Nyeri menimbulkan rasa tak menyenangkan. Selama ini penelitian nyeri berfokus pada neuron atau sel saraf garis depan yang diduga merupakan asal rasa tak nyaman itu. Namun, penelitian terbaru menunjukkan, rasa tak menyenangkan itu berasal dari ansambel atau kelompok sel saraf di amiglada, yaitu bagian otak yang mengatur emosi dan ketakutan.
ADITYA DIVERANTA UNTUK KOMPAS–Pelari maraton Indonesia untuk Asian Games, Agus Prayogo, mencoba berjalan didampingi tim pendukung medis, sesaat setelah diberi penanganan nyeri terhadap lutut kanannya (25/8/2018).
Penelitian berjudul “Ansambel Saraf Amiglada yang Mengkodekan Ketidaknyamanan Rasa Sakit” itu dimuat dalam jurnal Science 18 Januari 2019 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com. Penelitian dilakukan tim ilmuwan dari Universitas Stanford, Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Para Ilmuwan menelitinya dalam otak tikus. Ilmuwan mengembangkan miniskop, sebuah mikroskop kecil, yang dapat ditempelkan ke kepala tikus untuk merekam aktivitas di dalam otak. Mereka memposisikan perangkat secara strategis untuk memvisualisasikan amigdala. Tikusnya tetap hidup dan sehat, bisa berjalan sesuka hati ketika diteliti, sementara miniskop merekam aliran kalsium di sel saraf.
Para ilmuwan memonitor otak tikus, menyaksikan tikus mendeteksi sesuatu yang tidak nyaman, mengamati reaksi tidak suka, dan kemudian memeriksa neuron mana yang aktif.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Peserta Borobudur Marathon 2018 disemprot cairan pereda nyeri oleh tim medis di kawasan Kalinegoro, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018).
Ketika tikus menyentuh setetes air panas atau dingin yang tidak nyaman, mereka menarik diri, memberi isyarat kepada para ilmuwan bahwa tikus tidak senang. Setelah penarikan ini, rekaman mikroskop menunjukkan seikat neuron amigdala pada wilayah basolateral secara spesifik bertanggung jawab atas emosi nyeri.
“Dengan pengaturan ini, kami mengidentifikasi satu set neuron di amigdala yang secara selektif mengkodekan sinyal yang terkait dengan aspek emosional dari pengalaman yang menyakitkan,” kata Mark Schnitzer, Guru Besar Biologi dan Fisika Terapan Universitas Stanford.
Didukung pencitraan otak dan pengujian molekuler, para peneliti menemukan ansambel sel di amigdala secara khusus berfungsi sebagai saklar on-off untuk penghindaran rasa sakit. Meskipun temuan itu dibuat pada tikus, ada alasan untuk berpikir bahwa suatu hari nanti bisa berfungsi sebagai target terapi untuk rasa sakit manusia, karena amigdala tikus dan manusia tidak begitu berbeda dalam fungsinya.
Meneliti kelompok sel ini dapat mengungkap pengobatan potensial untuk nyeri kronis. Idenya adalah bahwa pasien menderita ketidaknyamanan emosional dari rasa sakit, daripada rasa sakit itu sendiri. Jika ada cara untuk menghilangkan rasa sakit emosional, daripada sensasi fisik rasa sakit, itu bisa menjadi besar untuk pasien sakit kronis.
“Benar-benar tidak ada pengobatan yang baik untuk rasa sakit kronis pada manusia dan itu adalah pendorong utama epidemi opioid (golongan obat pereda nyeri),” kata Grégory Scherrer, Asisten Guru Besar Anestesiologi Dan Bedah Saraf Universitas Stanford.
KOMPAS–Beberapa jenis obat digabung secara paket dalam plastik transparan tanpa informasi penggunaan yang jelas dijual bebas di Desa Babakan Raden, Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Sabtu (6/8/2016). Biasanya, obat tersebut dipakai untuk mengatasi nyeri badan, rematik, dan sakit gigi.
Pasien yang menggunakan opioid untuk rasa sakit melaporkan bahwa mereka masih bisa merasakan sensasi rasa sakit tetapi mengatakan itu tidak terlalu merepotkan karena emosi rasa sakitnya berbeda.
“Harapan besar kami pada masa depan adalah bahwa sel-sel dalam ansambel dapat menjadi taktik untuk mengekang penyakit sakit tanpa menimbulkan kecanduan dan dengan demikian, idealnya, bertindak sebagai pengganti yang mungkin untuk pengobatan opioid,” ujar Scherrer.
Oleh SUBUR TJAHJONO
Sumber: Kompas, 18 Januari 2019