Berkat kemajuan teknologi informatika dan telekomunikasi, kini begitu banyak perlengkapan yang tersambung dengan internet. Dua atau tiga dekade lalu, bagi masyarakat, mungkin hanya komputer yang dapat terhubung dengan internet. Setelah itu, masuk ke dalam era ketika telepon seluler pun terhubung dengan internet. Kini, tak hanya komputer serta ponsel, berbagai macam peralatan dapat tersambung dengan internet, yakni mulai dari televisi, kamera, hingga jam tangan.
KOMPAS/A TOMY TRINUGROHO–Persiapan pembukaan Accelerate 2019 di Walt Disney World Dolphin, Orlando, Florida, Amerika Serikat, Selasa (9/4/2019). Sekitar 4.000 orang dari berbagai penjuru dunia hadir dalam acara yang diadakan oleh perusahaan raksasa keamanan jaringan dan data Fortinet itu.
Dalam buku Big Data: A Revolution That Will Transform How We Live, Work, and Think (Viktor Mayer-Schonberger, Kenneth Cukier) disebutkan bahwa situasi itu membuat data yang dihasilkan pada saat ini begitu banyak atau melimpah ruah. Sederhananya, sebagai contoh, dulu tidak ada data suhu tubuh manusia yang sedang berlari yang diukur dengan perlengkapan kebugaran (fitness), tetapi sekarang mungkin berjuta-juta orang memakai alat itu dan tersambung secara real-time dengan internet. Belum laga ada data mengenai perjalanan kita dalam satu hari yang tercatat pada penyimpanan milik Google (Google Maps). Ada berapa miliar orang di dunia yang data perjalanan mereka ini tercatat setiap hari?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Karena itu, tidak mengherankan, dalam buku The Digital Big Bang (Phil Quade) disebutkan bahwa 90 persen dari data yang pernah dihasilkan di dunia ternyata dibuat selama dua tahun terakhir. Disampaikan pula bahwa internet sekarang menghasilkan lebih kurang 2,5 quintillion bit data per hari. Adapun 1 quintillion setara dengan 10 pangkat 18, atau bilangan raksasa dengan 18 nol di belakang angka satu.
Di luar persoalan data yang melimpah ruah tersebut, isu penting yang menyertai ketersambungan (connectivity) yang begitu masif pada saat sekarang ialah keamanan. Aspek keamanan (security) menjadi perhatian besar karena pada saat ini titik hubung dengan data tidak hanya melalui satu atau dua terminal, seperti pada era internet dua atau tiga dekade silam.
Sekarang ada begitu banyak titik yang dapat terhubung dengan pusat data. Ponsel yang kita pegang dapat tersambung dengan pusat data. Kamera tanpa kabel yang dipasang di sebuah ruangan juga dapat tersambung dengan sistem, selain tentunya laptop, dan komputer meja (desktop) di kantor-kantor.
Dalam hajatan besar yang diselenggarakan perusahaan raksasa keamanan jaringan Fortinet di Orlando, Florida, Amerika Serikat, tantangan keamanan data dan jaringan pada era serba tersambung seperti sekarang merupakan salah satu topik hangat yang dibicarakan. Hajatan bernama Accelerate 2019 itu menjadi wadah pertemuan ribuan partner (penjual sekaligus pemasang produk yang dihasilkan Fortinet) dari beberapa negara di dunia. Total sekitar 4.000 orang menghadiri Accelerate 2019.
KOMPAS/A TOMY TRINUGROHO–Ribuan peserta Accelerate 2019, di Walt Disney World Dolphin, Orlando, Florida, Amerika Serikat, Selasa (9/4/2019), berada di luar ruangan untuk beristirahat. Accelerate 2019 diadakan oleh perusahaan raksasa keamanan jaringan dan data Fortinet.
Tuntutan keamanan yang semakin tinggi itu antara lain berpengaruh pada meningkatnya pasar keamanan siber (cybersecurity). Dalam pembukaan Accelerate 2019 pada Selasa (9/4/2019) di Dolphin Hotel, Senior Vice President Worldwide Sales and Support Fortinet Patrice Perche menyebutkan bahwa pasar keamanan siber meningkat dua kali lipat pada 10 tahun mendatang. Dalam grafis yang ditampilkannya, pada 2030 angka itu mencapai lebih kurang 160 miliar dollar AS.
”Keamanan siber merupakan jantung dari Revolusi Industri 4,” ujar Perche di hadapan ribuan peserta sesi pembukaan.
Seusai dengan acara pembukaan, Country Director Fortinet Indonesia Edwin Lim mengatakan, isu keamanan siber semakin kencang pada 2-3 tahun terakhir seiring dengan maraknya upaya transformasi digital yang dilakukan beberapa kalangan, mulai dari perusahaan-perusahaan hingga instansi pemerintah.
Menurut dia, berbeda dengan masa silam, saat ini muncul banyak titik akhir atau endpoint yang bisa menjadi jalan masuk bagi program berbahaya yang hendak merusak pusat data. Ia menyebut ponsel sebagai salah satu endpoint.
KOMPAS/A TOMY TRINUGROHO–Edwin Lim, Country Director Fortinet Indonesia
Menurut dia, begitu beragamnya endpoint sehingga orang sering tidak sadar ada titik yang belum aman. Edwin memberi ilustrasi dengan menceritakan bagaimana sebuah kasino di AS kebobolan karena dimasuki pihak asing melalu sensor air di akuarium. Sensor seperti ini, menurut dia, mungkin dianggap sepele, tetapi bagaimana pun tetap merupakan endpoint yang harus diamankan.
Kompleksitas keamanan siber seperti inilah yang membuat pasar cybersecurity terus meningkat, termasuk di Indonesia.
Edwin mengingatkan pula pentingnya mitigasi dalam keamanan siber. Konsep ini muncul di atas kesadaran bahwa sehebat apa pun pertahanan sebuah sistem, tetap selalu ada risiko kebobolan. Maka, langkah mitigasi atau penanggulangan pasca kebobolan perlu dimiliki oleh siapa pun yang membangun sistem.
”Mitigasi sangat penting. Apa yang harus kita lakukan setelah ada kebobolan,” ujar Edwin.
Oleh A TOMY TRINUGROHO, DARI ORLANDO, AMERIKA SERIKAT
Sumber: Kompas, 10 April 2019