Pembinaan kesehatan reproduksi penting disampaikan kepada kalangan remaja terutama tentang perubahan fisik dan dampak seks pranikah bagi mereka. Dengan pengetahuan yang memadahi, remaja diharapkan lebih peduli tentang kesehatannya.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO—Puluhan remaja dari sejumlah sanggar di Kota Malang, Jawa Timur, tengah melakukan flashmob tari topeng malang di sela-sela hari bebas kendaraan di Boulevard Ijen, Kota Malang, Minggu (7/7/2019).
Tidak hanya di sekolah, pendidikan seksual bagi remaja juga bisa diberikan oleh orangtua. Pendidikan kesehatan seksual remaja bertujuan agar mereka lebih memahami bahaya penyakit menular seksual sekaligus mempersiapkan reproduksi yang baik saat menikah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu, Kamis (18/7/2019), di Jakarta, mengatakan, pendidikan seksual tidak harus didapatkan anak dari sekolah. Orangtua pun bisa memberikan andil. Dalam topik ini, kemampuan komunikasi orangtua dinilai amat krusial.
”Orangtua harus bisa dianggap sebagai teman oleh anak agar pendidikan seksual bisa disalurkan,” katanya dalam ”Peluncuran Survei Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual Kelompok Remaja di Lima Kota Besar Indonesia” di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, pembinaan kesehatan reproduksi penting disampaikan kepada kalangan remaja terutama tentang perubahan fisik dan dampak seks pranikah bagi mereka. Dengan pengetahuan yang memadahi, remaja diharapkan lebih peduli tentang kesehatannya.
Windra mengingatkan, saat ini penderita HIV/AIDS di Indonesia untuk kalangan usia 20 tahun, 24 tahun, hingga 29 tahun masih cenderung tinggi. ”Dengan pendidikan seksual, remaja diharapkan bisa memasuki masa kehidupan berkeluarga dengan reproduksi yang sehat,” ujarnya.
–Acara Bincang-Bincang dalam ”Peluncuran Survei Kesehatan Reproduksi dan Kesehatan Seksual Kelompok Remaja di Lima Kota Besar Indonesia” di Jakarta, Kamis (18/7/2019).
Reckitt Benckiser melakukan survei kepada 500 remaja yang belum menikah di Kota Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Medan melalui aplikasi daring Jakpat. Salah satunya menjelaskan, banyak remaja yang tidak mengetahui bahwa kehamilan di bawah usia 20 tahun berisiko terhadap kesehatan.
Sementara itu, setelah para remaja melewati tanda pubertas pertama, mereka lebih cenderung nyaman berdiskusi pendidikan seks dengan teman sebaya (41 persen) dibandingkan dengan orangtua (24 persen). Lebih rinci, ada tiga topik yang jarang dibahas oleh anak kepada orangtua, yakni bahaya kehamilan pranikah, organ reproduksi manusia, dan hubungan seksual yang sehat.
Direktur Corporate Social Responsibility (CSR) Reckitt Benckiser Indonesia Helena Rahayu Wonoadi menilai, pembahasan mengenai kesehatan seksual seolah-olah masih dianggap tabu. Sebanyak 57 persen responden juga mengaku mendapat pendidikan di sekolah, tetapi hanya 73 persen yang merasa tidak cukup.
”Pengetahuan mereka menjadi kurang tentang penyakit menular seksual. Mereka hanya tahu tentang HIV/AIDS,” katanya.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Direktur Corporate Social Responsibility (CSR) Reckitt Benckiser Indonesia Helena Rahayu Wonoadi.
Sedini mungkin
Psikolog klinis Klinik Angsa Merah, Inez Kristanti, mengatakan, orangtua bisa mulai membiasakan komunikasi dengan anak sedini mungkin. Pembahasan tentang seksualitas sebaiknya tanpa menunggu anak mengalami pubertas.
”Jika tidak, anak akan merasa canggung karena tidak pernah ada pembicaraan sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Inez, pada usia balita, anak bisa dijelaskan mengenai organ-organ seksualnya. Sebab, anak bisa menangkap gelagat orangtua yang cenderung mengaburkan penjelasan. Selain itu, sebisa mungkin dibangun komunikasi dua arah antara orangtua dan anak.
”Selama ini, komunikasi tersebut cenderung satu arah dari orangtua ke anak. Padahal, anak pada usia remaja selalu merasa ingin tahu,” katanya.
Dari survei Reckitt Benckiser juga dijelaskan, sebanyak 61 persen remaja merasa takut dihakimi oleh orangtua mereka jika menanyakan tentang topik seksualitas. ”Ketakutan anak juga dipengaruhi sikap orangtua juga yang tidak terbuka,” kata Ketua Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia Rita Damayanti.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Ketua Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia Rita Damayanti
Oleh FAJAR RAMADHAN
Sumber: Kompas, 18 Juli 2019