Temani Remaja Membina Hubungan

- Editor

Jumat, 15 Februari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Orangtua berperan besar agar remaja yang berpacaran tidak terjebak perilaku berisiko. Kuatnya penabuan membuat sebagian besar orangtua tidak pernah membicarakan isu-isu kesehatan reproduksi pada anak remaja mereka.

Pacaran pada remaja adalah bagian dari proses pencarian identitas diri dengan membina hubungan dengan orang lain. Namun, banyak orangtua justru tidak pernah membicarakan isu-isu kesehatan reproduksi kepada anaknya. Akibatnya, remaja seringkali justru menerima informasi yang tidak tepat.

KOMPAS–Sepasang muda-mudi menikmati suasana sore Pulau Kelapa, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jumat (23/1/2015).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Orangtua perlu membuka komunikasi dengan anak terkait seluk peluk pacaran, termasuk risiko yang menyertainya,” kata Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) M Yani di Jakarta, Kamis (14/2/2018).

Perilaku pacaran remaja masa lalu dan saat ini memang tidak jauh berbeda. Namun, remaja sekarang makin berani menunjukkan kemesraannya di ruang publik. Namun, pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi tetap rendah hingga membuat banyak remaja terjebak perilaku berisiko.

Penyakit infeksi menular seksual, kehamilan tak diinginkan, kanker serviks, hingga implikasi psikologis akibat hubungan badan sebelum fisik dan psikis mereka siap belum banyak dipahami remaja.

Orangtua sebenarnya bisa jadi jembatan untuk menjelaskan hal itu, namun pengetahuan mereka pun sangat kurang. Bahkan informasi kesehatan reproduksi dasar tentang menstruasi dan mimpi basah yang pasti akan dialami remaja, justru banyak diperoleh remaja dari teman atau internet.

KOMPAS/AMBROSIUS HARTO–Sepasang pengunjung menikmati wahana di Taman Wisata Genilangit yang dikelola dan dikembangkan oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan melalui pemuda pemudi karang taruna Genilangit, Poncol, Magetan, Jawa Timur.

Kesulitan orangtua memberikan pendidikan kesehatan reproduksi pada anaknya dipicu banyak hal, mulai dari ketidaktahuan orangtua, penabuan yang berlebihan, hingga kekhawatiran anak justru terjebak perilaku berisiko.

Pada saat bersamaan, informasi dari internet tentang kesehatan reproduksi sangat melimpah dan mudah diakses siswa. Namun, banyak informasi tersebut kurang tepat atau tidak sesuai dengan nilai budaya keluarga dan bangsa Indonesia.

Pola komunikasi
BKKBN, lanjut Yani, ingin menyampaikan informasi tentang kesehatan reproduksi yang benar secara masif. Namun, penyampaiannya perlu kehati-hatian agar tidak salah dipahami dan justru menjadi kontraproduktif dengan upaya menyebarluaskan pengetahuan yang benar tentang kesehatan reproduksi.

KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA–Warga memadati Jalan Chatib Sulaiman, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu (20/1/2018) pada kegiatan hari bebas kendaraan (Car Free Day). Kedekatan emosional antara orangtua dan anak harus dibangun sejak kecil agar saat remaja, anak tetap dekat dengan orangtuanya.

Meski demikian, menyampaikan informasi kesehatan reproduksi atau perilaku pacaran yang sehat pada anak memang tidak mudah. “Orangtua harus memiliki kedekatan emosi dan pola komunikasi yang baik dengan anak sejak anak kecil,” kata psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Anna Surti Ariani.

Kedekatan emosi orangtua dan anak tidak bisa dibangun secara tiba-tiba. Namun, itu jadi kunci jika orangtua ingin mendampingi anaknya membina hubungan dengan orang lain dan tidak terjebak dalam perilaku pacaran berisiko.

Jika hubungan orangtua dan anak memang tidak baik, maka orangtua harus menginisiasi kembali hubungan itu dengan memanfaatkan waktu atau kesempatan saat mereka bertemu dengan anaknya. “Diskusi harus berjalan dua arah, tidak menghakimi dan menyudutkan remaja. Orangtua juga tidak boleh mendominasi pembicaraan,” katanya.

Saat kedekatan emosi itu sudah terbangun, maka orangtua baru bisa mendiskusikan tentang hal-hal terkait kesehatan reproduksi dan pacaran meski tidak bisa menggunakan kata-kata langsung atau bersifat interogatif.

Meski demikian, lanjut Anna, boleh tidaknya pacaran pada remaja memang sangat tergantung dari nilai masing-masing keluarga. Namun, orangtua harus memiliki alasan logis atas setiap pilihan yang dipilih. Jika tidak setuju dengan pacaran, orangtua juga bisa memberi contoh bagaimana membangun hubungan dengan orang lain.

Peran sekolah
Di tengah lemahnya peran keluarga, sekolah sejatinya memiliki peran penting. Namun, sekolah pun menghadapi banyak kesulitan untuk bisa menyampaikan isu-isu kesehatan repdoduksi.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Konsultasi mengenai kesehatan reproduksi di salah satu klinik di Jakarta. Edukasi yang cukup mengenai pentingnya menjaga kesehatan reproduksi menjadi bekal yang penting bagi remaja dalam pergaulan sehari hari.

Sebagian sekolah memasukkan pendidikan kesehatan reproduksi dalam kurikulum mereka. Namun ada pula yang menolaknya. Ketidakpahaman mereka tentang kesehatan reproduksi, tekanan masyarakat yang salah memahami kesehatan reproduksi membuat anak remaja makin terjebak dalam informasi yang keliru.

Di sisi lain, meski ada pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah, materinya belum tentu sesuai kebutuhan siswa. Abigail Aurelia (18) yang tinggal di Jakarta Pusat menilai, pendidikan kesehatan reproduksi yang diterimanya dulu saat SMP dan SMA tidak sesuai dengan kebutuhan siswa.

Materi yang disampaikan lebih banyak menekankan pada risiko atau dampak dari perilaku seksual remaja. Namun, hal yang bersifat praktis sesuai kebutuhan remaja justru tidak ada. “Informasi tentang pencegahan pelecehan seksual atau berani berkata tidak saat dihadapkan pada situasi yang rentan menimbulkan kekerasan seksual lebih dibutuhkan remaja,” katanya.

Oleh M ZAID WAHYUDI

Sumber: Kompas, 15 Februari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 2 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB