Pendidikan sains sebaiknya sudah dibiasakan sejak usia dini. Pendidikan ini tidak hanya terpaku pada buku teks yang kaku, melainkan dikemas dengan cara menyenangkan sesuai praktik dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, prinsip sains lebih mudah ditanamkan pada anak dan mereka yang terbiasa dengan sains akan memiliki daya saing tinggi dalam kompetisi global.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Siswa mencoba memindahkan bola pingpong dengan cara meniup. Praktik ini merupakan contoh dari penerapan sains yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.
“Pendidikan sains pada anak penting untuk bekal mewujudkan sumber daya manusia di masa depan yang siap bersaing lewat inovasi iptek. Jumlah ahli kita di bidang STEM (sains, teknologi, rekayasa, dan matematik) sampai saat ini masih kurang, ” kata Direktur Pusat Peragaan IPTEK (PP IPTEK) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) Mochammad Syachrial Annas di sela-sela pembukaan acara “Discovery Camp” di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Syachrial menilai, anak yang sudah terbiasa untuk berpikir sains biasanya lebih mudah bertahan dengan persaingan di masa depan. Selain itu, anak yang sudah dibekali sains sejak dini diharapkan mampu berperan secara strategis dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Kegiatan “Discovery Camp” merupakan ajang kompetisi keterampilan ilmiah yang dikenal dalam bentuk perkemahan. Acara yang berlangsung pada 21-23 Maret 2019 ini diikuti oleh 75 pelajar berusia 13-15 tahun dari sekolah menengah di wilayah Jabodetabek. Nantinya, tiga pelajar dari peserta akan dilipih untuk mengikuti ajang kompetisi “Journey Science Odyssey” di Thailand pada Juni 2019.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Mochammad Syachrial Annas
Pendidikan sains di Indonesia masih perlu banyak perbaikan. Dari hasil Programme for International Students Assessment 2015 oleh Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), kompetensi sains dan matematika siswa SMP Indonesia masih di tahap menghafal dan minim di tahap menalar. Bahkan, konsep sains belum diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
“Prinsip sains, antara lain mampu berpikir kritis, berkolaborasi dengan baik, menyelesaikan masalah sampai tuntas, serta mengedepankan nalar ketika menghadapi sesuatu. Jadi sains tidak melulu soal hitungan matematika atau fisika, “ ujarnya.
Memecahkan masalah
Dalam kompetisi “Discovery Camp”, anak-anak akan dilatih untuk memanfaatkan peralatan laboratorium dan melakukan pemecahan masalah terhadap suatu penelitian. Dalam proses penelitian harus dilakukan oleh satu kelompok yang terdiri dari tiga orang.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Murid-murid PAUD Al Amin Cipayung mengikuti kegiatan pengenalan fenomena bencana alam seperti tsunami, gunung berapi, dan tanah longsor yang dikemas melalui permainan sains di Rumah Komunitas Kreatif, Jati Cempaka, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Kegiatan ini selain bertujuan untuk pengenalan sains kepada anak-anak, juga memberikan pengetahuan kebencanaan sejak dini sekaligus belajar menyikapi bencana dengan mitigasi.
Kepala Divisi Operasi Pusat Peragaan (PP) Iptek Setyo Purnomo menilai, kerja kelompok ini sangat penting karena biasanya anak yang merasa bisa tidak mau bekerja bersama orang lain. Padahal, kunci dari penelitian adalah kolaborasi. Tanpa kolaborasi, penelitian sulit diwujudkan untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Kepala Program dan Pendidikan PP Iptek Putu Lia Suryaningsih menambahkan, pendidikan sains bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, mengetahui proses destilasi atau proses memanaskan benda padat menjadi uap dengan memanfaatkan garam dapur. Dengan cara mengamati, anak bisa lebih mudah menerima pendidikan yang diajarkan.
Ia mengakui, sarana dan prasarana untuk mengajarkan sains di sekolah masih terbatas. Untuk itu, guru diharapkan bisa lebih kreatif mempraktikan sains melalui uji coba sederhana. “Sains itu tidak dihafal tetapi dipraktikan dengan melatih penalaran untuk menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Oleh DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 21 Maret 2019