Jerumus Scopus

- Editor

Senin, 11 Maret 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Seorang pengelola jurnal menulis pesan di media sosial pada Natal tahun lalu (2018) tentang kesyukurannya bahwa salah satu jurnal yang dikelolanya baru terindeks Scopus. Ternyata sudah sedemi- kian mendalam jerumus Scopus di Indonesia sehingga sesuatu yang seharusnya disesali menjadi disyukuri.

Di seluruh dunia, sejak dekade lalu, tidak terhitung jumlah ilmuwan dan institusi yang memprotes Scopus dan perusahaan induknya, Elsevier. Hal itu tak lain karena praktik-praktik mereka yang jauh dari keterbukaan ilmiah dan keadilan sosial.

Dalam Desember 2018 saja, kelompok Universitas California Los Angeles (UCLA) di AS—salah satu jaringan universitas publik terbesar di sana—sedang bernegosiasi alot dengan Elsevier tentang kelanjutan kontrak mereka.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Universitas California Los Angeles bahkan meminta para ilmuwannya untuk menolak meninjau dan memasukkan artikel ke dalam jurnal Elsevier sehingga negosiasi kontrak berpihak terhadap jaringan Universitas California.

Di Jerman pula, Max Planck Society—salah satu organisasi riset terbesar di sana, dengan 14.000 ilmuwan yang menjadi anggotanya—baru saja mengakhiri kontrak dengan Elsevier sebagai bagian dukungan terhadap inisiatif akses-terbuka Jerman yang bernama Project DEAL.

Prinsip keterbukaan
Keterbukaan persis menjadi masalah utama Elsevier dan Scopus yang dikeluhkan seluruh ilmuwan dunia. Selain kebijakan akses-terbuka, juga ada kebijakan sitasi-terbuka yang menjadi kelemahan kedua lembaga ini.

Laporan dari inisiatif OpenCitations menunjukkan bahwa sitasi dari jurnal-jurnal Elsevier adalah yang paling tidak terbuka kepada publik sehingga data sitasi ini tidak bisa digunakan publik secara luas, tetapi harus melalui akses Scopus sebagai bagian dari Elsevier.

Keburukan dari praktik sitasi-tertutup Elsevier ini langsung berdampak serius terhadap Indonesia, tepatnya dalam sistem bibliometrik nasional yang dirintis oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristek dan Dikti) sejak 2018.

Bernama SINTA, akronim dari Science and Technology Index, sistem ini sebenarnya direncanakan sebagai sebuah sistem yang berdiri sendiri dan tidak bergantung pada indeks-indeks eksternal, setidaknya dari berbagai pidato lisan Menristek dan Dikti serta jajarannya dalam banyak acara yang terkait SINTA.

Dalam bentuk tulisan, para penanggung jawab SINTA juga telah menyatakan dalam sebuah jurnal internasional bahwa ”… Skor-S (SINTA) mungkin merupakan contoh metrik yang baik untuk mengukur kinerja para peneliti, lembaga, dan jurnal di negara yang sebagian besar jurnalnya tidak diindeks oleh Scopus.”

Namun, para penanggung jawab SINTA ini sepertinya menemukan kenyataan pahit bahwa jika ingin mengukur kinerja ilmuwan dan institusi Indonesia di jurnal-jurnal Elsevier, yang merupakan salah satu penerbit dengan jumlah jurnal terbesar di dunia dengan sekitar 2.500 jurnal, tidak ada cara lain kecuali melalui indeks Scopus yang merupakan bagian dari Elsevier.

Jadilah Scopus yang sifatnya tertutup dan komersial menjadi unsur utama dalam sistem SINTA. Keburukan indeks Scopus yang tertutup dan komersial pun ibarat bom waktu yang siap meledak ketika dihadapkan dengan para ilmuwan negara pasca-kolonial seperti Indonesia.

Selama dua tahun ini, berbagai manipulasi yang terang-terangan dilakukan terhadap dokumen-dokumen Scopus dalam SINTA sehingga para ilmuwan yang tidak bertanggung jawab sempat menduduki peringkat-peringkat teratas SINTA selama berbulan-bulan.

Bahkan, secara kelembagaan, para ilmuwan ini sempat diberikan penghargaan secara resmi dalam acara nasional SINTA Awards tahun ini. Padahal, kritik publik dari berbagai pihak—termasuk antara lain dari orang-orang yang dekat dengan Kemristek dan Dikti sebelum acara tersebut berlangsung dan dari salah seorang pemenang Habibie Award ketika acara tersebut berlangsung, juga dari tulisan-tulisan di berbagai media nasional sesudah acara berlangsung— gencar diberikan. Namun, para penanggung jawab SINTA sama sekali tidak melakukan perubahan apa pun terhadap SINTA.

Semu dan ambigu
Baru setelah diliput oleh media internasional Times Higher Education dengan judul ”Indonesian performance-related funding system ’open to abuse’”, di mana penulis adalah salah satu narasumbernya, 19 Desember 2018, bom waktu pun meledak dan terlihatlah perubahan pada SINTA.

Secara tiba-tiba, para manipulator SINTA dihilangkan sama sekali dari sistem, sebuah tindakan yang sangat berpotensi melanggar etika akademik dan publik. Misalnya, publik tidak akan tahu sama sekali bahwa ada perubahan dalam SINTA jika melihat situsnya karena memang tidak ada pemberitahuan apa-apa.

Seolah-olah tidak ada yang salah selama ini dalam sistem SINTA. Ilmuwan yang ingin mengkaji SINTA juga kehilangan data historis tentang perkembangan SINTA sebagai sistem bibliometrik nasional.

Walaupun dengan penghilangan rekam jejak dan bukti manipulasi SINTA, tetap saja unsur Scopus yang tertutup dan komersial terlihat menimbulkan masalah.

Mengingat sifatnya yang tertutup, para penanggung jawab SINTA sama sekali tak berdaya mengatasi manipulasi terhadap indeks Scopus itu sendiri, seperti tetap menyertakan jurnal-jurnal bermasalah (predatory), mengategorikan prosiding sebagai jurnal, dan tak sepenuhnya terbuka siapa yang menjadi anggota penyeleksi jurnal-jurnalnya (content selection advisory board). Peringkat SINTA yang utamanya didasarkan pada kinerja Scopus pun menjadi hal yang semu dan ambigu.

Imperialisme akademik
Dalam pembahasan ilmiah, fenomena ketergantungan terhadap Scopus oleh Kemristek dan Dikti sebenarnya merupakan cerminan dari imperialisme akademik yang sudah sering dibahas para ilmuwan sosial-humaniora dunia dalam konteks pasca-kolonial.

Syed Farid Alatas (2003), misalnya, menamakan fenomena ketergantungan seperti ini sebagai ”neo-kolonialisme akademik”, yang mencakup aspek-aspek ketergantungan, yaitu terhadap ide, media, teknologi, dana, dan pengakuan asing.

Seandainya para ilmuwan sosial-humaniora Indonesia dilibatkan sebanyak ilmuwan sains dan teknologi dalam pengembangan SINTA, mungkin jerumus Scopus dapat dihindari sejak awal.

Keterbatasan pelibatan para ilmuwan tersebut terlihat dari nama SINTA sendiri, yang secara resmi disingkat sebagai Indeks Sains dan Teknologi. Tidak heran jika peringkat-peringkat teratas SINTA didominasi para ilmuwan di bidang ini.

Jika ingin membebaskan diri dari imperialisme akademik Elsevier dan Scopus, Kemristek dan Dikti dapat mempelajari perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam dunia ilmiah internasional tentang jurnal dan makalah ilmiah serta cara-cara untuk menilai para ilmuwan dan institusi yang memproduksinya.

Misalnya, Deklarasi Penilaian Riset (DORA) yang diluncurkan di San Francisco pada 2012 mengimbau bahwa setiap karya hasil penelitian perlu dinilai dengan membaca karya itu sendiri, bukan dinilai dari tempat di mana karya itu diterbitkan. Indeks-indeks tertutup dan komersial seperti Scopus serta metrik-metrik yang terkait dengannya bukanlah penanda kualitas sebuah karya, malah bisa dan sering dimanipulasi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Manifesto Leiden tentang metrik riset, yang telah diterjemahkan penulis ke dalam bahasa Indonesia, pula memberikan 10 rekomendasi, antara lain: (1) penilaian kuantitatif terhadap riset harus didukung oleh penilaian kualitatif dari pakar bidang ilmu riset tersebut; (2) kinerja riset harus diukur berdasarkan misi penelitian institusi atau ilmuwan itu sendiri, bukan berdasarkan kriteria eksternal yang dipaksakan terhadap riset tersebut; (3) riset yang bersifat lokal wajib diberi penghargaan yang memadai; (4) riset dalam bidang ilmu yang berbeda akan menghasilkan corak publikasi dan sitasi yang berbeda jadi cara penilaiannya harus berbeda pula.

Kalau diukur dari dua perkembangan di atas, DORA dan Manifesto Leiden, jelas praktik penggunaan dan pengutamaan Scopus yang telah menjadi ”hantu” dan banyak di-”calo”-kan di Indonesia telah menjerumuskan ilmuwan dan institusi Indonesia ke dalam kubangan ilmiah.

Apalagi, kabarnya tahun ini Kemristek dan Dikti telah membayar sekitar 1 juta dollar AS agar ilmuwan Indonesia dapat mengakses pangkalan data publikasi dan sitasi komersial, termasuk Scopus. Tindakan ini sangat kontras dengan tindakan lembaga serupa di seluruh dunia, sebagaimana dipaparkan pada bagian awal tulisan ini.

Perlu perombakan menyeluruh terhadap kebijakan evaluasi riset di Indonesia. Dominasi pangkalan-pangkalan data publikasi dan sitasi berbayar seperti Scopus dan lainnya wajib dievaluasi.

Niat baik Kemristek dan Dikti untuk meningkatkan dampak serta prestasi riset, teknologi, dan pendidikan tinggi Indonesia wajib terhindar dari jerumus Scopus. Kalau tidak, kita akan selamanya tertinggal, bergantung, dan terperangkap dalam ketertutupan dan komersialisasi ilmiah.

Surya Darma Hamonangan Anggota Tim Sains Terbuka Indonesia

Sumber: Kompas, 11 Maret 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 7 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB