Jaringan kerja sama antara pusat unggulan iptek hendaknya tumbuh secara organik, tidak mengandalkan perintah dari atas. Adanya konsorsium bisa membuat sebuah penelitian lebih kaya dan beragam serta mudah diterapkan di masyarakat.
“Pengalaman menunjukkan, konsorsium yang muncul berdasarkan perintah dari atas, misalnya dari kementerian, tidak akan bertahan lama,” kata Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemal Prihatman pada rapat kerja “Pengembangan Pusat Unggulan Iptek (PUI) Tahun 2019” di Tangerang Selatan, Rabu (30/1/2019).
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Kemal Prihatman memberi pemaparan dalam rapat kerja pusat unggulan iptek di Tangerang Selatan, Rabu (30/1/2019).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data Kemristek dan Dikti menyebutkan terdapat 137 PUI di Indonesia yang terdiri dari pusat penelitian dan pengembangan (puslitbang) milik kementerian, lembaga negara non kementerian, perguruan tinggi, swasta, dan konsorsium. Sebanyak 81 lembaga sudah ditetapkan sebagai PUI dengan fokus riset, 52 lembaga masih dalam proses pembinaan oleh Kemristek dan Dikti untuk mencari serta mengembangkan fokus riset unggulan. Adapun empat lembaga berstatus tidak aktif.
Kemal mengungkapkan, keempat lembaga nonaktif tersebut merupakan konsorsium yang dibentuk berdasarkan imbauan pemerintah, bukan karena inisiatif tiap lembaga untuk bersinergi melakukan penelitian berkesinambungan. Akibatnya, pendataan dan ketatausahaan konsorsium ini tidak tertib sehingga mendapat penilaian kinerja buruk.
“Ini pelajaran ketika melakukan sinergi harus memerhatikan perbedaan sistem kerja, jangan asal membuat konsorsium,” tuturnya. Misalnya, sistem kerja di perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum milik negara berbeda dengan puslitbang kementerian, apalagi lembaga litbang swasta. Hendaknya aspek ini juga dipertimbangkan ketika membangun kerja sama riset.
Nilai tambah
Kemal mengatakan, sinergi antarlembaga selain memperkuat riset juga memberi nilai tambah karena pendekatan yang dilakukan bersifat holistik. Hasil riset dan inovasi juga tidak hanya ditargetkan bisa dilepas ke pasar, tetapi juga data dan analisanya bisa menjadi komoditas ekonomi.
Ia mengungkapkan, pada tahun 2018 ada 30 hasil penelitian yang laku dijual di Belanda dan Jepang. Tentunya dengan memastikan hasil-hasil riset itu memiliki hak cipta dan kekayaan intelektual di Indonesia. Produk-produk tersebut antara lain adalah obat-obatan herbal dari buah mengkudu (Morinda citrifolia) dan buah merah (Pandanus conoideus), teknik mencelup batik, dan baling-baling untuk membantu penyelam di lautan.
Saat ini, PUI diajak untuk fokus kepada sebelas agenda riset nasional yang antara lain adalah energi baru dan terbarukan, transportasi, pertanian dan pangan, kebijakan, pertahanan dan keamanan, serta sosio-humaniora. “Di dalam sebelas fokus itu dipilih lingkup riset yang benar-benar mempengaruhi perkembangan bangsa.
Mencari mitra
Salah satu tujuan rapat kerja itu adalah mencari peluang bagi lembaga-lembaga riset untuk mencari mitra yang sesuai dengan kriteria kebutuhan fokus riset. Koordinator Peneliti Puslitbang Transportasi Jalan dan Perkeretaapian Kementerian Perhubungan, Siti Nur Fadlilah mengatakan pihaknya melakukan riset yang fokus di kebijakan transportasi jalan.
“Selain memiliki daftar lembaga yang diincar untuk dijadikan mitra, kami juga mengumumkan melalui situs resmi puslitbang mengenai kriteria mitra yang diharapkan. Kemenristek dan Dikti juga bisa bertindak sebagai perantara untuk mengenalkan kami dengan lembaga lain yang dinilai relevan dalam penelitian,” jelasnya.–LARASWATI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 30 Januari 2019