaikan persyaratan keutamaan yang lain.
Di sisi lain, kultur rating dalam era televisi banal melahirkan pengumpulan massa yang makin pragmatis, tetapi minim kedalaman substansi. Dalam konteks ini, televisi akhirnya menjadi cermin kabanalan demokratisasi negeri ini.
Teknologi baru, perilaku lama
Belajar dari pengalaman Pemilihan Umum 2019, di tengah kecanggihan teknologi kapitalis serba digital dan daring, masyarakat masih terjebak dalam politik identitas dan post-truth. Teknologi maju sedemikian pesat, tetapi publik masih terkungkung pada perilaku lama.
”Warga melihat pemimpin layaknya kultur penggemar, pemimpin sebagai Diva. Akibatnya, mereka tidak akan mungkin mendialogkan kelemahannya. Inilah yang melahirkan aksi dukung-mendukung yang serba radikal,” ujarnya.
Tak bisa dimungkiri, pemilu telah menjadikan media sosial sebagai ruang terbesar hoaks. Pesta demokrasi itu melahirkan beragam jenis pemimpin media sosial yang dihidupi oleh dunia penggemar fanatik, bukan pemimpin-pemimpin negarawan.
Dalam orasinya, Garin hendak mengingatkan kepada bangsa ini bahwa demokratisasi dan Revolusi Industri 4.0 mesti dibarengi dengan pembangunan basis masyarakat sipil yang sehat, kritis, dan produktif. Sebab, digitalisasi pada hematnya hanyalah platform atau infrastuktur semata.
Era demokrasi yang dibarengi dengan euforia digitalisasi memunculkan gegar budaya di kalangan masyarakat. Momen Pemilihan Presiden 2019 menjadi contoh konkret bagaimana bangsa ini masih gamang dalam menyikapi kemajuan zaman. Pendataan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia atau Mafindo dua pekan jelang Pilpres 2019 menunjukkan, jutaan orang Indonesia terpapar hoaks di media sosial.
Informasi palsu-informasi palsu disebar sangat masif, jauh dibandingkan hoaks-hoaks sebelumnya. ”Ada 19 akun yang paling banyak menyebarkan hoaks, 14 di antaranya bukan akun asli alias akun abal-abal,” kata Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho beberapa waktu lalu.
Meningkatnya suasana emosi publik beberapa hari menjelang Pemilu 2019 menyebabkan masyarakat mudah terseret dengan informasi-informasi politik yang sensasional. Ironisnya, tradisi melakukan verifikasi fakta terhadap informasi-informasi belum menjadi kultur kritis masyarakat kita.
Di antara segala kegaduhan yang terjadi, pada akhirnya demokrasi dan kemajuan teknologi digital bertumbuh di tengah ketimpangan dan ketergantungan luar biasa, dengan 20 persen elite ekonomi masih menguasai 70-80 persen kekayaan negara.
Orasi Garin beserta pelajaran-pelajaran penting bangsa ini dalam momen Pilpres 2019 semestinya bisa menjadi semacam gugatan untuk semua warga bangsa Indonesia agar serius mengelola momentum Revolusi Industri 4.0 atau bahkan 5.0 bagi peningkatan kesehatan nalar dan kesejahteraan masyarakat sipil secara lebih luas, bukan semata-mata menjadi ”kendaraan” kepentingan segelintir orang.–ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 9 Agustus 2019