Guna mengoptimalkan sistem pendidikan vokasi atau keahlian terapan, pemerintah akan mendorong peningkatan kompetensi dosen di institusi pendidikan vokasi sesuai dengan bidangnya. Pelaku industri dan swasta juga siap memberikan masukan kebutuhan dunia kerja hingga 15 tahun mendatang.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir
Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, pada tahun ini Kemenristekdikti akan fokus merevitalisasi dosen sekolah vokasi dengan memberikan pembekalan kembali. Mereka diwajibkan memiliki sertifikat kompetensi baik dalam tingkat nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tahun lalu sebenarnya sudah kita paksa dosen untuk mendapatkan sertifikat kompetensi sesuai bidangnya. Kami sudah menganggarkan 2.000 kuota tapi hanya 300-400 dosen yang bersedia,” kata dia dalam Seminar Revitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi di Indonesia di Universitas Prasetya Mulya Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Menurut Nasir, masih banyak dosen di Politeknik yang tidak memiliki sertifikat kompetensi pada bidangnya. Kementistekdikti akan mengirimkan dosen ke luar negeri dan mendatangkan tenaga ahli luar negeri untuk meningkatkan kompetensi dosen.
Pada tahun ini, Politeknik Bandung menjadi tempat revitalisasi tersebut. Ke depan, program serupa juga akan diterapkan di Politeknik Surabaya.
“Dosen yang kemampuan bahasa inggrisnya mumpuni akan kami kirim ke luar negeri. Untuk yang kurang mumpuni, akan kami datangkan tenaga ahli dari luar negeri,” ujarnya.
Selain itu, Kemenristekdikti telah mengeluarkan peraturan agar institusi pendidikan vokasi berelasi dengan sektor industri. Sistem pendidikan vokasi harus mendapatkan materi pembelajaran dari pelaku industri untuk menyesuaikan kebutuhan dunia kerja.
Nasir mengatakan, pengajar di institusi pendidikan vokasi idealnya separuh dari pelaku industri dan separuhnya lagi akademisi. Hanya saja, saat ini ada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mengganjal kompoisi ideal tenaga pengajar itu.
Regulasi itu salah satunya mengatur, kualifikasi dosen minimal adalah Strata 2 (S2). “Padahal, orang yang ahli di sektor industri mungkin hanya lulusan Strata 1 (S1) meskipun sudah menjadi managing director. Bahkan ada yang hanya Diploma 4 (D4) atau Diploma 3 (D3),” katanya.
Prioritas bidang vokasi
Menurut Nasir, ada beberapa bidang vokasi yang perlu mendapatkan prioritas pengembangan kualitas. Bidang tersebut adalah manufaktur, pariwisata, agribisnis, dan e-dagang. Contohnya seperti Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Cikarang yang saat ini sudah menggandeng sejumlah industri.
“Untuk memberikan sertifikasi di bidang pariwisata di Pulau Komodo misalnya, telah didirikan Politeknik ElBajo Commodus,” katanya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, kebutuhan dunia usaha dan tenaga kerja keterkaitannya sangat besar. Untuk itu, pelaku industri harus aktif memberikan masukan mengenai kebutuhan dunia usaha dalam 5 hingga 15 tahun ke depan.
Dengan perkembangan ekonomi digital yang cepat, diperkirakan ada sekitar 60 juta tenaga kerja yang memerlukan peningkatan dan pembaruan kemampuan. “Saat ini sudah 2.600 lebih perusahaan di bawah KADIN yang siap ikut dalam program Vokasional Education and Training (VET),” katanya.
DOKUMENTASI KBRI SWISS–Duta Besar Indonesia untuk Swiss dan Liechtenstein, Muliaman D Hadad, dalam kunjungannya di markas Crypto Valley Association (CVA) di Kota Zug, Swiss, Kamis (26/7/2018).
Duta Besar RI untuk Swiss dan Liechtenstein Muliaman Darmansyah Hadad turut memberikan gambaran mengenai ekosistem pendidikan vokasi di Swiss. Menurutnya, hampir 70 persen lulusan SMA di Swiss tidak melanjutkan ke Universitas melainkan ke pendidikan vokasi.
“Edukasi kepada orang tua dan masyarakat juga penting. Para pimpinan perusahaan di Swiss datang dari sekolah vokasi. Ekosistem seperti ini perlu dibangun di Indonesia,” katanya.–FAJAR RAMADHAN
Sumber: Kompas, 17 Juli 2019