Bayangkan tentang sebuah dunia ketika pekerjaan, jika kita mendefinisikannya sebagai aktivitas yang dilakukan manusia, tidak lagi ada. Akuntan, sopir, pengantar barang, dan jurnalis. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tetap ada, tetapi tak lagi dilakukan manusia. Perannya digantikan teknologi. Kita menyebutnya kecerdasan buatan atau artificial intelligence.
Hal ini bukan sepenuhnya bayangan. Sebab, sebagian di antaranya sudah terjadi. Kehadiran sejumlah produk mobil otonomus tanpa sopir, misalnya. Selain itu, juga mulai dirintis di Indonesia pengiriman barang menggunakan drone. Artinya, peran pengantar barang yang selama ini dilakukan manusia dengan menggunakan kendaraan bermotor bakal segera digantikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
GETTY IMAGES/ADAM BERRY–Seorang pekerja memegang sebuah model dari kendaraan tanpa sopir di Dahlem Center for Machine Learning and Robotics di Freie University, awal Juni 2019, di Berlin, Jerman. Dunia kini disibukkan dengan perbincangan soal maraknya kecerdasan buatan yang bakal memusnahkan sejumlah pekerjaan. Salah satunya sopir jika mobil tanpa pengemudi banyak diproduksi
Jurnalis pun setali tiga uang. Kantor berita Associated Press sejak 2014 menggunakan AI untuk menulis artikel laporan keuangan sejumlah perusahaan publik. The Washington Post dan Xinhua juga ikut menerapkannya. Di Indonesia, AI untuk menghasilkan berita mulai digunakan oleh Beritagar.id sejak Februari 2018. Beberapa artikel pertandingan olahraga di bawah tajuk produk eksperimen Robotorial dipublikasikan.
Tentu saja ada perdebatan mengenai peran manusia dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut. Manusia, diasumsikan, bisa mengoptimalkan waktunya untuk pekerjaan-pekerjaan lain. Namun, potensi hilangnya pekerjaan hari ini bagi manusia di masa yang tak lama lagi menyusul otomatisasi bukannya tidak berdasar.
Laporan berjudul ”Jobs Lost, Jobs Gained: Workforce Transitions In A Time Of Automation” yang diterbitkan McKinsey Global Institute pada Desember 2017 menskenariokan hal itu. Berdasar laporan itu, pada 2030 diskenariokan terdapat 75 juta hingga 375 juta pekerja yang mesti beralih kategori pekerjaan. Ini berarti antara 3 persen dan 14 persen jumlah tenaga kerja global.
Sebanyak 375 juta pekerja itu mesti belajar keterampilan baru terkait dengan cepatnya adopsi otomatisasi di sejumlah bidang industri. Dalam laporan itu disebutkan pula, jika transisi untuk menjalani pekerjaan baru tersebut berlangsung lambat, tingkat pengangguran bisa naik dan dapat mengurangi laju pertumbuhan upah.
Kebijakan politik ketenagakerjaan yang dipilih negara-negara, termasuk Indonesia, mestilah pula diputuskan dalam konteks tersebut. Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Andy Ahmad Zaelany, saat dihubungi awal Juni 2019 mengatakan, era robotisasi dengan kecenderungan dominasi teknologi tidak berarti menggantikan manusia. Apalagi sampai meniadakan hubungan personal.
Menurut dia, kecenderungan praktik ”gig economy”, dengan model pekerja temporer, di masa depan dimungkinkan semakin banyak. Namun, Andy memperkirakan hal itu hanya akan menjadi pelengkap. Andy berpendapat, saat ini kebijakan politik terkait ketenagakerjaan yang mesti diterapkan menyusul otomatisasi dan robotisasi adalah pengaturan pengupahan yang lebih adil. Ini termasuk kebijakan pengupahan yang memenuhi kebutuhan basis pekerja.
Pendapatan dasar
Akhir Maret 2019, di Jakarta, sejumlah pakar terkait pendapatan dasar universal (universal basic income/UBI) berkumpul untuk mendiskusikan kemungkinan implementasi kebijakan politik tersebut. Mereka menggelar diskusi publik dengan tajuk ”A Jobless Future: Why We Need A Universal Basic Income?”
Vice Chair Basic Income Earth Network (BIEN) Coordinator, India Network for Basic Income Dr Sarath Davala dan Coordinator Indonesia Basic Income Guarantee Network (IndoBIG) yang juga peneliti Pusat Penelitian Teknologi Tepat Guna Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Yanu Endar Prasetyo hadir sebagai pembicara. Demikian pula data scientist Kemitraan Irendra Radjawali dan Ketua Inovator 4.0 Indonesia yang juga politikus Budiman Sudjatmiko.
Yanu, melalui telekonferensi menjelaskan alasan mengapa UBI dibutuhkan. Penjelasannya dimulai dengan definisi terkait penghasilan dasar universal. Ada lima karakteristik utama konsep ini, yakni individual, periodik, pembayaran tunai, universal, dan tanpa syarat.
Yanu mengatakan, sebagian orang memang menganggap penghasilan dasar universal sebagai hal yang terdengar terlalu ideal untuk bisa dipercaya, alias utopia. Namun, ia mengingatkan, di suatu masa, ide kebebasan berpendapat dan kesetaraan jender pernah pula dianggap sebagai gagasan utopis. Namun, belakangan terbukti gagasan-gagasan tersebut bisa juga diwujudkan. Dimulai sebagai utopia dan sekarang seperti mimpi yang jadi nyata.
Begitu halnya dengan penghasilan dasar universal yang saat ini tengah dicoba di sebagian wilayah dalam beberapa negara, seperti India, Namibia, Eslandia, dan Perancis. Latar belakangnya karena makin langkanya jenis-jenis pekerjaan konvensional akibat digantikan otomatisasi teknologi komputer. Pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan kemampuan kognitif, bersifat manual, rutin, dan nonrutin telah dan sedang digantikan teknologi.
Yanu juga meyakinkan, penghasilan yang diberikan kepada setiap orang itu juga takkan membuat mereka menghabiskannya untuk mengonsumsi alkohol atau dipergunakan semata-mata untuk berekreasi. Justru dengan penghasilan dasar universal, orang bakal lebih punya kebebasan memilih pekerjaan serta meningkatkan jumlah pekerjaan paruh waktu.
Penghasilan dasar universal, kata Yanu, akan membantu mengurangi ketidaksetaraan dan memperkuat demokrasi. Selain itu, akan dapat pula berkontribusi pada berkurangnya jam kerja serta distribusi pekerjaan yang lebih baik.
Adapun Sarath yang menyampaikan materi berjudul ”Basic Income is the Foundation of a Caring Society and Economy” memulai presentasinya dengan berkisah mengenai fenomena gig economy. Ia menyampaikan konsep itu dengan bercerita mengenai pengalaman orang asing seperti dirinya tatkala mempersepsikan kondisi Jakarta yang kini banyak dipenuhi pengojek atau pengemudi layanan moda transportasi daring.
Menurut dia, kehadiran pekerja di perusahaan teknologi yang menyediakan layanan jasa transportasi itu merupakan bukti berkembangnya konsep gig economy. Salah satu kelaziman dalam praktik konsep ini adalah relatif dominannya peran pekerja lepas atau bahkan pekerja serabutan.
Hal ini dikarenakan kurang dibutuhkannya lagi pekerja tetap menyusul lanskap industri yang relatif berubah. Sejumlah pekerjaan yang sifatnya tidak rutin dan cenderung berubah-ubah membuat kebutuhan terhadap pekerja lepas dengan kriteria tertentu menjadi relatif besar.
Sarath mempertanyakan, apakah para pekerja lepas yang tidak secara tetap terikat pada perusahaan itu bahagia dengan pekerjaannya. Sementara di saat bersamaan, perusahaan-perusahaan berkompetisi secara global dan terus akan mengadopsi teknologi terbaru untuk memastikan agar tidak terempas jatuh.
Ia melihat, saat ini yang terjadi adalah krisis pekerjaan dan krisis kesejahteraan. Model jaminan kesejahteraan hari ini, kata Sarath, cenderung tidak berubah sejak 70 tahun lalu dan tidak dirancang untuk kehidupan di abad ke-21.
Pertanyaan yang juga penting dijawab adalah siapa yang bertanggung jawab untuk peduli kepada Anda? Pemerintah, pasar, keluarga, ataukah komunitas? Karena itulah, Sarath beranggapan bahwa penghasilan dasar universal merupakan dasar dari perekonomian dan masyarakat yang peduli.
Pekerja prekariat
Irendra memaparkan soal kemunculan kelas pekerja prekariat. Kelompok ini, sebagaimana didefinisikan Guy Standing dalam bukunya yang berjudul The Precariat: The New Dangerous Class, terdiri atas orang-orang yang tidak memiliki tujuh hal terkait keamanan sebagai tenaga kerja.
Tujuh hal itu ialah keamanan pasar tenaga kerja, keamanan ketenagakerjaan, keamanan pekerjaan, keamanan kerja, keamanan meningkatkan kemampuan, keamanan penghasilan, dan keamanan keterwakilan dalam menyuarakan kepentingan di pasar kerja, termasuk keberadaan serikat pekerja independen.
Irendra juga mengatakan, berubahnya kondisi pekerjaan yang membuat sebagian orang menjadi kelompok prekariat tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan, tetapi juga terjadi di sebagian wilayah desa.
Adapun Budiman memulai paparannya dengan menjelaskan diagram gambar berjudul ”The Discovery of Behavioral Surplus”. Ilustrasi itu dinukil dari buku Shoshana Zuboff (2019) yang berjudul The Age of Surveillance Capitalism.
Sejumlah definisi dilekatkan terkait konsep surveillance capitalism. Salah satunya adalah konsep tersebut berarti tatanan ekonomi baru yang mengklaim pengalaman manusia ialah bahan baku gratis untuk dipergunakan dalam praktik-praktik komersial tersembunyi dari sejumlah proses ekstraksi, prakiraan, dan penjualan.
Lewat peran mesin pintar, yang ditulis Zuboff sebagai alat produksi baru, prediksi mengenai perilaku konsumen dihasilkan. Produk-produk yang dihasilkan lewat perbaikan layanan dari lebih banyak data perilaku sebelumnya lantas dijual kepada pelanggan bisnis dalam kerangka pasar masa depan dengan perilaku baru.
Sebagian atas dasar inilah kompensasi atas berbagai informasi yang diperoleh cuma-cuma dan lantas diserap serta dianalisis mesin pintar untuk kemudian diubah menjadi barang produksi membuat konsep penghasilan atau aset dasar universal mendapat justifikasinya. Belum lagi jika dikaitkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang hilang.
Budiman menambahkan, penghasilan hanya salah satu faktor menuju tercapainya kesejahteraan. Ada sejumlah hal lain yang juga termasuk sebagai aset seseorang. Sebagian di antaranya adalah ekspresi, perilaku, daya artistik, dan selera yang merupakan bagian penting serta tidak bisa dinafikan. Karena itu, aset dasar universal lebih diperlukan dibandingkan dengan sekadar penghasilan dasar universal.
Mereduksi isu kesejahteraan menyusul hilangnya sebagian pekerjaan semata-mata hanya pada isu kurangnya uang tunai, dan karena itulah diperlukan kebijakan panghasilan dasar universal, dipandang terlalu simplistik. Budiman menambahkan, saat ini yang dibutuhkan adalah kerangka kerja untuk menjamin kesetaraan, yang menempatkan penerapan akses dasar universal menjadi bagian utamanya.
Ada tiga hal utama yang menurut dia penting diperhatikan dalam konsep tersebut. Masing-masing ialah aset publik, aset pribadi, dan aset terbuka. Budiman menambahkan, konsep tersebut cenderung sudah dipraktikkan di sebagian desa di Indonesia dalam waktu sekitar empat tahun terakhir.
Lewat UU Desa dan pengembangan badan usaha milik desa dan badan usaha milik antardesa, perusahaan teknologi berbasis silikon dapat pula dikembangkan sebagai bagian dari usahanya. Ini dapat membuat ”Silicon Village” lebih relevan alih-alih ”Silicon Valley”.–INGKI RINALDI
Sumber: Kompas, 5 Agustus 2019