Penguatan kecerdasan emosional manusia ditengarai mampu menjadi penangkal disinformasi yang datang pada dirinya. Kecerdasan semacam itu bisa didapatkan dengan cara melatih.
Pandangan ini disampaikan ahli neurosains dari Tokyo University Hospital, Ryu Hasan, dalam forum bertajuk Big Qiestion dengan tema ”Kecerdasan Buatan dan Neuropolitik, Membangun Manusia Indonesia Kebal Semburan Dusta” di Jakarta, Minggu (16/6/2019) sore.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Inovator 4.0 mengadakan forum bertajuk Big Qiestion dengan tema ”Kecerdasan Buatan dan Neuropolitik, Membangun Manusia Indonesia Kebal Semburan Dusta” di Jakarta, Minggu (16/6/2019) sore.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ryu Hasan mengatakan, hoaks dan disinformasi seyogianya tidak dapat ditangkal. Akan tetapi, manusia bisa melatih dirinya agar kecerdasan emosionalnya meningkat. Dari situ disinformasi bisa dicegah masuk.
”Emosi itu tidak muncul untuk mengenali sesuatu benar atau salah, tetapi mengenalinya lewat pola dan terekam dalam memori genetik,” ujarnya.
Ryu menganggap manusia selama ini cenderung mengedepankan hal-hal yang bersifat kognitif dan rasional. Menurut dia, hal itu hanya akan menumbuhkan kecerdasan individu. Padahal, disinformasi adalah permasalahan sosial. Adapun kecerdasan sosial bisa dimiliki jika kecerdasan emosional tercapai.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Kandidat Doktor dalam Rekayasa Genetik Universitas Oxford, Muhammad Hanifi.
Untuk mencapai kecerdasan emosional tersebut, yang diperlukan manusia adalah melatihnya. Dengan begitu, pola sosial akan terpatri dalam memori genetiknya. ”Bagaimana mungkin manusia yang tidak pernah berhimpun lantas dipaksa berhimpun. Panik dia,” kata Ryu.
Menurut Ryu, sudah saatnya dunia pendidikan berperan dalam membentuk kecerdasan emosional manusia sejak dini. Konten pendidikan harus lebih banyak memuat tentang nilai-nilai emosional, sosial dan ekologi.
Di tempat yang sama, Kandidat Doktor dalam Rekayasa Genetik Universitas Oxford, Muhammad Hanifi, mengatakan, seseorang juga seharusnya mengenali bias informasi dalam dirinya. Sebab, ada kecenderungan seseorang akan memilih informasi sesuai dengan yang dianutnya.
Menurut dia, semakin erat seseorang melabeli dirinya, semakin kuat pula seseorang mendapatkan disinformasi terkait dengan label tersebut. ”Misalnya, seseorang yang melabeli dirinya pro rakyat kecil akan mudah terpapar disinformasi tentang hal itu, orang berpendidikan sekali pun,” ujar Hanifi.
KOMPAS/FAJAR RAMADHAN–Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sukatmiko
Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sujatmiko dalam pidato kuncinya menyampaikan, masyarakat Indonesia telah mengalahkan semburan dusta atau firehose of falsehood sepanjang penyelenggaraan Pemilu 2019. Hal itu berbeda dengan yang terjadi pada pemilu Amerika Serikat tahun 2016. ”Kami menganalisis dalam forum ini, Indonesia bisa mengalahkan semburan dusta, dan semburan dusta di Indonesia tidak bisa mencapai kemenangan politik,” ujarnya.
Meski demikian, kata Budiman, semburan dusta tidak berhenti setelah pemilu usai. Hoaks dan disinformasi bertebaran dengan pola yang terstruktur, diulang-ulang, dan memainkan emosi serta kepercayaan seseorang. ”Kebohongan jumlahnya tidak terhingga dan bisa disebarkan siapa pun menggunakan berbagai saluran,” ujarnya.–FAJAR RAMADHAN
Editor ANDY RIZA HIDAYAT
Sumber: Kompas, 16 Juni 2019