Lelaki berusia 58 tahun, ini tak lelah berjuang bersama masyarakat untuk mencegah pembalakan liar di hutan. Mereka juga bahu-membahu mengamankan perairan Kampung Sawendui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, selama satu dekade terakhir. Semua upaya itu demi menjaga kelestarian flora dan fauna di kampung tersebut.
Kapal Gurano Bintang milik organisasi pegiat lingkungan WWF Indonesia, tiba di Perairan Kampung Sawendui, Distrik Raimbawi, Rabu (3/4/2019) malam sekitar pukul 09.00 WIT. Kapal ini mengangkut rombongan 10 kelompok komunitas masyarakat pengelola hutan adat dari lima kabupaten, yakni Jayapura, Kepulauan Yapen, Sarmi, Merauke, Keerom, dan Kabupaten Jayapura. Selain itu, juga terdapat perwakilan dari Dinas Kehutanan Provinsi Papua, jajaran WWF Indonesia Program Papua dan sejumlah awak media termasuk Kompas.
KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA–Absalom Korano
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sawendui menjadi tuan rumah pelaksanaan kegiatan diskusi bertema “Berbagi Pengalaman dalam Pengelolaan Hutan bagi Masyarakat Adat” yang diselenggarakan WWF Indonesia Program Papua hingga berakhir pada tanggal 6 April 2019.
Anak buah kapal Gurano Bintang pun menambatkan jangkar di tengah perairan yang berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai. Sebuah perahu motor menjemput rombongan di kapal yang berjumlah sekitar 20 orang dan membawa kami ke pinggir pantai.
Absalom selaku kepala desa, di Papua biasa disebut Kepala Kampung Sawendui bersama warga menyambut kami dengan sukacita dan penuh kehangatan malam itu. Baginya kehadiran rombongan jadi kesempatan untuk menunjukkan kearifan lokal masyarakat Sawendui dalam menjaga kelestarian hutan selama bertahun-tahun.
Selama tiga hari, kegiatan di Sawendui tak hanya berkisar tentang diskusi antara kelompok pengelola hutan adat saja. Absalom berserta timnya yang tergabung dalam Koperasi Serba Usaha (KSU) Kornu berjumlah sekitar delapan orang menunjukkan salah satu lokasi pemantauan burung cenderawasih kepada para peserta kegiatan di Sawendui dan wisata treking hutan di Bukit Nomami.
Terdapat dua jenis burung cenderawasih di Sawendui, yakni jenis kuning kecil atau Paradiseae minor dan cenderawasih belah rotan atau Cicinnurus magnificus.
Total terdapat enam lokasi pemantauan burung cenderawasih pada areal hutan di Sawendui dengan luas sekitar 4.000 hektar. Sekitar 100 hektar areal hutan khusus untuk burung cenderawasih dan aneka fauna lainnya.
“Kami ingin menunjukkan kepada seluruh peserta dan warga bahwa Sawendui dengan kearifan lokalnya mampu menjaga hutan serta flora dan fauna di dalamnya,” tegas Absalom.
KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA–Absalom Korano
Sang perintis
Pembalakan hutan secara liar dan perburuan burung cenderawasih marak terjadi di sejumlah daerah Papua, tak terkecuali Kepulauan Yapen. Namun hal ini tak terjadi di Kampung Sawendui berkat kerja keras Absalom dalam membina warganya dan mencegah masuknya perusahaan kayu.
Kasus pembalakan liar dan pemberian Hak Penguasaan Hutan (HPH) milik salah satu perusahaan di Sawendui telah terhenti sejak tahun 2004. Sebelumnya tahun 2002, salah satu perusahaan pemegang HPH mengambil hasil kayu merbau dalam jumlah besar, bisa mencapai 4.000 hingga 5.000 meter kubik untuk sekali pengangkutan dengan kapal tongkang.
Masyarakat tak mendapat biaya yang layak dari hasil penjualan kayu merbau, yakni hanya Rp 100.000 per meter kubik. Padahal harga merbau di pasaran bisa mencapai di atas Rp 3 juta per meter kubik.
Kenyataan ini mendorong Absalom berjuang agar pemerintah tak lagi memberi izin kepada perusahaan tersebut. Absalom sempat dilaporkan kepada aparat penegak hukum setempat oleh pihak perusahaan. Namun ia tidak ditahan. Akhirnya perusahaan tersebut tak lagi beraktivitas di Sawendui pada tahun 2004.
Sementara itu, aktivitas perburuan burung cendrawasih di Sawendui baru berakhir tahun 2010 lalu. Sebelumnya Absalom pernah terlibat dalam aksi perburuan burung cenderawasih. Dalam sehari ia bisa menembak dua ekor burung. Ia menjual cendrawasih seharga Rp 250.000 per ekor atau sistem barter dengan barang kebutuhan pokok.
Lambat-laun kepala kampung, ini sadar tindakannya berburu cenderawasih akan berdampak buruk. Apabila perburuan tak segera dihentikan, ia khawatir satwa endemik Papua tersebut akan punah. Akhirnya, Absalom memfasilitasi musyawarah bersama seluruh tokoh masyarakat di kampungnya. Hasilnya mereka bersepakat agar tidak lagi memburu burung cenderawasih di hutan Sawendui.
Apabila ada warga yang tertangkap berburu cenderawasih akan mendapat sanksi adat sebesar Rp 5 juta. Sementara warga yang terlibat pembalakan liar mendapat sanksi lebih besar, yakni Rp 15 juta rupiah.
Pada tahun 2016, Absalom menerima kehadiran tim WWF Indonesia Program Papua di Sawendui dengan tangan terbuka. WWF memberikan pembinaan bagi Absalom dan kelompok masyarakat tentang pengelolaan hutan yang lestari dan menjaga hutan demi kehidupan cenderawasih, serta flora dan fauna lainnya.
Berkat pendampingan Pemda setempat dan terutama sikap tegas Absalom, berdampak positif terhadap keberadaan burung cenderawasih. Dari data WWF Indonesia Program Papua, jumlah burung cenderawasih di Sawendui sebanyak 24 ekor, yang terdiri dari 18 ekor burung jantan dan enam ekor burung betina.
“Saya tidak ingin generasi muda Sawendui tak lagi mengenal cenderawasih di masa depan. Padahal burung ini adalah ciri khas Papua dan telah menyatu kebudayaan masyarakat,” tutur ayah dari tujuh anak ini.
Pemberdayaan dan perairan
Tugas Absalom selaku aparatur kampung tak hanya melaksanakan program pemerintah. Ia pun mengalokasikan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat. Sawendui mendapatkan dana desa sejak tahun 2015.
Ia mendirikan badan usaha milik desa, koperasi simpan pinjam, membuat jalan kampung sepanjang 200 meter dan pembangunan sejumlah unit perumahan yang layak bagi warga di Sawendui.
“Dengan adanya sektor ekonomi yang aktif, masyarakat lebih fokus terlibat dalam kegiatan pembangunan di kampung. Mereka pun tidak akan terjun dalam aksi perburuan burung cenderawasih atau perambahan hutan,” ujarnya.
Selain mengawal hutan dan keberadaan cenderawasih, Absalom juga fokus mengajak masyarakat menjaga wilayah perairan Sawendui. Ada sekitar 12 titik yang menjadi lokasi penangkaran telur penyu belimbing dan penyu hijau di sepanjang bibir pantai Sawendui. Absalom melarang keras warga untuk mengonsumsi daging dan telur penyu.
Absalom juga melarang penggunaan bom dalam mencari ikan karena akan merusak terumbu karang yang merupakan habitat berbagai spesies di laut.
Segala kerja keras Absalom dalam menjaga kelestarian lingkungan merupakan wujud tanggung jawabnya sebagai anak adat. Hal ini sesuai petuah dari nenek moyang di kampung halamannya dalam bahasa daerah Sawendui, yakni “Wana wara bampi watu bumori unteng pomuninya, bampi nai dao reware. Mani meno warmanda sampi nai sitenteng nai”. Artinya, kamu makan dan hidup di negeri ini. Jaga negeri ini hingga cucumu juga makan dan hidup di negeri ini.
Absalom Korano
Jabatan: Kepala Kampung Sawendui
Lahir: 25 Desember 1960, Kampung Woda, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua.
Nama ayah: Hermanus Korano
Nama Ibu: Bensalina Lunaweri
Nama istri: Pitornela Waimuri
Jumlah anak: 7 orang.
Pendidikan: Sekolah Dasar Inpres Kerenuy, Distrik Dawai (Tidak Tamat).
FABIO MARIA LOPES COSTA
Sumber: Kompas, 9 April 2019