Berfilsafat dalam Revolusi Industri 4.0

- Editor

Jumat, 15 Februari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pada tahun 2019, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara genap berusia 50 tahun.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan, perjalanan 50 tahun Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD) merupakan sebuah proses komitmen untuk hadir secara penuh dalam mengabdi kepada masyarakat bangsa Indonesia pada aspek pendidikan. Kehadiran dan pengabdian STFD sebagai komunitas akademik terarah pada tujuan mencerahkan budi, mengasah nurani dan menggerakkan aksi demi terwujudnya kondisi manusia dan tata kehidupan bersama yang lebih sehat.

Demikian STFD membentuk para alumnusnya menjadi manusia Indonesia berkepribadian kritis, berintegritas, dan bertanggung jawab dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi ataupun dalam hidup bersama sebagai anak-anak bangsa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dengan tema ”50 Tahun STF Driyarkara: Keterlibatan Filsafat dalam Membangun Ke-Indonesia-an” yang memayungi perjalanan syukur semua sivitas akademika, STFD menegaskan kembali raison d’être-nya, yakni bahwa filsafat lahir dari ke kebutuhan untuk mencari kedalaman dan kejernihan dari fenomena kehidupan kita, khususnya kehidupan berbangsa Indonesia.

Filsafat selalu terkait erat dengan konteks kehidupan keseharian. Oleh karena itu, ia tak terbang jauh mengawang- awang sehingga terkesan terlampau abstrak sehingga membuat jelimet. Sebaliknya, filsafat menuntut integritas hidup—bukan hanya kecerdasan berpikir akal sehat—dari para pencinta kebijaksanaan agar selalu terlibat secara bertanggung jawab dan kritis terhadap lingkungan di mana ia berfilsafat.

Membaca fenomena
Kesetiaan terhadap tujuan dari eksistensinya menggugat para pencinta kebijaksanaan untuk selalu terusik dengan situasi riil di mana mereka hadir. Konteks dunia digitalisasi menjadi lokus berfilsafat saat kini. Fenomena perkembangan teknologi digital yang pesat telah mengakibatkan disrupsi kehidupan manusia dalam berbagai bidang, khususnya dalam cara kita hidup, cara kita bekerja dan bertindak, serta cara kita berelasi dengan sesama manusia dan dunia.

Kehadiran kecerdasan buatan (artificial intelligence) lewat penciptaan robot-robot, teknologi berbasis internet (the internet of things), teknologi nano, bioteknologi, printer 3D, komputasi kuantum, dan blockchain adalah ciri-ciri kondisi hidup saat ini, yang disebut sebagai Revolusi Industri 4.0 (Klaus Schwab, 2016). Revolusi Industri 4.0 mengubah cara kita mendefinisikan siapa kita dan dunia yang kita tempati. Dunia menjadi digital dan peristiwa dunia menjadi ”kekinian”, di mana ruang dan waktu terkompresi.

Dalam era digitalisasi saat ini, semua peristiwa menjadi ”kekinian” karena apa yang terjadi di satu tempat dapat diketahui oleh orang lain di tempat berbeda pada waktu yang persis sama dengan peristiwa itu terjadi. Dalam kemampatan waktu dan hantaman banjir informasi akibat dunia digitalisasi saat ini, manusia menjadi homo digitalis, yang eksistensinya terletak pada gawai.

Demikianlah sebagai homo digitalis, manusia dikendalikan, berfungsi dan beradaptasi dengan iklim teknologi digital (Budi Hardiman, Kompas, 1/3/2018).

Sebagai homo digitalis, eksistensi kita diukur dalam tindakan menggunakan alat-alat gawai. ”Aku bergawai, maka aku ada”. Salah satu implikasinya adalah kita begitu mudah terpapar virus kedangkalan bahkan kesesatan berpikir. Petunjuknya adalah pandemi hoaks yang bermuatan kemarahan dan kebencian kepada pihak lain yang dianggap musuh. Hoaks yang disebarkan lewat media dunia digital sering kali menyebabkan terjadinya konflik di antara sesama anak bangsa.

Demikianlah bahwa salah satu hal yang menonjol dari Revolusi Industri 4.0 adalah banjir informasi yang diperoleh oleh setiap kita. Hampir setiap detik, gelombang informasi menghantam keseharian hidup kita. Kenyataan saat ini telah distimulasi oleh Revolusi Industri 3.0, sekitar 1960, yang ditandai muncul dan berkembangnya teknologi digital lewat kehadiran komputer (1960), kemudian berkembang pada personal komputer (1970-1980) dan berpuncak pada penggunaan internet (1990).

Membudayakankebijaksanaan
Merujuk pada hasil survei Mastel 2016, berkaitan dengan wabah hoaks, dinyatakan bahwa 44,30 persen dari setiap kita menerima berita hoaks setiap hari dengan jenis hoaks yang paling sering diterima adalah kebohongan dalam aspek sosial dan politik (91,80 persen). Fakta besarnya volume hoaks per hari menunjukkan betapa kedangkalan, ketidakkritisan, dan kesesatan berpikir baik yang dimiliki oleh mereka yang memproduksi hoaks maupun masyarakat yang serta-merta meneruskan berita hoaks menjadi problem hidup berbangsa yang perlu dicari solusi bersama dalam menghadapinya.

Hoaks adalah sisi negatif ketika banjir informasi sebagai buah dari dunia digitalisasi tidak dibarengi dengan kearifan dan kebijaksanaan dalam pribadi manusia. Berhadapan dengan tantangan hoaks dan pengultusan pada sentimen dalam dunia digitalisasi, filsafat sebagai ilmu kritis dan mencintai kebijaksanaan menjadi disiplin ilmu yang mendesak untuk diaktualisasikan.

Melampaui upaya membentengi hoaks dengan menghapus akun-akun yang menyebarkan berita hoaks dan memblokir berita hoaks lewat mesin produk dari kecerdasan intelektual, filsafat menuntun kita menghadapi fenomena hoaks dan dominasi emosi dengan membudayakan kearifan dan kebijaksanaan berpikir.

Filsafat menuntut kita masuk lebih dalam untuk mengerti, memahami, menilai, dan mengambil keputusan yang arif dan bijak, baik melalui apresiasi maupun kritik terhadap fenomena, data dan fakta-fakta yang ada di depan kita. Karena cirinya yang tidak berhenti pada fenomena, tetapi menembus pada kedalaman makna serta mengandalkan kemampuan berpikir dalam harmoni dengan emosi/rasa, filsafat mampu menuntun kita untuk beraksi atau bertindak sebagai manusia Indonesia yang berintegritas.

Demikianlah filsafat membentuk manusia Indonesia yang berintegritas dalam olah pikir, olah rasa dan olah aksi sehingga manusia Indonesia tidak mudah terkontaminasi virus hoaks dan pengultusan pada sentimen yang pada ujungnya menimbulkan kebencian dan konflik dalam kehidupan bersama sebagai bangsa Indonesia. Akhirnya, integritas manusia Indonesia tidak saja mampu mengatasi hoaks dan dominasi emosi, tetapi menghidupkan budaya cinta pada kebijaksanaan sebagai cara hidup bersama sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat dan beradab.

Hieronimus Dei Rupa Dosen STF Driyarkara

Sumber: Kompas, 15 Februari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Gelar Sarjana
Gelombang Radio
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB