Beberapa hari terakhir, sejumlah media di Indonesia, khususnya media daring, ramai membicarakan supermoon yang terjadi pada Selasa (19/2/2019). Mereka menyebutnya super snow moon alias bulan super salju. Situasi serupa juga terjadi di sejumlah negara. Namun, baik media utama maupun media sains dan astronomi justru tak banyak mengulasnya.
Bulan purnama di sejumlah wilayah di Jakarta, Selasa malam, tidak bisa diamati akibat mendung tebal dan gerimis. Kalaupun bisa diamati, purnama yang terjadi bersamaan dengan supermoon atau bulan purnama super itu tidak akan banyak berbeda dengan bulan purnama biasa.
AP PHOTO/JACK DEMPSEY–Supermoon terbit di Dark Sky Community, Summit Sky Ranch, Silverthorne, Colorado, Amerika Serikat, 14 November 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Timeanddate.com, bulan pada Selasa (19/2/2019) mencapai jarak terdekatnya dengan bumi pada pukul 16.02 WIB dengan jarak 356.761 kilometer. Sementara puncak purnamanya terjadi pukul 22.53 WIB. Meski cukup dekat, jaraknya hanya 7,2 persen lebih dekat dari jarak rata-rata bumi-bulan yang mencapai 384.400 kilometer.
Sementara sebutan bulan salju merujuk pada budaya masyarakat Amerika Serikat. Menurut Farmer Almanac, bulan purnama kedua yang terjadi dalam satu tahun, yang umumnya terjadi pada bulan Februari, dinamai sebagai snow moon alias bulan salju. Februari umumnya jadi puncak musim dingin di AS.
Perpaduan dua hal, supermoon dan snow moon, itulah yang membuat bulan purnama kali ini disebut-sebut sebagai super snow moon.
Astrologi
Sebutan supermoon alias bulan super sebenarnya bukan istilah astronomi, melainkan astrologi. Nama itu diciptakan astrolog atau ahli nujum AS, Richard Nolle, pada 1979. Saat itu, ia mendefinisikan bulan super sebagai bulan mati atau bulan purnama pada jarak terdekatnya dengan bumi atau perige.
Meski istilah itu muncul empat dekade lalu, menurut Joe Rao di Space.com, Senin (18/9/2019), istilah itu baru populer saat supermoon pada 20 Maret 2011 waktu belahan bumi timur (19 Maret 2011 di negara Barat). Kepopuleran itu terjadi karena sembilan hari sebelumnya, atau 11 Maret 2011, terjadi gempa bermagnitudo 9,1 yang memicu tsunami besar di Tohoku, Jepang.
Spekulasi pun muncul, yang menyebut gempa dahsyat itu dipicu supermoon. Pada saat itu, jarak bulan terhadap bumi, seperti dikutip dari Universetoday.com, 10 Maret 2011, mencapai 356.577 kilometer. Jarak itu hanya kurang dari 203 kilometer dari jarak terdekat yang bisa dicapai bulan terhadap bumi.
REUTERS/ATHIT PERAWONGMETHA–Bulan purnama super alias supermoon terlihat di Phrathat Doi Suthep, Chiang Mai, Thailand, 15 November 2016.
Nolle dalam situsnya, Astropro.com, pada 2011 menyebut supermoon memunculkan hal yang ia namakan ”Jendela stres geofisika yang berpusat pada tanggal kesegarisan antara posisi matahari, bumi, dan bulan. Namun, efeknya akan terasa antara 16 Maret dan 22 Maret. Situasi itu memunculkan aktivitas seismik dari moderat hingga besar (termasuk gempa dengan kekuatan lebih dari 5 skala Richter, tsunami, dan erupsi gunung berapi”.
Namun, perlu diingat, pernyataan Nolle itu adalah dari astrologi, bukan astronomi. Astrologi, sebagai salah satu pengetahuan manusia tertua, termasuk dalam ranah pseudosains. Dia tidak termasuk sains karena menghubungkan posisi benda langit dengan nasib manusia dianggap tidak ilmiah. Saat ini tidak banyak universitas yang mengajarkannya, kalaupun ada, umumnya dalam kelompok ilmu budaya.
Sementara astronomi adalah sains yang didasarkan pada metode ilmiah. Sejumlah universitas terkemuka membuka jurusan astronomi yang dimasukkan dalam kelompok fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam.
Dalam astronomi, para astronom sebenarnya memiliki istilah sendiri untuk menyebut supermoon, yaitu bulan perigean. Bulan perigean itu bisa terjadi saat bulan purnama hingga disebut bulan purnama perigean atau saat fase bulan mati alias bulan mati perigean.
Secara teknik, bulan purnama perigean itu dinamai perige-syzygy sistem matahari-bulan-bumi. Syzygy dalam astronomi mengacu pada kesegarisan antara tiga benda langit. Kesegarisan itu bisa memicu terjadi gerhana bulan dan gerhana matahari.
AFP/BRENDAN SMIALOWSKI–Siluet patung kebebasan yang berada di puncak kubah US Capitol di Washington DC, dengan latar belakang gerhana bulan istimewa super blood wolf moon, Minggu (20/1/2019).
Selain itu, perkiraan Nolle itu juga tidak terbukti dan tidak ada korelasi ilmiahnya. Tidak ada peningkatan aktivitas seismik bumi pada 16 Maret hingga 22 Maret 2011. Gempa Tohoku yang dahsyat berlangsung di luar rentang waktu itu.
Meski demikian, pascakehebohan istilah supermoon itu, hampir setiap fenomena bulan super muncul selalu terjadi kehebohan di sejumlah media, khususnya media daring. Namun, respons astronom umumnya tenang-tenang saja. Rao menyebut fenomena itu sebagai sindrom supermoon.
Hebohnya penggunaan istilah bulan super membuat setiap bulan purnama di perige selalu disebut supermoon. Padahal, setidaknya bulan purnama dengan posisi bulan berada di dekat jarak terdekat bulan-bumi perige bisa terjadi beberapa kali.
Sepanjang 2019 ini saja setidaknya sudah terjadi dua kali fenomena bulan super, yaitu pada 21 Januari 2019 dan 19 Februari 2019. Keduanya adalah bulan purnama super atau super full moon. Bulan super juga akan terjadi pada 29 September 2019 mendatang, tetapi itu terjadi saat bulan mati sehingga disebut bulan mati super (super new moon).
Karena itu, kita masih akan dihadapkan dengan banyak kehebohan supermoon ke depan. Belum lagi definisi supermoon juga belum terstandar sehingga banyak bulan purnama yang berada agak jauh atau cukup lama sesudah atau sebelum perige juga disebut bulan super.
Penampakan
Salah satu informasi heboh yang sering muncul bersamaan dengan fenomena bulan super adalah bulan akan terlihat jauh lebih besar. Kegemparan umumnya disertai dengan beredarnya foto-foto Bulan berukuran sangat besar saat di dekat horizon atau ufuk, baik yang asli maupun tipuan hasil olahan.
Saat bulan purnama super, bulan hanya tampak lebih besar 12-14 persen dan kecerlangannya naik 30 persen dibandingkan saat bulan berada di titik terjauhnya dari bumi atau apoge. Jika dibandingkan dengan bulan purnama rata-rata, lebar diameter bulan super hanya bertambah 6-7 persen.
Meski demikian, jika diamati dengan mata telanjang, perbedaan itu akan sulit diamati. Bulan yang tampak lebih besar di horizon akan terlihat seperti biasa lagi saat makin meninggi.
Besarnya ukuran bulan saat berada di horizon sebenarnya adalah ilusi optik, bukan karena ukuran bulan yang membesar dalam arti sebenarnya. Ilusi itu muncul karena otak manusia kerap tak sadar membandingkan ukuran bulan di dekat horizon dengan bangunan atau lanskap di depannya yang lebih kecil. Akibatnya, bulan akan tampak lebih besar.
Meski bulan berada pada titik terdekatnya dengan bumi, satu-satunya dampak yang perlu diwaspadai adalah naiknya permukaan air laut. Sebenarnya peningkatan ketinggian muka air laut selalu terjadi setiap bulan purnama. Namun, jarak bulan yang lebih dekat akan meningkatkan pasang naik air laut.
Kenaikan pasang air laut itu belum tentu menimbulkan banjir atau luapan air laut ke darat. Bencana banjir atau rob itu akan sangat bergantung pada kondisi cuaca dan geografis di setiap daerah. Hal yang harus diwaspadai, khususnya di Jakarta, adalah jika pasang maksimum itu terjadi bersamaan dengan hujan deras di darat dan laut sehingga limpasan air hujan dari darat tidak bisa mengalir ke laut.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO–Pedagang kaki lima melayani pembeli seperti biasa saat terjadi air pasang yang menggenangi Dermaga Kali Adem, Muara Angke, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (1/2/2018). Air pasang yang merendam kawasan dermaga itu disebabkan fenomena supermoon atau bulan besar yang puncaknya terjadi malam sebelumnya.
Karena itu, tidak perlu khawatir berlebih dengan dampak dari fenomena bulan super, khususnya bagi mereka yang tinggal di wilayah pesisir. Namun, kewaspadaan tetap perlu jadi yang utama.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 20 Februari 2019