Tubuh Anak Krakatau Terus Berubah

- Editor

Rabu, 2 Januari 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Gunung Anak Krakatau masih terus berubah setelah longsor yang memicu tsunami pada 22 Agustus 2018 lalu. Beberapa letusan dan longsoran masih terjadi, tapi tak terekam ada tsunami lagi. Ancaman tsunami di Selat Sunda yang perlu diwaspadai ke depan juga berasal dari gempa bumi.

“Analisis dari citra satelit hingga 31 Desember 2018 pukul 18.23 WIB menunjukkan adanya perubahan bentuk permukaannya,” kata peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Agustan, di Jakarta, Selasa (1/1/2019).

Menurut Agustan, perubahan permukaan Gunung Anak Krakatau ini bukan hanya disebabkan longsor, tapi juga aktivitas vulkaniknya. “Untuk longsornya, sepertinya sampai tanggal 28 Desember 2018 masih terjadi,” ungkapnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kondisi Anak Krakatau pada 29 Desember 2018. Analisis citra satelit oleh Agustan, BPPT, 2019

Menurut keterangan Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rudy Suhendar, sejak 24 Desember 2018 terjadi letusan Gunung Anak Krakatau yang menerus disertai dentuman yang terdengar dari Pos Pasauran, Carita. Erupsi besar terjadi pada tanggal 26-27 Desember 2018 yang mengakibatkan puncak gunung yang terbentuk sejak tahun 1950 telah hilang, sebagian ikut terletuskan dan sebagian longsor. Akibat letusan ini, ketinggian Gunung Anak Krakatau yang semula 338 meter dari permukaan laut (mdpl) berkurang menjadi 110 mdpl.

Setelah letusan ini, aktivitas Anak Krakatau dinilai menurun. “Berdasarkan evaluasi seismik dan data visual, potensi untuk timbulnya tsunami dari aktivitas Gunung Anak Krakatau sangat kecil,” kata Rudy.

Gempa Bumi
Ahli tsunami dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko mengingatkan, ancaman tsunami di pesisir Selat Sunda tidak hanya dari Gunung Anak Krakatau. Namun, tsunami bisa dipicu gempa bumi dari zona subduksi di segmen Selat Sunda. “Saya pernah memperingatkan soal ini, namun waktu itu banyak yang menentang, bahkan saya mau diperiksa polisi,” ucapnya.

Sesuai Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Nasional yang diluncurkan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada September 2017, potensi gempa dari zona megathrust atau patahan raksasa disegmen Selat Sunda bisa mencapai kekuatan M 8,7. Pada tahun 1903, di segmen ini terekam gempa berkekuatan M 8,1.

Anak Krakatau pada 31 Desember 2018. Sumber: Agustan, BPPT, 2019

Rahma Hanifa, peneliti geodesi kebumian dari Institut Teknologi Bandung yang turut menyusun peta gempa ini, mengatakan, dalam narasi di peta ini, jika segmen zona megathrust dari selatan Bengkulu runtuh bersamaan dengan segmen Selat Sunda, hingga ke selatan Jawa, potensi gempa yang dihasilkan bisa mencapai M 9,2.

Berdasar Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Nasional 2017 ini, Widjo Kongko, melakukan pemodelan tsunami untuk menghitung seberapa tinggi potensi gelombang tsunami dan seberapa cepat tiba di daratan. Hasil kajian ini telah dipaparkan Widjo Kongko dalam seminar ilmiah di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), 3 April 2018 lalu.

Widjo memberi judul paparannya ”Potensi Tsunami Jawa Barat”, yang kemudian disalahartikan salah satumedia daring sebagai prediksi tsunami yang seolah-olah segera terjadi. Padahal, dalam paparannya, Widjo menyebut membuat enam skenario tsunami, mulai dari yang skenario terburuk hingga yang paling ringan.

Skenario terburuk, yaitu jika zona megathrust ini mengalami gempa bersamaan dengan magnitudo di atas M 9 dan panjang runtuhan dasar laut 1.000 kilometer, ada satu lokasi di Pandeglang yang tinggi tsunami 57 meter. ”Itu skenario terburuk. Bukan prediksi, tetapi berdasar model bisa terjadi. Dalam mitigasi, kita harus memperhitungkan berbagai skenario,” katanya.

Berdasarkan pemodelan ini, potensi tsunami di kawasan industri Cilegon bisa mencapai 10 meter, sehingga dikhawatirkan bisa memicu bencana industri. “Kita tidak tahu kapan gempa terjadi, tetapi dari sejumlah kajian, zona kegempaan di kawasan ini masih mengunci sehingga memang ada potensinya. Oleh karena itu, ke depan harus ada evaluasi terhadap tata ruang dan skenario mitigasi yang lebih baik,” kata Widjo.–AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 2 Januari 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel
Seberapa Penting Penghargaan Nobel?
Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024
Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI
Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin
Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?
Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia
Siap Diuji Coba, Begini Cara Kerja Internet Starlink di IKN
Berita ini 6 kali dibaca

Informasi terkait

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:50 WIB

Daftar Peraih Nobel 2024 beserta Karyanya, Ada Bapak AI-Novelis Asal Korsel

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:46 WIB

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:41 WIB

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:31 WIB

Ilmuwan Dapat Nobel Kimia Usai Pecahkan Misteri Protein Pakai AI

Senin, 21 Oktober 2024 - 10:22 WIB

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB