Orang-orang Jepang yang saya temui di kantor Toshiba, Fuchu Plant- Tokyo, dua minggu lalu, mengatakan berbahagialah menjadi bangsa Indonesia. “Indonesia adalah bangsa yang beruntung,” ujar seorang peneliti senior asal Jepang di Tokyo.
Saya tak cukup mengerti sampai saya menyaksikan gairah bunuh diri yang cukup tinggi di antara kaum muda ataupun kaum tua Jepang. Bahkan, mereka menyediakan satu gunung sendiri: Aokigahara. Di Jakarta, sebaliknya saya mendengar keluhan yang tiada henti dari banyak orang yang mempertanyakan, “Mau dibawa ke mana Republik ini?” Bahkan, di televisi hampir setiap pagi hingga malam kita hanya mendengar keluhan demi keluhan.
Di jalan raya, seperti tak bisa menerima keadaan, semua senang-senang menabur amarah. Setiap kali senggolan, kita hanya bisa menyaksikan orang berkacak pinggang dengan rambut yang berdiri tegak ke atas. Aura marah tampak dalam komentar yang diucapkan para pakar sampai bunyi klakson sepeda motor.
Peradaban Penuh Masalah
Bagi sebagian orang Indonesia, mungkin Jepang dan bangsa-bangsa Barat adalah bangsa yang beruntung. Namun, bangsa-bangsa itu justru menunjuk kitalah bangsa yang jauh lebih beruntung. Tak heran kalau pujian demi pujian terus berdatangan. Padahal, kita di sini semua merasa hidup semakin tak jelas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pusing dengan ketidakberuntungannya, Easterbrook sampai menulis refleksinya yang menyandingkan kemajuan yang dicapai dengan masalah-masalah baru yang selalu bermunculan. Bukunya, The Progress Paradoks, diberi subjudul yang memilukan: How Life Gets Better While People Feel Worse. Ibarat temuan dalam dunia kedokteran yang terus semakin maju yang membuat manusia sekarang mampu hidup jauh lebih panjang, tetapi juga banyak masalah.
Satu penyakit disembuhkan, dua penyakit baru ditemukan. Mobil bisa dibeli, jalanannya tak ada. Maka itulah progress bagi Easterbrook, tak lain sebuah paradoks. Seperti yang saya katakan, di Jepang, panjang usia disambut gembira, tetapi juga disambut gairah besar bunuh diri. Beberapa media massa minggu ini menurunkan berita yang mengenaskan. “Biaya Mahal Menjelang Ajal.”
Bukannya disyukuri, panjang umur justru disambut waswas. Masalahnya, biaya merawat hari tua tak cukup didapat dari kaum muda. Beberapa kajian demografi menyebutkan, dalam sepuluh tahun ke depan, satu dari tiga warga negara Jepang akan berusia di atas 65 tahun. Sementara itu, nilai-nilai keluarga yang memungkinkan dua-tiga generasi tinggal seatap-saling merawat sudah semakin ditinggalkan.
Menurut Bloomberg, jumlah orang tua (di atas 65 tahun) yang tinggal bersama anak-cucu mereka pada tahun 1980 mencapai 58%. Namun sejak 2010, kemampuan anakcucu itu menampung kakek-neneknya merosot tinggal 18%. Jepang adalah bangsa yang penduduknya semakin hari semakin tua, sehingga produktivitasnya terus merosot. Ditambah biaya hidup yang tinggi, banyak kaum muda yang tidak lagi bersedia menanggung biaya bagi orang tuanya.
Rumah mereka sendiri sempit, pekerjaan semakin sulit didapat, sedangkan biaya hidup semakin hari semakin memberatkan. Orang-orang tua yang dulu dibesarkan paman atau bibinya ternyata enggan merawat hari tua orang-orang baik itu, ketika suami atau istri mereka mengingatkan bahwa mereka sendiri sangat membutuhkan tabungan untuk merawat hari tuanya sendiri kelak. Jadi, nenek-nenek yang lebih tua dan renta harus bisa urus diri sendiri.
Kalau sudah merasa tak diperhatikan, mereka pun memilih “tinggal di Aokigahara” sampai ajal menjemput. Jadi tak mengherankan bila Filipina dan Vietnam samasama berupaya keras mereformasi undang-undang kepemilikan rumah bagi orang asing agar bisa menggaet para pensiunan Jepang menghabiskan hari tua di negeri mereka.
Para pensiunan itu senang karena bisa tinggal sambil bercocok tanam dengan biaya sepertiga dari biaya hidup di Jepang. Lain Jepang, lain pula Amerika Serikat, negeri Belanda dan China. Setiap bangsa punya masalahnya sendiri-sendiri. Tak punya kemampuan ekonomi susah, punya pun selalu ada masalah. Demikianlah Indonesia, kemajuan tak hanya menuai keberhasilan, namun juga menuai kecemasan.
Formula Bejo
Dulu saat diterpa krisis moneter, banyak ilmuwan yang mendatangi negara-negara maju untuk mencari formula yang dapat dipakai untuk keluar dari kemelut itu. Apa yang dipelajari dari negara-negara yang saat itu kita anggap “bejo”, kini mulai menjadi tradisi di sini. Demokrasi, transparansi, corporate governance, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, antitrust, indeks pembangunan manusia, pemisahan antara pelaku usaha dan regulator, peran swasta yang lebih besar, hingga larangan menerima gratifikasi.
Lembaga-lembaga baru dibentuk untuk menjamin agar mekanisme kontrol berjalan baik. Kompetisi dibuka, OJK dibentuk, otonomi daerah digulirkan, dan seterusnya. Sementara ekonomi bergerak maju, diakui banyak masalah baru yang bermunculan. Korupsi merajalela, pertanian dan pangan Indonesia mundur beberapa langkah ke belakang. Masyarakatnya mabuk minyak.
Pintu impor bukan hanya terbuka bagi barang-barang konsumsi, melainkan juga sindikasi narkoba. Pelayanan birokrasi mendapat sorotan besar. Konflik horizontal meningkat. Perencanaan ekonomi hanya sebatas di atas kertas. Sektor informal membesar. Sementara itu, di negara-negara yang menjadi sumber pembelajaran, “formula bejo” yang ditawarkan itu ternyata tidak cukup mengatasi masalah, kalau tidak dikatakan menjadi penyebab timbulnya krisis yang lebih dahsyat dari yang dialami Indonesia 15 tahun yang silam.
Tanda-tanda kesulitan besar mulai tampak kalau Indonesia gagal melakukan persiapan untuk mengatasi masalah-masalah baru di kemudian hari. Walaupun negara lain menyebut kita ini tengah “bejo”, logika kita mengatakan sebaliknya. Indonesia perlu berpikir lebih keras, mencari solusi keindonesiaan yang khas yang tidak asal comot, namun juga bukan solusi yang dilahirkan oleh para napi masa lalu (prisoners of the past). Maka meski kata “bejo” terus digulirkan iklan, timbul banyak pertanyaan: adakah formula “bejo” yang dapat direplikasi?
Bagi sebagian orang, “bejo” adalah sebuah keniscayaan yang seakan-akan bukan menjadi haknya manusia, melainkan kehendak yang mahakuasa atau takdir. Bahkan dalam banyak hal, manusia Indonesia lebih memilih jalan mitos dan spiritual, karena “bejo” adalah urusan garis tangan, pancaran aura, kekuatan magis dan sebagainya.
Maka solusi “orang pintar” yang menjadi dagangan guru-guru spiritual dan ahli fengsui lebih banyak dikenal ketimbang meminta nasihat para ahli strategic management yang kami latih bertahun-tahun di School of Management. Sebenarnya “formula bejo” itu dalam realitas bukannya tidak ada. Jauh sebelum kelahiran Sang Kristus, dunia sudah mengenal ucapan Seneca yang mengatakan “bejo” itu hanya akan terjadi ketika peluang bertemu dengan persiapan.
Masalahnya, banyak orang yang tidak mampu melihat bahwa setiap masalah adalah peluang, dan peluang itu hanya bisa ditangkap kalau seseorang atau suatu bangsa bersungguh- sungguh melakukan persiapan jauh-jauh hari. Saya tidak mengerti apa yang tengah dipikirkan oleh kebanyakan orang yang hampir setiap hari hanya mengeluh, namun tak melakukan persiapan apa-apa. Bahwa benar negeri ini banyak masalah, tetapi bukankah itu peluang besar bagi generasi semangat baru untuk memperbaruinya? Bukankah ini peluang besar untuk membuat sesuatu yang besar?
Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI
Sumber: KORAN SINDO, 21 Maret 2013