Intelektualisasi Kekuasaan

- Editor

Rabu, 27 Februari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pidato Cornelis Lay dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (6/2/2019) menarik disimak. Sebagaimana dikutip Kompas (7/2/2019), Cornelis berpendapat kaum intelektual di Indonesia tidak perlu alergi dengan kekuasaan.

Demi kepentingan kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan dan berkolaborasi dengan kekuasaan. Namun, hubungannya dengan kekuasaan tak boleh membuat seorang intelektual kehilangan karakter dasarnya, yakni berpikir bebas dan bertindak bijak. Apa yang disampaikan Cornelis menambah khazanah wacana intelektual dan kekuasaan ketika menawarkan jalan ketiga.

Menurut Cornelis, selama ini seolah-olah kaum intelektual sekadar dihadapkan pada dua pilihan ketika berhubungan dengan kekuasaan, apakah tunduk pada atau menjauhi, bahkan memusuhi kekuasaan. Pilihan atau jalan ketiganya, kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, serta berdasarkan motif kemanusiaan. Hubungan intelektual dan kekuasaan, dengan demikian, tidak didikte oleh motif kecintaan atau kebencian.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Jalan ketiga yang ditawarkan Cornelis menggarisbawahi independensi intelektual yang semata-mata berpihak kepada moral kemanusiaan, bukan pada kekuasaan itu sendiri. Secara subyektivitas politik, tentu tidak ada yang salah dari apa pun yang dilakukan kekuasaan. Akan tetapi, intelektual punya standar etis intelektual yang disandarkan pada moral kemanusiaan. Intelektual yang ikut hadir di pentas kekuasaan, lantas memutuskan keluar karena pertimbangan moral kemanusiaan, pun tetap harus mampu bersikap etis dan proporsional, tidak lantas menyatakan kebenciannya pada kekuasaan.

Tugas intelektual justru lebih pada memperbesar ”kebenaran akademis” dalam kekuasaan. Di dalam atau di luar kekuasaan, sepakat pada Cornelis, timbangan pokoknya, kalkulasi kemanusiaan. Kebenaran kekuasaan tidak boleh melesat jauh meninggalkan moral kemanusiaan. Tugas intelektual mendekatkan dan menyejajarkannya. Dalam konteks inilah, asumsi dasar Cornelis segera dapat kita pahami. Menurut Cornelis, kekuasaan dan ilmu pengetahuan, lahir dan bertumbuh di atas cita-cita yang baik, yakni pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Untuk memperjuangkan kemanusiaan, intelektual bisa menjalin hubungan dengan kekuasaan dengan alasan moral yang kuat dan masuk akal, berjalan bersisian di tengah pesimisme yang berkembang.

Intelektualisasi
Kekuasaan dan intelektualitas, karena itu, bak dua sisi dari satu mata uang yang sama. Kekuasaan membutuhkan intelektualitas guna menggelar pembangunan yang berwajah manusia. Kaum intelektual punya posisi strategis, tak sekadar dalam konteks sebagai teknokrat. Intelektual dalam kekuasaan punya tanggung jawab moral kemanusiaan yang lebih luas ketimbang sekadar posisinya sebagai pakar kebijakan. Merujuk Soedjatmoko, dimensi manusia dalam pembangunan harus mengemuka.

Intelektual di kekuasaan ialah jantung intelektualisasi atau pencerdasan yang ditumbuhkan melalui tradisi literatif ilmu pengetahuan yang berpijak moral kemanusiaan yang jelas. Konsekuensinya, intelektualisasi tak semata sekadar pencerdasan pengetahuan, tetapi juga pencerahan bagi kualitas kemanusiaan dan peradaban. Kaum intelektual punya tanggung jawab lebih dalam berikhtiar mencerdaskan kehidupan bangsa.

Intelektual dalam kekuasaan sebagai penggelora intelektualisasi juga berfungsi korektif atau evaluasi diri sehingga rezim berkuasa tak larut dalam labirin ambisi kekuasaan yang justru menjauh dari moral kemanusiaan dan pencederaan akal sehat. Mereka idealnya juga pembendung arus balik dan berfungsi sebagai kekuatan detoksifikasi, otoritarianisasi kekuasaan. Mereka referensi penting rezim berkuasa yang lazim didominasi kaum politisi, memperkuat tradisi legitimasi intelektualitas, kekuasaan argumentatif, dan basis moral kemanusiaan yang kuat.

Harus diakui, pada praktiknya relasi intelektual dan kekuasaan tak mudah. Diasumsikan, semakin demokratis suatu entitas kekuasaan, kian leluasa para intelektualnya menggelorakan arus kuat intelektualisasi. Kian tak demokratis, semakin terpinggirkanlah intelektual, reduplah tradisi intelektualisasi. Namun, di tengah jenis kekuasaan apa pun, mereka tetap berfungsi menjaga moral kemanusiaan dan mencerahkan. Hal itu dilakukan melalui interupsi-interupsinya pada kekuasaan, proaktif mengingatkan rezim berkuasa untuk tak lepas dari orientasi kemanusiaan. Gambarannya seperti yang dilakukan punakawan intelektual dalam pewayangan.

Iklim demokrasi
Dalam entitas kekuasaan yang demokratis, intelektual turut berikhtiar merawat iklim kebebasan agar yang selalu muncul kecenderungan jenis kekuasaan, apa yang diistilahkan Geoff Mulgan (2006), kekuasaan yang baik (good power), bukan kekuasaan yang buruk (bad power). Kekuasaan yang baik bisa mewujud manakala kaum intelektual, politisi, dan birokrat fungsional.

Kuatnya arus intelektualisasi kekuasaan berpeluang terjadi dalam iklim demokratis, yakni ketika etika intelektualitas juga dikedepankan oleh kaum politisi dan birokrat. Intelektualisasi kekuasaan memang sering dihadapkan pada tantangan politisasi dan birokratisasi. Politisasi terjadi ketika ragam argumentasi intelektual, sekadar dipakai sebagai alat pukul politik, bukan motivasi pencerahan, sedangkan birokratisasi ialah formalisasi yang berpotensi menjauhkan tradisi intelektualitas yang mengutamakan substansi, kreativitas, dan inovasi.

Intelektual dalam kekuasaan tak semata-mata berfungsi menjawab kritik masyarakat dan intelektual luar kekuasaan, tetapi lebih mendasar ialah menyerap aspirasi intelektual. Kekuasaan tak boleh jauh meninggalkan aspirasi intelektual, justru karena terlampau tingginya kadar politisasi dan birokratisasi. Intelektualisasi kekuasaan mengemuka pada sikap yang tidak pernah sinis, apalagi alergi, terhadap ragam kritik. Segenap kritik direspons dengan etika dan argumentasi intelektual yang kuat, bahkan ketika hoaks dan fitnah media sosial gencar.

Intelektual tak sekadar bisa berfungsi menumbuhkan iklim intelektualisasi politisi, tetapi juga reformasi birokrasi. Intelektualisasi birokrasi bermakna implementasi moral kemanusiaan agar mereka semakin mampu meningkatkan pelayanannya secara baik kendati di tengah keterbatasan. Dengan demikian, arus intelektualitas terjaga dalam tradisi kaum intelektual itu sendiri, kaum politisi dan birokrat pemerintahan.

Intelektual memiliki ciri yang unik, mengingat apakah mereka di dalam atau luar kekuasaan, merujuk Cornelis, dalih moral kemanusiaanlah yang selalu dipegang. Mereka sama-sama mencegah kualitas kekuasaan merosot, keluar dari bingkai kelaziman moralnya ke arah kekuasaan yang buruk. Moralitas kekuasaan selalu dikaitkan tanggung jawabnya mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa. Intelektual dalam kekuasaan setidaknya punya peluang lebih besar mengingatkan rezim berkuasa agar tidak merosot moralitas kekuasaannya.

M Alfan Alfian Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional; Pengurus Pusat HIPIIS

Sumber: Kompas, 27 Februari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB