Pemerataan layanan dan fasilitas masih menjadi tantangan yang dihadapi dalam pendidikan di Indonesia. Pemerataan diperlukan untuk menunjang peningkatan mutu pendidikan secara nasional, terutama dalam menghadapi persaingan di era Revolusi Industri 4.0. Selain pemerataan kualitas pendidikan, tantangan lain adalah kesenjangan antara kompetensi lulusan dan kebutuhan dunia industri.
Semua aspek kehidupan telah mengalami perubahan di era Revolusi Industri 4.0. Meski begitu, sistem pendidikan yang diterapkan saat ini dinilai masih kuno. Salah satu masalahnya karena penjurusan di bangku sekolah ataupun perguruan tinggi belum didasarkan pada minat dan bakat. Akibatnya, lulusan yang dihasilkan menjadi normatif.
KOMPAS–Yansen mengajar siswa kelas I di SD YPPK St Agustinus di Manasari, Distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Papua, Senin (4/3/2019). Masih banyak anak di Papua yang tidak dapat mengecap bangku pendidikan karena harus mengikuti orangtua mereka bekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mengutip riset Indonesia Career Center Network (ICCN), Sofian Lusa, Co-founder Aku Pintar, aplikasi belajar daring, di Unika Atma Jaya, Jakarta, Jumat (22/3/2019), menuturkan, sekitar 87 persen pelajar di Indonesia merasa salah jurusan. Selain itu, lebih dari 71 persen pekerja di Indonesia tidak bekerja sesuai latar belakang pendidikannya.
Aku Pintar merupakan perusahaan rintisan yang bergerak di bidang pendidikan dengan menyediakan aplikasi untuk pembelajaran siswa secara daring. Aplikasi ini juga dilengkapi dengan kiat-kiat dalam menentukan minat dan bakat seseorang.
”Sistem pendidikan kita itu belum berubah, masih normatif, buku teks, dan sistem pembelajaran pun masih satu arah. Sementara semua aspek kehidupan sudah berubah. Itulah yang menjadi penyebab adanya kesenjangan antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri,” tutur Sofian.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Murid-murid SDN Setu 1, Jakarta Timur, memanfaatkan perpustakaan keliling untuk membaca komik, novel, dan buku-buku lainnya di sekolah mereka. Berdasarkan data Jendela Pendidikan dan Kebudayaan Kemdikbud 2018, baru 55 persen dari total 149.000 sekolah dasar yang memiliki perpustakaan.
Menurut dia, sistem pendidikan yang berjalan seharusnya lebih mengedepankan pembelajaran yang kolaboratif. Setiap pelajaran bisa terkoneksi satu sama lain, tidak hanya pendidikan terkait sosial atau eksak saja. Selain itu, keterampilan lunak (soft skill) juga perlu ditingkatkan.
”Soft skill ini termasuk sopan santun, kedisiplinan, dan kerja sama tim. Kemampuan ini yang justru lebih banyak tidak dimiliki generasi saat ini. Padahal, kemampuan ini yang tidak bisa digantikan oleh mesin dan teknologi,” ujar Sofian.
Relasi interpersonal
Pendidik dan konselor Unika Atma Jaya, Jakarta, Gregorius Bambang Nugroho, menambahkan, kemampuan lain yang tak kalah penting adalah kemampuan relasi interpersonal. Ia menilai, tidak semua masalah bisa diselesaikan oleh teknologi yang canggih. Relasi interpersonal ini merupakan salah satu bentuk literasi manusia yang perlu dipelajari sampai kapan pun.
Ia mengatakan, literasi baru yang harus disiapkan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 antara lain literasi dasar, seperti membaca dan menulis; literasi data untuk memanfaatkan mahadata (big data), literasi teknologi, serta literasi manusia. ”Jangan sampai kemajuan teknologi ini menghilangkan nilai kemanusiaan dan religiositas seseorang,” ucapnya.
KOMPAS/EDTER L8NCE MAPITUPULU–Pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru di daerah masih minim. Pelatihan untuk membantu guru agar cakap mengembangkan literasi salah satunya datang dari Taman Bacaan Pelangi. Hal itu dapat dilihat di SD Katolik Nangapanda 1 Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, Gregorius berpendapat, kesenjangan kualitas pendidikan di Indonesia menjadi permasalahan dasar yang harus diselesaikan. Pendidikan di Indonesia masih berpusat di wilayah Jawa.
Selain kesenjangan akan sarana dan prasarana, kualitas tenaga pendidik juga perlu perhatian khusus. ”Guru adalah kreator sumber daya manusia yang berkualitas. Tanggung jawabnya besar, yaitu menyiapkan SDM yang siap dan berani menghadapi tantangan hidup di masa depan. Kalau gurunya saja tidak siap, bagaimana bisa menyiapkan generasi masa depan?” katanya.
Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Poppy Dewi Puspitawati mengakui, kesenjangan pendidikan masih belum tuntas. Berbagai permasalahan masih dihadapi. Untuk itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pada mutu SDM, proses pembelajaran, dan materi pelajaran.
”Yang jelas pemerintah tidak bisa kerja sendiri. Pendidikan yang berkualitas hanya bisa terwujud jika ada sinergisitas seluruh ekosistem bangsa, mulai dari pemerintah, swasta, lembaga masyarakat, media, dan individu masyarakat. Jadi, kami terus dorong untuk mewujudkan iklim sinergi yang optimal,” tuturnya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 22 Maret 2019