Agenda Riset Nasional kembali akan dirumuskan oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Rumusan Agenda Riset Nasional (ARN) kali ini dimaksudkan sebagai arah dan prioritas utama pembangunan Iptek 2015-2019. Untuk menyelesaikan tugas itu, Menteri Riset dan Teknologi melalui Kepmenristek No 72/M/Kp/I/2012 menugaskan Dewan Riset Nasional (DRN). Tugas seperti ini tentu bukan suatu yang harus dipersoalkan. Pasalnya, DRN yang beranggotakan para akademisi, pengusaha, dan pemerintah telah tiga kali membuat buku ARN: ARN 2001-2005, ARN 2006-2009, dan ARN 2010- 2014.
Persoalannya, ARN yang telah dibuat hampir tak pernah dirujuk lembaga penelitian non-kementerian ataupun lembaga penelitian kementerian, termasuk para penelitinya. Apalagi berharap untuk dirujuk para dosen dan peneliti di perguruan tinggi negeri dan swasta nasional.
Tentu amat memprihatinkan dan sangat disayangkan. Bukan saja karena pertimbangan dana perumusan setiap ARN yang relatif besar nilai rupiahnya, yang terpenting karena substansi ARN yang dihasilkan anggota DRN tak mendapatkan perhatian dari institusi penelitian dan para penelitinya sendiri. Padahal, rumusan ARN tersebut telah merujuk ketetapan UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJN) 2005-2025. Lantas, apakah ini indikasi adanya arogansi institusi penelitian dan peneliti? Ataukah substansi ARN-nya sendiri yang bermasalah? Atau ada faktor lain?
Presiden SBY dalam kata sambutan pada buku ARN 2006-2009, misalnya, telah menegaskan lima hal penting menyangkut pelaksanaan ARN.
Pertama, ARN merupakan pedoman sekaligus ukuran capaian dari seluruh kegiatan penelitian dan pengembangan iptek, yang dilakukan para peneliti dan akademisi bangsa kita. Kedua, ARN meletakkan dasar-dasar agenda yang diperlukan untuk mengembangkan iptek di Tanah Air, seiring percepatan pembangunan dan kemajuan pesat dalam bidang iptek. Ketiga, ARN berisi agenda riset yang perlu dikembangkan oleh bangsa dan negara kita, baik di masa sekarang atau akan datang. Keempat, ARN merupakan agenda penting yang merupakan penerjemahan dari kebijakan riset nasional. Kelima, ARN dibuat untuk jadi rujukan para peneliti, akademisi, praktisi, para pengambil kebijakan, dan seluruh komponen bangsa dalam meneliti, mengembangkan, dan memanfaatkan teknologi yang kita miliki dan akan terus kita kembangkan.
Adapun menyangkut isi ARN sendiri memang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Jika isi buku ARN pada periode 2006-2009, misalnya, mencakup hanya 4 bab (Pendahuluan; Fokus Area Pembangunan Nasional Iptek; Agenda Riset; dan Penutup), isi ARN pada periode 2010-2014 telah ditambah dengan Bab Implementasi. Adapun fokus agenda risetnya relatif tak banyak berubah sesuai yang tertulis dalam UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005- 2025. Fokus bidang riset dimaksud yakni bidang ketahanan pangan, energi, teknologi informasi dan komunikasi, teknologi transportasi, teknologi pertahanan, teknologi kesehatan, material maju, serta peningkatan jumlah penemuan dan pemanfaatannya dalam sektor produksi.
Tiga Langkah
Tentu tidak beralasan kuat jika karena ARN yang dirumuskan selama ini ”minus” perhatian langsung terhadap riset bidang ilmu-ilmu sosial, peneliti dan lembaga penelitian tak berminat merujuk ARN. Lalu, sebagai kompensasinya, masing-masing lembaga penelitian dan perguruan tinggi membuat agenda risetnya sendiri. Padahal, fokus bidang riset yang ditetapkan dalam UU tersebut sebenarnya juga implisit mengakomodasi riset bidang ilmu-ilmu sosial.
Fenomena ”ketidakpatuhan” lembaga penelitian dan perguruan tinggi serta para peneliti dalam mengakomodasi ARN selama ini sangat berbeda dengan yang terjadi di negara-negara seperti Jepang, Australia, China, Eropa, dan Amerika. Di negara-negara ini, agenda riset bukan saja ditetapkan sebagai prioritas kegiatan lembaga penelitian dan perguruan tinggi, melainkan juga menjadi tonggak dan indikator capaian pembangunan nasional di bidang iptek. Barangkali inilah salah satu penyebab mengapa riset dan capaiannya di Indonesia tak memberikan kemanfaatan bagi pengembangan iptek dan daya saing bangsa. Lantas, apa langkah yang perlu ditempuh untuk menjadikan ARN sebagai rujukan penelitian nasional?
Paling tidak ada tiga langkah yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus menetapkan pelaksanaan ARN sebagai peraturan pemerintah. Pentingnya langkah ini didasarkan fakta dan pengalaman tidak ampuhnya bentuk Keputusan Menristek No 193/M/Kp/IV/2010 tentang Kebijakan Strategis Pembangunan Nasional Iptek untuk menetapkan ARN sebagai rujukan pelaksanaan riset nasional.
Kedua, membuat substansi rumusan ARN yang tidak sebatas ketetapan UU No 17/2007 tentang RPJPN 2005-2025, tetapi harus disesuaikan perubahan perkembangan iptek dan keselarasan kebutuhan pasar. Dan ketiga, sosialisasi kegiatan penelitian yang dirumuskan dalam ARN mendatang juga penting dilakukan agar pihak yang berkepentingan dapat mengetahui dan menjalankannya.
Carunia Mulya Firdausy, Deputi Menristek 2005-2010; Ketua Komtek Manajemen dan Teknologi Transportasi DRN
Sumber: Kompas, 08 April 2013