Stigma soal harga yang masih mahal dinilai menghambat penggunaan energi terbarukan. Padahal, teknologi energi terbarukan, seperti panel surya, sudah jauh lebih murah dibandingkan sepuluh tahun lalu.
Direktur Eksekutif Enter Nusantara Mutia di Jakarta, Rabu (20/3/2019) malam, mengatakan, stigma soal energi terbarukan mahal disebabkan karena isu energi terbarukan tidak populer di tengah masyarakat. Akibatnya, ada anggapan bahwa sesuatu yang menggunakan teknologi yang baru harganya mahal.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI–Petugas mengecek panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 600 KWP di Gili Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Kamis (29/3/2018). Pembangkit listrik yang memanfaatkan cahaya matahari tersebut turut menunjang pasokan listrik kepada 2.314 pelanggan di salah satu pulau terluar tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Stigma tersebut menyebabkan upaya peralihan penggunaan energi fosil, seperti batubara, ke energi terbarukan tersendat. Sejauh ini, capaian bauran energi terbarukan baru sekitar 12 persen atau jauh dari target pemerintah yang sebesar 23 persen pada 2025.
“Stigma bahwa energi terbarukan mahal mesti ditiadakan,” kata Mutia seusai menjadi panelis dalam acara Showcase Energi Bersih Masa Depan Indonesia yang diadakan oleh #BersihkanIndonesia.
Mutia menambahkan, anggapan energi fosil masih lebih murah dari energi terbarukan karena pemerintah masih memberikan subsidi. Padahal, jika subsidi itu dialihkan ke energi terbarukan, harga energi terbarukan akan jauh lebih murah. Di negara lain, harga energi terbarukan sudah bisa mengalahkan energi fosil.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Mutia
Co-Founder dan CEO PT Surya Utama Ryan Manafe mengatakan, harga panel surya saat ini sudah sangat terjangkau. Harganya tinggal satu per sepuluh jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu.
Ryan menjelaskan, perusahaan rintisan bidang energi terbarukan itu telah mengoperasikan tiga megawatt panel surya di beberapa mal Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Banten, dan pabrik di Cikarang, Kabupaten Bekasi. Kapasitas itu bisa mengelektrifikasi hingga 10.000 rumah.
Saat ini, perusahaan itu sedang membangun panel surya kapasitas 7,5 megawatt di Tanjung Jabung Barat, Jambi untuk keperluan industri tanpa subsidi dari pemerintah.
“Kalangan industri yang berlangganan listrik dari panel surya itu mengaku tagihan listriknya bisa turun lebih dari Rp 100 juta. Jadi, kalau dibilang harga energi terbarukan tidak bisa bersaing dengan energi fosil, itu tidak benar,” kata Ryan.
KOMPAS–Petugas PLN memeriksa panel surya di rumah warga di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (25/11). Pemilik rumah, Surya A. Soepono mengakui pemasangan panel surya tersebut sebagai bentuk investasi untuk mengatasi tarif listrik yang terus naik. Kelebihan energi listrik dari pelanggan panel surya ini akan diteruskan ke PLN melalui sistem ekspor impor.
Associate Director Climate Policy Tiza Mafira mengatakan, mitos-mitos tentang energi harus diluruskan. Indonesia memang membutuhkan lebih banyak energi, tetapi itu di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh pembangkit listrik.
Sementara itu, di wilayah lain yang akses listriknya sudah baik, terutama Jawa, pasokannya sudah melebihi kapasitas. “Mestinya di daerah-daerah yang belum terjangkau listrik ini mulai menerapkan energi terbarukan. Tidak perlu lagi membangun PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) batu bara,” kata Tiza.
Menurut Tiza, subsidi yang terus dilakukan pemerintah terhadap komoditas batu bara untuk PLTU membuat harga listrik menjadi palsu. Akibatnya, harga listrik dari energi terbarukan menjadi lebih mahal secara komersil.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Tiza Mafira
Regulasi
Lebih lanjut, Ryan mengapresiasi dikeluarkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara. Peraturan itu melegalisasi usaha yang telah digarap Ryan selama ini.
Akan tetapi, Ryan mengeluhkan implementasi peraturan itu yang belum mengakomodasi industri. Dalam implementasinya, peraturan itu mengenakan biaya kepada industri yang hendak memasang instalasi panel surya. Biaya tersebut sangat membebani industri.
“Semestinya implementasi peraturan ini memfasilitasi penggunaan energi terbarukan, bukan menghalangi,” ujar Ryan.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Ryan Manafe
Hal senada diungkapkan Mutia. Birokrasi yang rumit menyebabkan masyarakat akhirnya enggan beralih ke energi terbarukan. “Kita coba bangun kantor pakai panel surya di jaringan listrik, birokrasinya harus bolak-balik. Ini yang menyebabkan orang malas beralih. Birokrasinya belum siap,” ujar Mutia. (YOLA SASTRA)
SUMBER: BAPPENAS–Grafis potensi energi terbarukan di Indonesia.
Oleh HENDRIYO WIDI
Sumber: Kompas, 21 Maret 2019
————————
Teguh Menagih Energi Baru Terbarukan
KOMPAS/ARIS PRASETYO–Rumah salah satu warga di Desa Waengapan, Kecamatan Lolong Guba, Kabupaten Buru, Maluku, untuk pertama kali menikmati lampu penerangan listrik tenaga surya bantuan pemerintah, Desember 2017 lalu.
Siapa pun yang terpilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019 nanti, tugasnya akan berat, yaitu merealisasikan 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional di tahun 2025. Target itu tertulis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Padahal, porsi energi terbarukan saat ini belum sampai 8 persen.
Bagaimana mencapai target 23 persen yang setara dengan kapasitas listrik terpasang sebesar 45.000 megawatt itu? Bukan hal yang mudah kalau tak ingin disebut mustahil. Tengok saja penambahan kapasitas terpasang listrik energi terbarukan di dalam negeri dari 2015 sampai 2018 yang ‘hanya’ 800 megawatt saja.
Ada yang sebut target 23 persen itu terlampau ambisius. Sebagai sebuah jalan tengah, sebaiknya kita tak terlalu fokus pada angka semata. Yang penting adalah semangat untuk terus mengembangkan energi terbarukan tanpa henti. Bukan pula berarti menghapus energi fosil (baca: batubara) sebagai sumber energi primer. Tak bisa dibohongi, 60 persen sumber energi primer di Indonesia adalah dari batubara.
Lalu, kenapa mesti harus teguh mengembangkan energi terbarukan? Bukannya cadangan batubara Indonesia masih sangat melimpah cukup untuk puluhan tahun mendatang? Bagi yang pro terhadap energi terbarukan, sumber energi fosil adalah biang pencemaran udara, menaikkan suhu lewat pembakaran, dan merusak daya dukung alam karena ada penggalian.
Akan tetapi, bagi pihak penambang batubara, akan selalu menyebut bahwa batubara masih menjadi tulang punggung utama ketahanan energi di Indonesia. Keandalan pasokan listrik dari batubara sudah teruji. Sektor tambang batubara dan mineral juga telah menyumbang Rp 50 triliun terhadap penerimaan negara bukan pajak di tahun 2018. Bandingkan dengan energi terbarukan yang sumbangannya ‘hanya’ Rp 2,3 triliun di tahun yang sama.
Apabila aspeknya diperluas, membicarakan energi terbarukan tak melulu mengenai kelestarian lingkungan dan pengelolaan berkelanjutan. Tapi, ada faktor ketahanan terhadap volatilitas harga komoditas utama, yaitu minyak mentah dan batubara. Ini berhubungan langsung dengan defisit atau surplus-nya neraca perdagangan Indonesia.
Melonjaknya impor minyak mentah dan bahan bakar minyak telah menyebabkan defisit neraca perdagangan Indonesia kian dalam sepanjang 2018. Situasi diperburuk dengan melemahnya posisi rupiah terhadap dollar AS. Begitu pula kenaikan harga batubara yang sempat mencapai di atas 100 dollar AS per ton memukul aliran kas PLN lantaran tak ada perubahan untuk tarif listrik.
Memakai energi terbarukan, tak akan terpengaruh oleh naik turunnya harga batubara dan minyak mentah dunia. Sumber tenaga air, panas matahari, angin, atau panas bumi, adalah sumber energi yang didapat tanpa impor dan tak bisa diperdagangkan layaknya minyak mentah atau batubara. Inilah salah satu keunggulannya selain faktor ramah terhadap lingkungan.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Energi panas bumi dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, Kamis (15/11/2018). Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mencapai 441,7 gigawatt (GW), tetapi yang terpasang baru 9,06 GW atau sekitar 2 persen.
Di saat yang sama, pebisnis energi fosil pun tak perlu khawatir. Sampai 2050, peran batubara masih (sedikitnya) 25 persen dalam bauran energi nasional, minyak bumi 20 persen, dan gas bumi 24 persen.
Menyimpan harapan
Kendati perkembangan energi terbarukan di Indonesia tak begitu menggembirakan, sejumlah kalangan masih menyimpan harapan bahwa di masa mendatang energi terbarukan punya masa depan cerah di Indonesia. Sejumlah asosiasi pengembang energi terbarukan, di Jakarta pada akhir pekan lalu, mengungkapkan, para pengambil kebijakan di negeri ini akan tiba saatnya nanti bahwa pilihan mengembangkan energi terbarukan adalah sebuah pilihan yang rasional.
Lambat laun, teknologi di bidang energi terbarukan kian murah dan efisien. Dengan demikian, produksi energi listriknya diperkirakan semakin murah dibanding batubara. Pemerintah, selaku pembuat keputusan, hanya diminta untuk tak ketinggalan momentum dengan sesegera mungkin mempercepat pengembangannya.
Dukungan berupa regulasi yang ramah terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia, insentif fiskal, atau apa pun bentuknya amat diperlukan. Logikanya, untuk energi fosil yang suatu waktu nanti cadangannya bakal habis dan dianggap mencemari udara saja negara memberikan subsidi (harga listrik). Kenapa untuk sumber daya yang ramah lingkungan dan terbarukan tak diberikan subsidi?–ARIS PRASETYO
Editor MUKHAMAD KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 11 Februari 2019
—————————–
Sekarang Saatnya Menjatuhkan Pilihan
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN–Kincir-kincir angin berjajar milik Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo-1 di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (2/2/2019). PLTB berkapasitas 72 MW ini menjadi PLTB terbesar kedua di Indonesia setelah PLTB Sidrap yang berkapasitas 75 MW. Ada 20 kincir angin yang terpasang di PLTB ini. Beroperasinya PLTB ini akan memperkuat pasokan listrik di Sulawesi Selatan. Pemerintah akan terus mendorong investasi sumber energi terbarukan dengan memanfaatkan potensi alam Indonesia.–KOMPAS/IWAN SETIYAWAN (SET)–02-02-2019
Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Monash University, Australia, menemukan, penetrasi pembangkit listrik dari energi terbarukan tidak akan mengganggu keandalan pasokan listrik di sistem Jawa-Bali. Selama ini, sumber energi terbarukan dari bayu atau surya dikenal tak stabil pasokan listriknya. Dengan alasan itu pula penetrasi energi terbarukan masih lambat dan pembangkit listrik berbahan bakar batubara lebih diandalkan.
Kajian itu menyebutkan, peran energi terbarukan bisa dilipatgandakan menjadi 43 persen dalam bauran energi nasional di 2025 atau hampir dua kali lipat dari rencana yang dipatok pemerintah, yakni 23 persen. Pertimbangannya, potensi tenaga surya, bayu, hidro, panas bumi, atau biomassa yang melimpah di Indonesia. Kombinasi energi terbarukan diperkirakan menghemat biaya sampai 10 miliar dollar AS dalam 10 tahun ke depan.
Kenapa bisa lebih hemat? Alam menyediakan semuanya. Tenaga bayu tak perlu dibeli. Begitu pula surya, hidro, atau panas bumi. Berbagai jenis sumber energi itu bukan komoditas yang bisa diperdagangkan sebagaimana halnya batubara atau minyak dan gas bumi. Listrik dari energi terbarukan juga bebas dari harga batubara dan minyak yang naik-turun.
Bagaimana dengan keandalan pasokan? Di Indonesia, matahari bersinar sepanjang tahun. Hanya saja, puncak penyinaran optimal yang bisa dipakai sebagai sumber tenaga listrik berdasar sejumlah penelitian lebih kurang empat jam. Namun, belum termasuk kendala cuaca yang tengah mendung atau hujan lebat.
Begitu pula angin. Tak semua wilayah di Indonesia punya tiupan angin kencang yang mampu menggerakkan turbin. Seperti halnya pancaran surya, angin juga tak berhembus kencang selama 24 jam sehari dan tujuh hari sepekan. Hal ini menjadi alasan, pasokan tenaga bayu dan surya dinilai kurang andal.
Akan tetapi, seperti yang dilakukan sejumlah negara maju, kombinasi sumber energi terbarukan dengan energi fosil diperlukan. Hal ini menjadi amanat dalam kebijakan energi nasional di Indonesia. Untuk mencapai target 2025, peran energi terbarukan diharapkan 23 persen dalam bauran energi nasional yang saat ini masih kurang dari 8 persen. Selain itu, rencana ini tak semerta-merta menghapus peran batubara (energi fosil) yang pada 2025 masih mendapat porsi minimal 30 persen.
Idealisme mengoptimalkan sumber energi terbarukan bukan berarti membawa ancaman terhadap mata rantai bisnis batubara. Memang, batubara masih dominan dalam bauran energi pembangkit listrik di Indonesia, yaitu 60 persen. Pertanyaannya, apakah selamanya Indonesia akan bergantung pada batubara? Tidak mungkin. Sebab, sesuai sifatnya yang tak bisa diperbarui, suatu saat cadangan batubara di Indonesia akan habis tak bersisa.
Oleh karena itu, pemerintah tak bisa mengabaikan pengembangan energi terbarukan. Apalagi, pemerintah sudah menerbitkan aturan yang menetapkan angka-angka pencapaian berbagai sumber energi dalam bauran energi nasional. Pemerintah juga yang menandatangani kesepakatan Paris untuk menurunkan efek gas rumah kaca di 2015 lalu.
Persoalannya, kenapa pertumbuhan energi terbarukan masih lambat? Mengapa Indonesia belum mampu keluar dari zona nyaman energi fosil?
Yang nyata di depan mata adalah target 23 persen energi terbarukan di 2025 mesti dicapai. Jika tak tercapai, di mana persoalannya? Bagaimana jalan keluarnya? Itulah yang lebih butuh jawaban. Bukan saling beradu argumen jenis ini yang lebih baik atau jenis itu yang lebih andal. (Aris Prasetyo)–ARIS PRASETYO
Sumber: Kompas, 26 Februari 2019