Lupus tak kenal diskriminasi. Ia bisa terjadi pada semua ras, etnis, jenis kelamin, dan usia. Lupus bisa menyerang segala bagian tubuh, dalam berbagai bentuk, dan sembarang waktu. Sering kali lupus menimbulkan akibat tak terduga dan mengubah total hidup penderita.
Lupus berasal dari bahasa Latin yang artinya serigala. Hal itu mengacu pada jejas di wajah penderita yang mirip gigitan serigala. Penyakit ini terjadi saat sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melawan kuman justru menyerang jaringan dan organ tubuh. Karena itu disebut sebagai penyakit otoimun.
ARSIP SYAMSI DHUHA FOUNDATION–Kampanye lupus di kampus dan sekolah
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanggal 10 Mei tahun ini untuk ke-16 kalinya diperingati sebagai Hari Lupus Sedunia. Tujuannya untuk menimbulkan kesadaran bagi masyarakat, kewaspadaan bagi penderita, dan dorongan bagi pemerintah meningkatkan akses pengobatan.
Berdasarkan data Federasi Lupus Dunia, lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia berjuang melawan penyakit yang berpotensi merusak hampir semua bagian tubuh, termasuk kulit, sendi, sel darah, jantung, paru, ginjal, dan otak.
Penyakit ini sulit didiagnosis karena gejalanya mirip penyakit lain. Di sisi lain, tak ada kasus lupus yang sama persis. Manifestasi dan gejalanya ada yang timbul mendadak, ada yang berkembang perlahan. Ada yang ringan, ada yang langsung parah. Semua tergantung organ tubuh yang terimbas.
Gejala yang paling umum adalah kelelahan, demam, persendian nyeri, kaku dan bengkak, ruam merah di wajah berbentuk kupu-kupu ataupun di bagian tubuh lain yang makin parah jika kena sinar matahari, gangguan pernapasan, nyeri dada, mata kering, sakit kepala, dan gangguan ingatan.
Penyebab lupus belum diketahui. Namun, menurut laman Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat, hal ini diyakini terkait lingkungan, genetik, dan faktor hormonal. Lupus bisa dipicu oleh sinar matahari, infeksi, dan obat-obatan tertentu. Perempuan berusia 15-45 tahun dan ras Afrika, Hispanik, dan Asia lebih rentan kena lupus.
Diagnosis dini dan terapi yang efektif dapat mengurangi efek merusak dari lupus serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Rendahnya akses, kurang efektif, ataupun kurang taat pada aturan terapi serta keterlambatan diagnosis bisa memperparah akibat dari lupus, menimbulkan lebih banyak komplikasi penyakit, dan meningkatkan risiko kematian.
Sejauh ini belum ada obat untuk menyembuhkan lupus. Pengobatan yang ada hanya untuk menekan timbulnya gejala. Obat yang umum dipakai adalah cortisone/kortikosteroid yang mulai digunakan pada pertengahan abad lalu.
Obat antimalaria, hydroxychloroquine, obat pertama untuk lupus, terutama gangguan kulit dan sendi, kini digunakan untuk mencegah kekambuhan. Obat penekan kekebalan tubuh digunakan untuk glomerulonephritis (radang glomerulus, bagian ginjal yang berfungsi sebagai penyaring dan membuang cairan serta elektrolit berlebih), vasculitis (radang pembuluh darah) serta manifestasi lupus lain yang mengancam jiwa. Pada 9 Maret 2011, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS menyetujui peredaran belimumab, obat penekan kekebalan tubuh yang bekerja secara spesifik.
Saat ini para ilmuwan terus meneliti untuk mencari obat dan mengidentifikasi penyebab lupus. Perjalanan untuk mencari kesembuhan bagi penderita lupus masih panjang.–ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Sumber: Kompas, 8 Mei 2019