Mars, antara Impian dan Ujian

- Editor

Sabtu, 5 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tahun ini, genap 50 tahun pendaratan manusia di Bulan. Penaklukan daratan Mars jadi impian manusia berikutnya, tetapi itu bukan hal mudah.

Keberhasilan pendaratan wahana pendarat InSight di Planet Mars, akhir November 2018, kian meyakinkan manusia bahwa Mars bisa ditaklukkan. Namun, pengiriman manusia ke Mars masih jadi pertanyaan besar.

Inilah cobaan bagi manusia menunjukkan nyali, menundukkan ketakutannya, sekaligus mengasah pikir demi mengembangkan teknologinya. Pendaratan manusia di Mars dan kolonisasi jadi impian besar manusia setelah penaklukan Bulan setengah abad silam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Planet Mars atau disebut juga Ares (Yunani), Jaka Belek (Jawa), atau Anggara (Sanskerta) adalah pilihan rasional di antara planet dan satelit alam di tata surya yang bisa menopang kehidupan Bumi. Struktur batuan, atmosfer tipis, suhu, dan panjang harinya dinilai paling mungkin diadaptasi manusia.

Bulan memang dekat Bumi. Manusia pun menginjakkan kakinya di sana pada 1969, 12 tahun setelah wahana antariksa pertama meluncur ke luar angkasa. Eksplorasi satelit alam Bumi itu hanya berlangsung tiga tahun karena Bulan nyatanya tak bisa dihuni.

Tak ada air di Bulan. Atmosfernya amat tipis hingga tak mampu melindunginya dari radiasi dan hantaman komet atau asteroid. Satu hari di Bulan (moon) setara satu bulan (month) di Bumi, 13,5 hari siang dan 13,5 hari berikutnya malam. Suhu siang hari di Bulan mencapai 127 derajat celsius dan malamnya minus 173 derajat celsius.

Tempat lain yang digadang jadi penopang Bumi adalah Venus. Dibandingkan dengan Mars, planet kedua terdekat dari Matahari itu lebih dekat dari Bumi. Namun, suhu permukaannya 465 derajat celsius, melelehkan besi dan timah. Selain itu, Matahari di Venus terbit di barat dan panjang satu harinya lebih lama dari satu tahunnya.

Situasi Bulan dan Venus itu membuat Mars jadi pilihan. Mars dianggap kembaran Bumi. Tanah Mars mengandung air yang bisa diekstraksi. Gravitasinya 38 persen dari gravitasi Bumi sehingga bisa ditoleransi manusia. Mars punya atmosfer tipis, memiliki empat musim, dan panjang harinya lebih lama 40 menit dari hari Bumi.

Misi awal
Jauh sebelum pengetahuan detail Mars diketahui, imaji manusia melanglang buana ke sana. Penemuan teleskop abad ke-17 membuat bayangan tentang planet merah itu kian nyata. Pengetahuan itu melahirkan banyak karya seni tentang Mars, baik novel, lagu, maupun film, mengenai invasi manusia hingga makhluk khayali Mars.

Untuk penjelajahan antariksa, Mars jadi target sejak 1950-an. Uni Soviet yang kini diteruskan Rusia dan Amerika Serikat jadi pemain utamanya. Di awal misi, banyak wahana gagal menuju Mars. Sebagian wahana gagal saat diluncurkan, sebagian lain gagal mencapai orbit Bumi, langkah awal sebelum mengorbit Mars.

Wahana pertama yang berhasil terbang melintas dekat Mars tanpa masuk orbit ialah Mariner 4 milik Badan Penerbangan dan Antariksa AS (NASA), 14 Juli 1965. Wahana itu bertujuan mengambil citra Mars. Dari 21 gambar, permukaan Mars terkesan mirip Bulan.

Kesan itu menipu. Wahana berikut yang dikirim memberi wawasan berbeda soal Mars. Citra bagian lain Mars menunjukkan planet itu memiliki kontur beragam, mulai dari gunung hingga ngarai. Ada juga badai debu di sana.

Setelah mengirim wahana yang hanya terbang melintasi, selanjutnya ialah wahana pengorbit (orbiter) Mars, wahana didaratkan ke Mars (lander), dan wahana penjejak (rover) Mars.

Pendaratan di permukaan Mars adalah tantangan besar karena wahana harus bisa menaklukkan atmosfer dan angin Mars. ”Belum semua parameter pendaratan di Mars bisa diprediksi,” kata Guru Besar Astronomi Institut Teknologi Bandung Taufiq Hidayat (Kompas, 5 Agustus 2018).

Dari lebih 50 misi yang dikirim ke Mars untuk berbagai tujuan, dua pertiga misi gagal. Dari semua misi itu, belasan misi di antaranya ialah misi pendaratan di Mars yang lebih separuh berujung kegagalan.

Untuk wahana penjejak, dari lima wahana yang dikirimkan, empat wahana berhasil beroperasi di Mars. Empat wahana penjejak yang dikirim NASA itu ialah Sojourner (1997), Spirit (2004), Opportunity (2004), dan Curiosity (2012).

Data misi tak menggembirakan itu tak menyurutkan hasrat manusia mengeksplorasi Mars. Sejak akhir 1990-an, kian banyak negara yang mau mengeksplorasi Mars, mulai dari Uni Eropa, China, hingga India.

Misi berawak
Meski misi tak berawak masih banyak kendala, optimisme untuk mengirim misi berawak ke Mars tak kendur. Jika sebelumnya misi hanya dikirimkan lembaga antariksa negara, kini swasta melakukannya. Lembaga swasta umumnya lebih optimistis, seperti SpaceX, yang menargetkan pengiriman misi berawak ke Mars pada 2024.

Namun, banyak ahli pesimistis dengan target pengiriman misi berawak itu. Pilot Apollo 8, Bill Anders (85), mengatakan, pengiriman wahana berawak ke Mars ialah aksi konyol. Apollo 8 adalah wahana berawak pertama yang meninggalkan orbit Bumi menuju orbit Bulan pada 1968. ”Apa kepentingannya? Apa yang mendorong kita harus pergi ke sana? Saya pikir publik tak tertarik,” katanya seperti dikutip space.com, Senin (24/12/2018).

Pesimisme itu bukan tak beralasan. Pengiriman misi antarplanet, apalagi misi berawak, jauh lebih rumit dibandingkan dengan meluncurkan satelit atau antariksawan ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Apalagi, dalam waktu secepat itu di tengah keterbatasan teknologi dan proses uji pada manusia untuk perjalanan antariksa yang lama.

Pengiriman manusia ke Mars jauh lebih rumit dibandingkan dengan ke Bulan.
Untuk efektivitas misi, Planetary Society pada 2015 mengusulkan pengiriman misi berawak ke Mars selama 30 bulan atau 2,5 tahun, yaitu 9 bulan perjalanan pergi, 12 bulan di Mars dan 9 bulan pulang ke Bumi.

Selama jangka waktu itu, dalam perjalanan dan di Mars, antariksawan akan terpapar radiasi tinggi dari Matahari dan sinar kosmik yang meningkatkan risiko kanker. Gravitasi mikro yang mereka alami akan memicu osteoporosis dan melemahnya kekebalan tubuh.

Belum lagi ancaman debu Mars. Badai debu di Mars mirip angin sepoi-sepoi di Bumi, tetapi bisa terjadi berbulan-bulan di area luas. Badai debu bisa membuat panel surya wahana tak bisa menangkap sinar Matahari, dampak debu pada manusia dan komponen elektronika wahana belum diketahui pasti.

Persoalan logistik bagi antariksawan juga jadi soal. Kebutuhan oksigen, pangan, air, dan pengelolaan limbah mereka tak kalah pelik. Ada rancangan wahana kargo seperti yang memasok kebutuhan antariksawan di ISS. Dengan jauhnya jarak dan lamanya perjalanan, semua perlu dipikirkan matang.

Teknologi ke depan bisa mengatasi soal teknis itu, tetapi penyiapan mental awak selama misi tak kalah rumit. Tak seorang pun ingin perjalanan ke Mars jadi misi bunuh diri. Kesepian, rasa bosan, hingga kangen terlalu lama memengaruhi kesehatan mental antariksawan yang mengganggu misi.

Tantangan kolonisasi Mars lebih kompleks. Sekadar memindah manusia dari Bumi ke Mars bukan pilihan. Karena itu, manusia diharap bertumbuh kembang di Mars. Namun, situasi Mars membuat reproduksi dan kehamilan jadi rumit. Sejumlah ilmuwan mengusulkan membuat manusia lewat rekayasa genetika manusia Bumi, tetapi itu memicu soal etika.

Selain itu, sistem sosial di lingkungan ekstrem dan terbatas itu juga harus disiapkan demi menjaga keberlangsungan kolonisasi Mars. Sekali lagi, semua menuntut pemikiran masak.

Tantangan itu tak akan menyurutkan hasrat manusia menundukkan Mars. Hal itu mendorong manusia berinovasi, mengembangkan teknologi, menguji batas fisik dan mental manusia, hingga di masa depan manusia menundukkan Mars. (M ZAID WAHYUDI)

Sumber: Kompas, 5 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten
Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker
Lulus Predikat Cumlaude, Petrus Kasihiw Resmi Sandang Gelar Doktor Tercepat
Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel
Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 24 April 2024 - 16:17 WIB

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Rabu, 24 April 2024 - 16:13 WIB

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 April 2024 - 16:09 WIB

Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN

Rabu, 24 April 2024 - 13:24 WIB

Riset Kulit Jeruk untuk Kanker & Tumor, Alumnus Sarjana Terapan Undip Dapat 3 Paten

Rabu, 24 April 2024 - 13:20 WIB

Ramai soal Lulusan S2 Disebut Susah Dapat Kerja, Ini Kata Kemenaker

Rabu, 24 April 2024 - 13:06 WIB

Kemendikbudristek Kirim 17 Rektor PTN untuk Ikut Pelatihan di Korsel

Rabu, 24 April 2024 - 13:01 WIB

Ini Beda Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Versi Jepang dan Cina

Rabu, 24 April 2024 - 12:57 WIB

Soal Polemik Publikasi Ilmiah, Kumba Digdowiseiso Minta Semua Pihak Objektif

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB