Pemanasan global telah memicu perubahan pola dan sebaran penyakit menular, khususnya yang disebarkan vektor serangga seperti nyamuk. Di Indonesia, fenomena ini juga mulai ditemukan, sekalipun datanya masih sangat terbatas.
“Perubahan iklim bisa menjadi pemicu meningkatkan aktivitas nyamuk. Suhu udara menjadi relatif lebih tinggi pada akhirnya akan menyebabkan nyamuk lebih aktif. Selain itu, pemanasan global juga menyebabkan suhu udara di daerah-daerah yang dulunya tidak mendukung perkembangbiakan nyamuk menjadi lebih hangat sehingga nyamuk mampu berkembangbiak di daerah tersebut,” kata Kepala Laboratorium Dengue, Lembaga Biologi Molekular Eijkman, Tedjo Sasmono, di Jakarta, Rabu (20/2).
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA–Kabupaten Malaka selalu mewasdapai kasus DBD di masyarakat dengan melakukan fogging secara periodik di tempat-tempat tertentu. Antisipasi dini ini sangat tergantung pada pengambil kebijakan di daerah itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Tedjo, untuk di Indonesia, fenomena nyata yang dapat diamati saat ini adalah semakin banyaknya kasus demam berdarah dengue (DBD) di daerah-daerah dataran tinggi yang dulunya beriklim sejuk.
Penelitian yang dilakukan Sukmal Fahri yang dipublikasikan di jurnal Plos Neglected Tropical Desease (2013) misalnya menemukan keberadaan virusdengue pemicu DBD di dataran Jawa Tengah dengan ketinggian 1.001 meter dari permukaan laut. Peneliti senior malaria dan nyamuk dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Syafruddin, yang terlibat publikasi ini mengatakan, kajian ini membuktikan adanya perluasan sebaran penyakit DBD yang dibawa nyamuk.
“Nyamuk memiliki kemampuan adaptasi yang sangat tinggi, melebihi manusia,” kata Syafruddin. Pola iklim yang berubah akan mengubah sebaran vektor di daerah itu. Misalnya, jika sebelumnya yamuk hidup di kisaran 40 Lintang Utara dan 40 Lintang Selatan, dengan adanya perubahan iklim, maka sebaran nyamuk menjadi luas luas ke darah lintang rendah.
“Sebaran vektor nyamuk secara global meluas. Tetapi komposisi vektor di daerah tropis yang juga makin panas, komposisinya juga berubah. Hanya yang adaptif yang bertahan,” kata Syafruddin.
Perubahan ini, menurut Syafruddin bisa memicu munculnya sejumlah penyakit yang belum diketahui pasti penyebabnya, dan diduga disebarkan nyamuk. “Kami masih dalam proses mengamati beberapa kasus seperti di Sulawesi Selatan, banyak sekali penyakit tular vektor, dengan gejala seperti flu,” ujarnya.
Selain itu, komposisi spesies nyamuk dan penyakit yang ditularkannya cenderung berubah. Malaria mulai berkurang, tetapi DBD meningkat, selain juga muncul beberapa jenis penyakit dibawa nyamuk seperti cikungunya, kaki gajah, bahkan zika. “Untuk malaria, kajian kami di Sumba juga menemukan satu genus nyamuk Anopheles penyebar malaria ternyata memiliki 11 spesies,” kata dia
Beberapa kajian di luar negeri telah mengaitkan perubahan pola penyakit yang ditularkan nyamuk dengan fenomena cuaca seperti La Nina dan El Nino. Misalnya, studi yang diakukan di Provinsi Guandong, China oleh J Fan (2014) menemukan adanya kaitan antara terjadinya El Nino dengan tranmisi DBD. Sedangkan kajian Chen (2010) menemukan, peningkatan kelembaban udara di Kaoshiung, Taiwan yang disebabkan oleh El Nino pada 2005 memicu pertumbuhan dan pembiakan nyamuk lebih cepat.
Tedjo mengatakan, dari pengamatannya, setelah terjadinya El Nino di pada tahun 2015 selama dua tahun setelahnya, kasus DBD di Indonesia cenderung rendah. “Tetapi belum ada data ilmiah yang dipublikasikan tentang hal ini, padahal ini sangat penting untuk memahami perubahan pola penyakit terkait tren perubahan iklim,” kata dia.
Ditularkan lalat
Tak hanya nyamuk, penyebaran penyakit yang ditularkan oleh lalat juga meningkat. Kajian terbaru yang dilakukan para ahli epidemologi dari Universitas Waterloo di Kanada dan dipublikasikan di jurnal Royal Society Open Science pada 13 Februari 2019 menghitung, pemanasan suhu global akan meningkatkan aktivitas lalat rumah yang membawa Campylobacter, penyebab diare. Infeksi Campylobacter paling sering disebabkan oleh makanan yang terkontaminasi dengan penyebar utamanya lalat.
Peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Pusat Penelitian Perubahan Iklim (Research Centre for Climate Change-RCCC) UI Budi Haryanto mengatakan, beberapa penyakit memiliki keterkaitan dengan perubahan iklim secara signifikan. Curah hujan tinggi dan suhu panas berpengaruh pada meningkatnya penyakit-penyakit seperti diare, leptospirosis, gangguan saluran pernapasan, serta penyakit yang ditularkan oleh vektor seperti nyamuk misalnya, yaitu penyakit demam berdarah.
Perubahan iklim yang menyebabkan curah hujan lebih tinggi dan pemanasan global yang membuat suhu lebih hangat akan meningkatkan ancaman penyakit. Pada kasus leptospirosis, curah hujan yang tinggi akan menyebabkan banyak air tergenang atau banjir. “Urin tikus yang membawa virus leptospira akan terapung di air genangan. Orang dengan luka yang tidak harus besar, bisa terinfeksi leptospira dengan mudah,” kata Budi.
Penyakit diare amat berkaitan dengan curah hujan tinggi dan banjir. “Diare itu akibat air bersih terkontaminasi bakteri dan air bersih tersebut mencemari makanan. Bukan hanya makanan, peralatan makan dan minum juga bisa terkontaminasi,” tambahnya.
Di sisi lain, saat kemarau, udara amat kering, persediaan air bersih berkurang. “Air tersebut juga mudah terkontaminasi. Akibat udara kering, debu mudah terbang dan mengontaminasi air bersih.” katanya.
Menurut Budi, sudah banyak hasil riset yang menyimpulkan, di daerah pegunungan kini ditemukan juga kasus-kasus malaria dan demam berdarah dengue. Äkibat perubahan iklim sekarang pegunungan pun menghangat.
“Karena tidak dingin lagi, maka nyamuk sebagai vektor malaria dan demam berdarah juga penyebarannya semakin luas karena naik ke daerah tinggi seperti pegunungan,” kata Budi. Di Papua kini sudah ditemukan penyakit malaria di pegunungan padahal biasanya hanya ada di dataran rendah.
Oleh AHMAD ARIF DAN BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Sumber: Kompas, 21 Februari 2019