Bumi semakin tak ramah, ditandai dengan ekstremitas dan kontradiksi cuaca yang melanda hampir di seluruh penjuru. Kontras ini terlihat di Amerika Utara yang dilanda dingin esktrem, sementara di Amerika Selatan dilanda suhu tinggi dan hujan ekstrem. Australia juga mengalami kontras, bagian utara hujan lebat dan banjir, bagian selatan panas dan kebakaran.
Suhu dingin mencapai -53,9 derajat celcius di Minnesota, Amerika Serikat pada 30 Januari melampaui rekor terdingin di negeri ini selama 100 tahun terakhir. Laporan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), suhu di 50 negara bagian mencapai rekor terdingin yang pernah tercatat dalam puluhan tahun terakhir. Namun, pada saat bersamaan, Alaska dan sebagian Antartika menghangat melampui rata-ratanya.
—Instrumen Atmospheric Infrared Sounder (AIRS) NASA menangkap pusaran kutub yang bergerak dari Kanada Tengah ke Midwest AS dari 20 Januari hingga 29 Januari. Ilustrasi ini menunjukkan suhu pada ketinggian sekitar 10.000 hingga 15.000 kaki (600 milibar tekanan atmosfer) di atas tanah. Kredit: Proyek AIRS NASA / JPL-Caltech
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
World Meteorologi Organization (WMO) dalam keterangan tertulisnya awal Febuari 2019 menyebutkan, dingin ekstrem di Amerika Serikat ini disebabkan oleh polar vortex (PO), atau pusaran kutub. Polar vortex merupakan area tekanan rendah di troposfer atau atmosfer level atas yang terbentuk di dekat daerah kutub, bisa kutub utara atau selatan. Umumnya yang paling berpengaruh terhadap dinamika cuaca di Amerika adalah vortex kutub utara.
Vortex kutub dicirikan sebagai aliran massa udara yang persisten, skalanya besar, area tekanan rendah dengan diameter kurang dari 1.000 kilometer, berputar berlawanan arah jarum jam di Kutub Utara dan searah jarum jam di Kutub Selatan. Putaran pusaran ini didorong oleh efek gaya Coriolis. Sementara itu, di troposfer bagian bawah, berhembus massa udara Arktik yang dingin dan rapat.
Peneliti iklim yang juga Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Siswanto mengatakan, kemunculan polar vortex erat berhubungan dengan pola ulangan anomali iklim lainnya seperti osilasi arctic, osilasi Atlantik Utara, yang digolongkan sebagai kejadian variabilitas iklim alami.
“Ini sama halnya dengan El Nino dan La Nina di Samudera Pasifik, yang mempengaruhi cuaca Indonesia,” kata dia.
Dampak dari pergerakan vortex ini adalah meluasnya salju ke Eropa Barat termasuk Inggris, Skandinavia, Asia Utara dan Timur. Cuaca BBC Weather melaporkan, pada Sabtu (2/2/2019) sebagai “malam terdingin di musim terdingin,” dan suhu yang mencapai – 11,7 derajat celcius di London ini disebut, “sangat tidak biasa.”
Bahkan, Semenanjung Arab dilanda badai debu dingin yang bergerak dari Mesir hingga Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Iran, dan Uni Arab Emirat. Kondisi ini membawa hujan lebat dan penguapan tinggi di Pakistan dan India. Hujan salju ekstrem dilaporkan melanda Pegunungan Himalaya.
Panas di Selatan
Ekstremitas cuaca kali ini juga terlihat di belahan bumi selatan. Amerika Selatan, seperti dilaporkan Meteo Cile, kini dilanda panas ekstrem. Pusat cuaca di Ibukota Santiago mencatat rekor panas tertinggi 38,3 derajat celcius pada 26 Januari, bahkan di bagian tengah Cile suhu mencapai 40 derajat celcius.
–Diagram Skematik perubahan kondisi cuaca Laut Arctic dari September 2018 hingga awal Februari 2019 di mana hilangnya tutupan es laut Kutub Utara pada akhir musim panas hingga awal musim dingin dibarengi dengan penebalan dan meluasnya lapisan salju Eurasia pada musim gugur sehingga terjadi kondisi netral-osilasi arctic fase negatif di musim dingin. Salju digambar dalam warna putih, es laut berwarna putih dengan warna biru, es laut meleleh dengan gelombang biru, tekanan tinggi dan rendah dengan warna merah “H” dan biru “L”, aliran jetstream troposfer berwarna biru muda dengan panah dan jet stratosfer atau pusaran kutub (polar vortex) ditampilkan dalam warna ungu dengan panah. Di gambar dunia kanan, anomali suhu dingin (hangat) yang terkait dengan fase negatif musim dingin osilasi arctic – netral ditunjukkan dengan warna biru (oranye). Keterangan: Siswanto, 2019
Demikian halnya Argentina bagian selatan mengalami panas ekstrem. Panas tinggi artinya juga tingginya penguapan. Bagian utara Argentina dilanda hujan dengan intensitas tertinggi di negara ini, yaitu mencapai 224 milimeter (mm) per hari pada 8 Januari.
Kontradiksi juga terjadi di bagian utara Australia, di mana di bagian selatan benua ini, seperti di Minnesota, dilanda gelombang panas yang mencapai lebih dari 49 derajat celcius sehingga memicu kebakaran lahan di mana-mana. Di sisi lain, di bagian utara, Queensland, dilanda hujan dengan intensitas lebih dari 300 milimeter (mm) per hari sehingga memicu banjir terburuk dalam sejarah.
Indonesia juga tak luput dari cuaca ekstrem. Intensitas hujan yang mencapai lebih dari 300 milimeter per hari di sejumlah lokasi di Sulawesi Selatan telah memicu banjir besar dan longsor yang menelan puluhan korban jiwa. Banjir dan longsor kemudian bergeser ke Sulawesi Utara.
Perubahan Iklim
Sekretraris Jenderal WMO Petteri Taalas menyebutkan, dingin ekstrem yang melanda bumi bagian utara tidak secara langsung menandai perubahan iklim. “Secara umum, dan di tingkat global, telah terjadi penurunan rekor suhu dingin sebagai akibat dari pemanasan global. Tetapi suhu dingin dan salju akan terus menjadi bagian dari pola cuaca khas kita di musim dingin belahan bumi utara. Kita perlu membedakan antara cuaca harian jangka pendek dan iklim jangka panjang,” kata dia.
Siswanto menjelaskan, anomali cuaca sesaat dan individual memang tidak bisa dihubungkan langsung dengan perubahan iklim yang memiliki dimensi waktu jangka panjang. “Meskipun begitu, perubahan polar vortex dari sisi kekuatan dan keseringan kejadiannya dalam jangka waktu iklim yang panjang dapat dianalisis dengan variabel perubahan iklim,” kata dia.
Beberapa penelitian mengungkapkan, terdapat beberapa bukti bahwa kelokan aliran jetstream menjadi lebih lambat saat suhu planet bumi menghangat. Aliran jetstream berinteraksi dengan pusaran kutub, membantu membawa suhu dingin lebih jauh ke selatan.
Para ilmuwan juga telah menunjukkan lapisan es di Kutub Utara dengan cepat berkurang, terutama saat musim panas. Suhu tanah yang lebih hangat, terutama di Amerika Utara utara dan Eurasia utara, memungkinkan lebih banyak panas untuk diangkut ke stratosfer Antartika.
Bumi yang lebih hangat membuat peristiwa pemanasan stratosfer mendadak lebih mungkin dan lebih sering terjadi. Dan peristiwa-peristiwa itu mengganggu kestabilan pusaran kutub, membawa udara dingin ke pertengahan garis lintang, dan menyebabkan cuaca ekstrem yang kita alami sekarang.
“Pemanasan global memang lebih nyata terlihat pada spektrum ekstremnya cuaca, sedangkan variabilitas iklim belum terlihat jelas. Fenomena serupa terjadi di Indonesia, di mana hujan ekstrem lebih sering terjadi, sekalipun rata-rata tahunannya masih sama, bahkan turun,” kata Siswanto.
Kajian dari tim gabungan sejumlah negara, termasuk dari peneliti BMKG Supari, yang dipublikasikan dalam jurnal Asia-Pacific Network (APN) for Global Change Research pada 22 Agustus 2018 memproyeksikan, perubahan pola penguapan yang berpengaruh terhadap pola hujan di Asia Tenggara. Jika laju pemanasan global sebesar 2 derajat celsius seperti yang terjadi saat ini, pada tahun 2031-2051 sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan secara signifikan untuk rata-rata tahunnya, dan sebaliknya wilayah Indochina akan mengalami hujan lebih banyak.
Sekalipun rata-rata tahunan turun, namun berdasarkan kajian yang dilakukan Siswanto untuk disertasinya menemukan, tren hujan ekstrem di Indonesia, khususnya di Jakarta, sejak tahun 1900 – 2010 justru meningkat intensitasnya secara signifikan. “Hujan lebat berdurasi pendek (antara 1-3 jam), meningkat signifikan secara statistik. Sedangkan hujan berdurasi menengah (4-6 jam), dan druasi lama (> 6 jam), juga meningkat, meskipun belum terlalu tinggi,” kata dia.
Dengan gambaran ini, ke depan kita akan lebih sering lagi menghadapi persoalan cuaca ini. Tak mengherankan jika cuaca ekstrem menjadi kecemasan tertinggi penduduk dunia seperti tercermin dalam Global Risk Perception Survey 2019.
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 13 Februari 2019