Penyimpanan data sektor kesehatan dengan sistem komputasi awan atau cloud dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Dengan sistem ini, antarinstansi kesehatan bisa saling mengakses data pasien sehingga pelayanan jadi lebih efisien. Namun, penerapan komputasi awan secara optimal masih terganjal oleh regulasi.
Hal itu mengemuka dalam seminar bertema ”Klasifikasi Data di Era Komputasi Awan”. Dalam seminar itu dipaparkan hasil riset Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada klasifikasi data di sektor kesehatan.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Pemateri seminar berjudul ”Klasifikasi Data di Era Komputasi Awan” digelar di Jakarta, Senin (11/2/2019). Seminar tersebut memaparkan hasil riset oleh Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut laman Kementerian Informasi dan Komunikasi, sistem ini menggabungkan pemanfaatan komputer, jaringan, server, dan aplikasi berbasis internet. Akibatnya, efisiensi penggunaan sumber daya teknologi informasi dan komunikasi bisa ditingkatkan.
Anis Fuad, peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Universitas Gadjah Mada, mengatakan, keberadaan sistem komputasi awan semakin dibutuhkan oleh sektor kesehatan seiring meluasnya digitalisasi. Jika terhubung dengan sistem penyimpanan ini, rumah sakit-rumah sakit bisa berbagi data pasien sehingga pelayanan akan semakin baik.
Anis mencontohkan pada rekam medik elektronik pasien. Dengan sistem komputasi awan, pasien yang pernah berobat di rumah sakit Jakarta, misalnya, tidak perlu lagi diperiksa ulang jika suatu saat berobat di rumah sakit di daerah lain. Itu karena rumah sakit bisa saling mengakses rekam medik pasien masing-masing.
“Biaya kesehatan pun jadi lebih efisien. Tidak perlu ada pemeriksaan kembali jika data bisa dikolaborasikan,” kata Anis.
Anis melanjutkan, saat ini sejumlah instansi kesehatan sudah mulai memanfaatkan sistem komputasi awan, seperti Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Kementerian Kesehatan, meskipun belum menyeluruh. BPJS Kesehatan menggunakan komputasi awan untuk menyimpan data pengguna yang mengakses 23.000 lebih fasilitas kesehatan primer dan 2.000 lebih rumah sakit.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan menggunakan komputasi awan untuk kepentingan kolaborasi antarnegara. “Setiap tahun ada 300.000 jemaah haji kita yang ke Arab Saudi. Ketika ada jemaah yang sakit di sana, sedangkan data kesehatan tidak bisa diakses lagi, betapa repotnya petugas yang ada di sana,” ujarnya.
YOLA SASTRA UNTUK KOMPAS–Tony Seno Hartono
Tony Seno Hartono, pengamat dan praktisi teknologi informasi, mengatakan, umumnya rumah sakit sudah memiliki pusat data masing-masing. Namun, antara satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya sulit saling terhubung karena data tiap-tiap rumah sakit tidak punya standar data yang sama. Persoalan itu bisa diatasi dengan menggunakan fitur middleware pada sistem komputasi awan untuk mensinkronkan data.
Dilanjutkan Tony, dengan sistem komputasi awan, rumah sakit bisa berinovasi sehingga layanan semakin baik. Rumah sakit bisa mengembangkan layanan digital, seperti konsultasi secara daring. “Selain itu, kemampuan pusat data sendiri terbatas, kalau pasien yang mengakses ramai sistemnya mati. Kalau sistem komputasi awan, sistem hidup terus,” ujarnya.
Tony menambahkan, penyimpanan data dengan sistem komputasi awan lebih efisien dibandingkan dengan penyimpanan di pusat data sendiri. Dengan komputasi awan, pengguna tidak perlu mengeluarkan modal untuk membeli peralatan dan perawatan. Pada komputasi awan pengguna hanya membayar sesuai dengan kapasitas penyimpanan dan layanan yang dipakai kepada penyedia layanan. (YOLA SASTRA)
Sumber: Kompas, 11 Februari 2019