O angin, sampaikan salamku … (dari lagu kroncong Indonesia)
BUKAN maksud penulis untuk beromantika, meminta angin membawa pesan untuk kawan di seberang sana, tetapi, sebaliknya, penulis ingin menyampaikan ulasan mengenai pesan alami yang dibawa oleh angin untuk cuaca dunia. Esok 13 November 1992, di dekat ujung timur negara kita, di Pulau Biak, akan dibuka resmi oleh Menteri Ristek Prof Habibie, instalasi ”Wind Profiling Radar”, pemantau arah dan besar angin dengan radar. Angin pada daerah troposfer dan daerah stratosfer rendah (pada ketinggian antara permukaan bumi sampai 80, bahkan sampai 100 kilometer) dipetakan dengan mempergunakan gelombang radar.
Dengan mempergunakan asas Doppler –yakni mengamati gema, gelombang yang dipantulkan oleh lapisan angkasa cerah– dapat ditentukan kecepatan angin menjauh atau mendekati pengamat. Gema itu terjadi karena adanya sebaran balik ”angkasa bersih”, yang ditimbulkan oleh perubahan indeks bias di dalam sel-sel lapisan angkasa. Pengukuran seperti itu, lebih tepat dinamai penjajak, mempergunakan beberapa regiem gelombang pada daerah VHF dan UHF (terutama di daerah sekitar 50, 400 dan 915 MHz). Dengan memancarkan pulsa gelombang pada saat yang diatur, gema (gelombang terpantulkan) diindera dan diketahui pergeseran frekuensinya. Jika frekuensinya lebih kecil dari frekuensi pancar, maka artinya pemantul menjauhi pengamat dan sebaliknya, jika frekuensi menjadi lebih besar artinya pemantul mendekati pengamat. Frekuensi adalah jumlah getaran tiap sekon. Dalam kehidupan sehari-hari peristiwa di daerah panjang gelombang audio, pendengaran, sering kita jumpai. Seseorang yang berdiri di peron stasiun mendengar lengking yang lebih tinggi ketika kereta api mendekati kita, dan, peristiwa sebaliknya, lengkingnya menjadi kurang memekakkan telinga kalau kereta bergerak menjauhi peron. Pengukuran udara cerah dengan radar ini menghasilkan informasi kecepatan angin ke arah vertikal maupun horisontal, terus menerus dapat dilakukan tanpa peduli cuaca. Oleh karena itu resolusi-waktu sangat tinggi, dan informasi mengenai medan angin di lapisan atas dapat diindera tiap 5 menit. Berkas radar juga didapat dipancarkan ke pelbagai arah sekaligus, dan dari modus penelitian inilah diperoleh komponen kecepatan mendatar. Kombinasi kemampuan itu dapat mendeteksi kecepatan angin sampai ordo 1 meter tiap sekon. Dengan perataan pengamatan –yang secara canggihnya disebut autocorrelation– Wind Profiling Radar yang akan diresmikan minggu ini dapat memberikan pola angin troposfer kita tiap 5 menit, cermat sampai 10 cm tiap sekon kearah vertikal (gerakan udara, sebesar ini setara dengan perpindahan udara yang ditimbulkan gerak melenggang lembut wanita).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sistem VHF yang digunakan akan menjangkau pengamatan rentang tinggi dan memungkinkan melihat lapisan atmosfer yang stabil serta tidak dipengaruhi embun. Sebaliknya sistem UHF memang baik diterapkan untuk meneliti troposfer dan menghasilkan pemisah jarak tinggi (resolusi jarak besar). Secara umum resolusi ketinggian dapat diperkirakan mencapai 1 kilometer (artinya peristiwa dalam selang 1 kilometer) dapat segera dipetakan. Bahkan dengan UHF daya-pisah jarak itu dapat mencapai sekecil 100 meter (untuk daerah troposfer rendah). Kedua komponen kecepatan itu pada akhirnya dipergunakan untuk mengetahui hubungan fungsional antara gerak vertikal udara dan sistem konvektif udara di daerah tropika, dan sifat hujan tropika.
Wind Profiling Radar di Biak itu terdiri dari 640 antena dipol, yang tersebar di daerah 110 x 110 meter persegi, di pantai Biak yang indah. Tim dari National Oceanic and Atmospheric Administration serta LAPAN mempersiapkan lahan keras di Biak menjadi stasiun angin modern, dalam 2 tahun terakhir ini. Biak merupakan pos penting di wilayah Pasifik Barat Daya, dan merupakan mata rantai stasiun pengamatan angin modern bersama dengan stasiun lain yang merupakan mata rantai transpacific (lihat Gamba 1). Stasiun paling timur adalah Piura (di Peru), lalu Kepulauan Christmas, di tengah Samudera Pasifik, di Ponpei, 8 derajat di sebelah utara ekuator dan akhirnya Biak. Gambar 1 juga memperlihatkan kedudukan ”ICEAR”, di Sumatera Barat. ICEAR berarti International Center for Equatorial Atmospheric Research yang direncanakan bersama antara Indonesia dan Jepang sebagai fasilitas untuk mengetahui kejadian di tingkat mesosfer, stratosfer dan troposfer. Kedudukan (pemilihan) tempat-tempat di Biak dan Sumatera Barat bukan merupakan pilihan kebetulan, tetapi benar ditentukan secara teknis pengetahuan merigingat pentingnya daerah angkasa tropika terutama di atas Indonesia, sebagai pemacu musim dan pemasok energi dan unsur pengubah. Angin, yang kadangkala tampak bergerak secara innocent di lapisan atas sana di pergunakan untuk mendukung telaah gelombang (udara) ekuatorial dan sirkulasi angkasa skala-besar yang bertautan dengan El Nino. Sudah lama diketahui bahwa suhu permukaan Samudera Pasifik tidak seragam. Hal itu sebenarnya tidak aneh mengingat pemanasan matahari yang selalu berubah. Tetapi adanya genangan air panas yang selalu bergerak di Samudera Pasifik yang menimbulkan pertanyaan.
Genangan air panas itu merambat bolak-balik melintas Samudera Pasifik dan bersamaan dengan perambatan itu menimbulkan gangguan tekanan. TOGA, singkatan dari Tropical Ocean dan Global Atmosphere dan COARE (Coupled Ocean-Atmosphere Response Experiment) adalah kegiatan penelitian terpadu untuk mengetahui sirkulasi, mikro dan makro, atmosfer di daerah tropika dan interaksinya dengan laut, sangat meminati peristiwa itu untuk dimengerti. Dengan hadirnya penjajak angin di Biak dan, nantinya, ICEAR di Sumatera Barat, maka sumbangan Indonesia lebih nyata untuk meneliti lapisan angkasa atas agar peramalan musim tidak hanya menjadi lebih substansial tetapi juga tepat waktu.
Peristiwa El-Nino (dari bahasa Spanyol yang berarti baby Christ) sudah lebih dari 100 tahun, diamati oleh nelayan ikan, di Peru. Pada waktu tertentu mereka kehilangan penghasilan ikan akibat mengapungnya genangan air panas Samudera Pasifik di pantai Peru –yang biasanya lebih dingin akibat perpindahan arus Peru ke arah utara. Air dingin membawa lebih banyak nutrisi, yang terdiri dari fosfat dan nitrat, makanan bergizi bagi plankton yang berfotosintesa. Karena penumpukan gizi itu tertariklah ikan dan tangkapan lain ke sana. Tetapi menjelang hari Natal ketika aliran panas air laut, yang berasal dari Indonesia (ya; Indonesia) tiba di sana dan menggeser air dingin daerah penumpukan makanan ikan tersebut, ekosistem terganggu dan menyebabkan porak porandanya tumpukan ikan di sana. Biasanya peristiwa itu berakhir pada bulan Maret atau April, tetapi bukannya tidak mungkin peristiwa itu berlangsung berkepanjangan dalam skala yang intens. Pada tahun 1972 peristiwa berlangsung sangat intens sehingga menurunkan jumlah tangkapan ikan. Kalau di Peru pada tahun 1970 dapat ditangkap sebanyak 12 juta ton ikan, pada saat El Nino hanya ditangkap kurang dari 1/2 juta ton. Tentu saja hal itu berarti pukulan bagi nelayan dan Pemerintah Peru. Tetapi peristiwa lain akibat El Nino itu juga terasakan tidak hanya oleh negara di kawasan Pasifik, tetapi oleh banyak negara karena sirkulasi udara merupakan fungsi sirkulasi udara di daerah Pasifik tropis. Perubahan itu sendiri biasa disulut oleh proses penumpukan panas di Pasifik barat daya, terutama daerah Indonesia bagian timur. Kembali kepada tahun 1972. Pada waktu itu banyak daerah di Indonesia mengalami mangsa kering yang hebat, demikian juga pada El Nino berikutnya, tahun 1976-1977, dan 1982-1983. Sebelum El Nino 1972 sebenarnya para ahli meteorologi sudah mengendus peringatan dini pada tahun 1970. Ada tanda-tanda perubahan pola sistem tekanan atmosfer, kelembaban dan suhu permukaan laut di Pasifik dan kelakuan angin pasat. Sayangnya pada waktu itu model untuk menerangkan kaitan kegiatan udara-laut belum tergambar jelas, dan kedatangan El Nino dapat dikatakan lepas dari indra peramalan. Kini model El Nino dan hubungan dinamik timbal balik antara kelakuan udara dan sifat laut sudah lebih baik terlukis. Penelitian dengan Wind Profiling Radar dan rangkaian Transpasifik berupaya membuat model itu lebih cermat, sehingga dapat membentuk sistem canang awal (early warning) kedatangan peristiwa cuaca yang dapat
mengganggu rutin kehidupan. Diharapkan dengan itu ramalan jangka pendek atau menjadi lebih cermat, dan ramalan ubahan jangka panjang akan lebih bermanfaat. Angin lapisan ataslah yang diharapkan membawa pesan alami untuk kita semua.
Bambang Hidayat, selaku Staf LAPAN, adalah Staf Jurusan Astronomi dan Observatorium Bosscha, ITB
Sumber: Kompas, Kamis 12 November 1992