Remaja masa kini makin berani mengekspresikan gaya pacarannya di ruang publik. Namun, rendahnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi bisa menjerat mereka dalam berbagai masalah.
Gaya pacaran remaja saat ini dengan remaja generasi sebelumnya sebenarnya tidak jauh berbeda. Namun remaja sekarang lebih berani mengekspresikan rasa sayangnya di tempat terbuka. Respon lingkungan pun beragam, mulai dari tidak peduli hingga membangun gerakan antipacaran.
Perilaku pacaran remaja beragam. Umumnya, mereka berpacaran mirip dengan bersahabat, tetapi dengan ikatan yang lebih dekat lagi, seperti melakukan berbagai kegiatan bersama, seperti berangkat-pulang sekolah atau berkegiatan ekstrakurikuler bersama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PRAYOGI DWI SULISTYO UNTUK KOMPAS–Sejumlah muda-mudi menikmati kota Jakarta di malam hari dengan menongkrong di jembatan layang Klender, Jakarta Timur, Senin (27/3/2018).
Namun, sebagian remaja sekarang suka memamerkan kemesraan mereka berpacaran, mulai dari pegangan tangan, pelukan, hingga ciuman langsung di ruang publik dan media sosial. Tidak sedikit pula remaja yang melakukan KNPI (kissing, necking, petting, intercourse) atau ciuman, pelukan, rabaan dan hubungan badan saat berpacaran.
“Remaja makin berani menunjukkan gaya pacarannya karena bagi mereka itu hal biasa, bukan lagi hal yang perlu ditutupi,” kata anggota Forum Remaja Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Fransisca Agatha Widhaningtyas di Jakarta, Rabu (13/2/2019).
–Sumber : Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (SKAP KKBPK), 2018
Perilaku itu makin berkembang akibat makin kurang pedulinya lingkungan di sekitar remaja. Tindakan berisiko itu sebenarnya bisa diminimalkan jika remaja memiliki pola komunikasi yang baik dengan orangtua. Namun, orangtua justru seringkali menghakimi, memojokkan atau melarang tanpa alasan logis yang kuat hingga membuat remaja makin jauh dari mereka.
Sementara itu, Ketua Bidang Perencanaan dan Pengembangan Forum Generasi Berencana (Genre) Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Nanda Rizka Saputri menambahkan media sosial banyak menjadi rujukan remaja tentang gaya pacaran. Gaya pacaran selebgram dengan berwisata atau tinggal bersama di tempat tertentu jadi banyak ditiru.
Demikian pula artikel-artikel yang mengulas tentang gaya pacaran, juga makin mudah diakses remaja. “Pacaran akhirnya menjadi gaya hidup,” katanya.
–Sumber : Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (SKAP KKBPK), 2018
Meski gaya pacaran remaja dulu dan sekarang relatif sama, sejumlah survei menunjukkan remaja masa kini makin berani menunjukkan gaya pacaran yang lebih dalam, seperti ciuman bibir atau hubungan badan sebelum pernikahan. Rata-rata umur pertama melakukan hubungan badan pun makin turun.
Walau perilakunya makin berisiko, pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi seksual belum membaik. Pengetahuan tentang masa subur atau hubungan badan sekali bisa menimbulkan kehamilan, juga tetap rendah. Apalagi, soal potensi penyakit infeksi menular seksual, kanker serviks, hingga implikasi psikis akibat hubungan badan terlalu dini belum banyak dipahami.
“Semua itu bisa menjebak remaja dalam berbagai persoalan kesehatan fisik dan mental yang memengaruhi kualitas mereka ke depan,” tambah Nanda.
Pengalaman Pusat Informasi dan Konseling Genre BKKBN menunjukkan banyak remaja, khususnya remaja putri, terjebak berbagai persoalan mental akibat berhubungan badan saat fisik dan psikis mereka belum siap, seperti kecanduan, rendah diri, kekerasan dan pelecehan saat pacaran hingga merasa tak berharga. Namun mereka umumnya sulit keluar dari hubungan yang tak sehat itu.
–Sumber : Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (SKAP KKBPK), 2018
Makin berisikonya perilaku pacaran remaja membuat muncul gerakan yang menolak pacaran. Di Indonesia, sejak 2015 ada gerakan Indonesia Tanpa Pacaran. Gerakan ini banyak mendapat simpati, baik dari remaja maupun orangtua. Namun, banyak pula yang kurang sependapat.
Sementara di Amerika Serikat, terbit buku karya Joshua Harris, I Kissed Dating Goodbye pada 1997 yang juga menolak gaya pacaran bebas. Namun buku itu banyak dikritik berbagai pihak akibat pandangan seksisme hingga membuat orang takut membina hubungan romantis.
Dosen psikologi klinis Universitas Bina Nusantara Jakarta yang fokus meneliti hubungan romantis anak muda, Pingkan CB Rumondor mengatakan pacaran sebenarnya bisa dimaknai sebagai upaya melatih remaja membangun hubungan serta mengasihi dan menyayangi lawan jenis. Perilaku pacaran yang berlebihan, seperti berhubungan badan, sejatinya tidak ada dalam definisi pacaran.
Sesuai perkembangan psikologisnya, masa remaja adalah waktu pencarian identitas diri. Melalui pacaran, remaja bisa membangun relasi dengan orang lain, termasuk dengan lawan jenis, hingga mengetahui perannya di masyarakat. Kemampuan membangun relasi itu perlu dibangun sejak remaja agar saat tiba waktunya mereka membangun relasi dengan lawan jenis yang lebih serius, mereka siap dan mampu melakukannya.
–Pacaran bagi remaja adalah bagian dari proses pencarian identitas diri
“Pacaran pada remaja, bukan anak-anak, adalah sesuatu yang wajar sesuai perkembangan psikologisnya. Mereka sudah mengalami pubertas, memiliki dorongan seksual dan keinginan mengenal lawan jenis. Karena itu, remaja perlu belajar mengelola dorongan itu,” katanya.
Sementara secara perkembangan otak, remaja adalah masa untuk mengeksplorasi dan mencoba berbagai hal. Mereka belum mampu berpikir logis seoptimal orang dewasa. Pada saat itu, remaja belum bisa melakukan sebagaimana mestinya sesuai harapan masyarakat. Karena itu, bimbingan orangtua dan orang dewasa di sekitarnya penting agar remaja tidak terjebak dalam perilaku berisiko.
Oleh M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 14 Februari 2019