CATATAN IPTEK
”Pada Hari Kepedulian Autisme Sedunia (2 April), kita menentang diskriminasi, merayakan keanekaragaman komunitas global, serta memperkuat komitmen untuk inklusi penuh dan partisipasi orang-orang dengan autisme. Mendukung mereka untuk mencapai potensi penuh adalah bagian penting dari upaya untuk menjunjung janji Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan, yaitu untuk tidak meninggalkan siapa pun”. (Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres)
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), memperkirakan, 1 dari 160 anak di dunia menderita autisme. Kalau dipukul rata, bisa jadi dari 83 juta anak Indonesia, ada 520.000 anak mengalami autisme. Ini bukan jumlah yang sedikit mengingat anak-anak itu membutuhkan terapi agar mampu menjalani hidup dan mencapai kesejahteraan secara maksimal.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN–Anak-anak autis tampil memainkan musik angklung pada perayaan HUT Ke-15 Yayasan Autisma Indonesia (YAI) di Gedung Pusat Perfilman Usmar Ismail, Jakarta, Rabu (13/3/2012). Pentas ini selain untuk menunjukkan anak autis mampu berkarya, juga menyosialisasikan agar masyarakat lebih memahami tentang autisme pada anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut laman Lembaga Kesehatan Mental Nasional Amerika Serikat, pada 2013, revisi dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) diterbitkan. Revisi itu mengubah klasifikasi dan diagnosis autisme. Gangguan autisme, sindrom Asperger’s, gangguan perkembangan pervasif, dan gangguan disintegratif masa kecil dimasukkan menjadi satu kelompok, yaitu gangguan spektrum autisme (ASD).
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani, autos, yang berarti diri sendiri. Penderita autisme mengalami gangguan dalam interaksi sosial, perkembangan bahasa dan kemampuan komunikasi, serta menunjukkan perilaku kaku dan diulang-ulang. ASD bisa berbentuk gangguan ringan sampai berat hingga perlu perawatan khusus. Ada yang mengalami gangguan kognitif, sebaliknya ada yang memiliki kemampuan hebat di bidang seni serta kecerdasan tinggi.
Gejala ASD umumnya tampak pada tiga tahun pertama kehidupan. Bentuknya antara lain anak cenderung menghindari kontak mata, tidak responsif, tidak nyaman dengan sentuhan, terlalu fokus pada sesuatu yang diminati tanpa memberi perhatian pada hal lain, bernada suara datar seperti robot.
Autisme bisa terjadi pada semua ras dan strata sosial. Namun, autisme empat kali lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Sejauh ini, ilmuwan belum bisa memastikan penyebab autisme. Autisme diperkirakan bersifat genetik, bisa juga akibat ibu terpapar obat atau bahan kimia tertentu serta menderita campak jerman semasa hamil.
Dewasa ini, terapi bagi anak penderita autisme makin menyenangkan dan tidak menyiksa. Terapi utama adalah terapi perilaku dan komunikasi, yaitu mengajarkan perilaku, kemampuan komunikasi dan sosial, serta integrasi sensorik. Pelaksanaan terapi itu memerlukan kerja sama erat antara orangtua, guru, ahli terapi, dan ahli kesehatan mental.
Pada 1943, psikiater anak Leo Kanner dari Universitas John Hopkins, Amerika Serikat, menggunakan istilah autisme untuk menggambarkan anak dengan masalah emosi dan sosial pada sejumlah anak yang dia teliti.
Tahun 1960-1970-an, riset untuk mengatasi masalah autisme berfokus pada obat seperti LSD, penggunaan listrik, dan teknik perubahan perilaku yang menimbulkan penderitaan. Sepanjang 1980-1990-an, terapi perilaku dan lingkungan belajar yang diawasi ketat menjadi terapi utama bagi penderita autisme.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Intan, salah satu anak berkebutuhan khusus binaan Yayasan Pembinaan Anak Cacat Cabang Jakarta, menunjukkan kebolehannya bernyanyi di hadapan hadirin dalam acara penyerahan dana Rp 4,2 miliar dari pelanggan Indomaret untuk pembangunan sekolah khusus anak dengan autisme oleh YPAC.
Dewasa ini, terapi bagi anak penderita autisme makin menyenangkan dan tidak menyiksa. Terapi utama adalah terapi perilaku dan komunikasi, yaitu mengajarkan perilaku, kemampuan komunikasi dan sosial, serta integrasi sensorik. Pelaksanaan terapi itu memerlukan kerja sama erat antara orangtua, guru, ahli terapi, dan ahli kesehatan mental.
Selain itu, ada terapi tambahan jika diperlukan, meliputi obat dan diet, terapi okupasi (memperbaiki perkembangan motorik halus), juga terapi musik, seni, serta terapi dengan binatang, seperti naik kuda atau berenang dengan lumba- lumba. Dalam hal ini, obat tidak untuk menyembuhkan, tetapi membantu mengatasi gangguan perilaku yang menghambat perkembangan. Sementara itu, diet bebas gluten serta pemberian vitamin B dan magnesium dipercaya bisa memperbaiki perilaku anak penderita autisme.–ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Sumber: Kompas, 10 April 2019