CATATAN IPTEK
Bumi seisinya adalah sebuah bangunan sistem yang setiap elemennya saling berinteraksi. Atmosfer berinteraksi dengan laut, lapisan es, dan bumi-bahkan lapisan yang ada di bawah kaki kita. Kesalingterhubungan antar-elemen tersebut terjadi dengan cara yang kompleks, dan muncul dugaan bisa membawa ancaman lebih besar.
Tekanan udara di atmosfer melahirkan badai yang membawa gelombang tinggi dan kuat. Pemanasan global dan perubahan iklim mencairkan lapisan es di kutub dan menaikkan permukaan air laut. Itu fenomena yang sering dilaporkan. Jarang disebut adanya hubungan antara atmosfer dengan bumi. Namun, profesor ahli geofisika dan bencana iklim Bill McGuire dari University College London (UCL) menuliskan di The Guardian, lapisan tipis gas di lapisan atmosfer memang memiliki interaksi dengan bumi yang padat (lapisan geosfer). McGuire menuliskan buku bertajuk Waking the Giant: How a Changing Climate TriggersEarthquakes, Tsunamis and Volcanoes.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO–Sawiri (30), warga RT 02 RW 02 Desa Panjangjaya, Kecamatan Mandalawangi, Pandeglang, Banten membersihkan puing-puing bangunan rumahnya yang roboh akibat gempa bumi, Minggu (4/8/2019). Warga berharap mendapatkan bantuan material untuk membangun kembali rumah mereka yang roboh dan memperbaiki bangunan yang rusak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peneliti Chi-Ching Liu dan timnya dari The Institute of Earth Sciences di Academia Sinica menuliskan laporan di jurnal ilmiah Nature (2009). Laporan itu menyebutkan adanya hubungan antara angin topan yang melanda Taiwan dengan gempa-gempa di pulau tersebut.
Menurut mereka, pelepasan energi di patahan lempeng bumi menjadi lebih mudah karena tekanan udara berkurang setelah terbentuk angin topan. Patahan dengan tegangan yang amat tinggi digambarkan seperti pegas. Hanya butuh sentuhan kecil untuk melepaskan energinya.
Model pendekatan lain yaitu badai yang membawa hujan lebat dan menyebabkan banjir besar dapat memicu gempa bumi. Hasil pengamatan oleh peneliti perubahan iklim dan penginderaan jauh dari University Miami, Shimon Wdowinski yaitu, gempa besar di kawasan tropis cenderung terjadi berdekatan dengan saat terjadinya topan dan badai yang disertai hujan lebat. Fakta yang mereka catat yaitu gempa Haiti tahun 2010-korban lebih dari 200.000.
Catatan lain yaitu, kebanyakan gunung api meletus di akhir musim panas atau musim dingin saat permukaan air laut di hadapan gunung api itu naik. Tekanan air yang meningkat telah menekan lapisan bawah gunung api. Ahli geofisika Steve mcNutt dari University of South Florida menyebutnya “seperti odol dipencet”. Air yang masuk dan keluar dari lapisan di Pegunungan Himalaya sesuai musim, juga terjadi seirama dengan aktivitas gempa.
Dalam sejarah kebumian, pemanasan bumi terakhir kali terjadi saat berakhirnya zaman es, pada 20.000-10.000 tahun lalu. Saat itu suhu bumi naik enam derajat celsius. Lapisan es di kutub mencair dalam luasan yang masif, dan permukaan air laut naik hingga 120 meter. Hal itu lantas memicu terjadinya delapan gempa besar. Gempa seukuran itu hanya terjadi di kawasan cincin api atau Ring of Fire, bukan di daerah Skandinavia.
Saat ini kita mengalami pemanasan global. Lapisan es dan lapisan tanah beku (permafrost) telah mencair. Tekanan di atas lempeng telah banyak diangkat. Akankah kini gempa akan bermunculan? Kekhawatiran berlebihan mungkin belum perlu karena mekanisme gempa lebih dipengaruhi oleh kondisi geologis setempat.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2019