Informasi genetika satwa liar tidak sekadar dimanfaatkan untuk melindungi satwa dari perdagangan dan permanfaatan ilegal. Informasi yang didapatkan dari analisis DNA tersebut bisa dioptimalkan sebagai upaya konservasi satwa secara lebih efektif dan spesifik.
Dalam daftar merah spesies yang dikeluarkan Badan Konservasi Dunia (IUCN), tercantum sejumlah nama spesies di Indonesia dalam status kritis atau terancam punah. Spesies tersebut antara lain gajah sumatera, badak sumatera, harimau sumatera, dan orangutan. Bahkan, laporan tersebut menyebutkan dua spesies di Indonesia sudah punah, yakni harimau jawa dan harimau bali.
KOMPAS/IRMA TAMBUNAN–Setelah menjalani translokasi selama 36 jam, seekor gajah liar dari ekosistem Bukit Tigapuluh, Kabupaten Tebo, tiba di habitat barunya di Hutan Harapan, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Sabtu (6/10/2018) dini hari. Translokasi itu menjadi bagian penyelamatan gajah tersisa dari ancaman konflik dan kepunahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Analisis DNA (deoxyribonucleic acid) bukan lagi sekadar identifikasi spesies untuk membantu upaya penegakan hukum, melainkan lebih untuk mengelola dan melindungi spesies di habitatnya. Berbagai analisis yang dihasilkan bisa dimaksimalkan dalam strategi prioritas konservasi satwa liar,” kata Direktur Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia Noviar Andayani di sela-sela seminar nasional bertema ”Teknologi Genomik dan Forensik Molekular Satwa Liar” di Depok, Jawa Barat, Rabu (19/12/2018).
Analisis DNA (deoxyribonucleic acid) bukan lagi sekadar identifikasi spesies untuk membantu upaya penegakan hukum, melainkan lebih untuk mengelola dan melindungi spesies di habitatnya.
Analisis DNA satwa liar menjadi salah satu aplikasi ilmu genetika untuk mempertahankan spesies di tengah perubahan lingkungan yang terjadi. Studi genetika juga bermanfaat untuk memelihara aliran gen suatu individu agar kesehatan genetika bisa terpelihara. Dengan demikian, populasi suatu spesies lebih tahan dan adaptif terhadap perubahan.
Analisis genetika saat ini sudah dikembangkan WCS bersama Universitas Indonesia pada satwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Pada penelitian itu, material genetika yang diambil berupa feses.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Noviar Andayani
Andayani menuturkan, hasil ekstraksi feses itu menghasilkan sumber DNA berupa marka genetik. Kemudian, analisis DNA akan dilanjutkan untuk mengetahui kode genetik dari satwa tersebut. Dari kode ini akan menghasilkan beberapa data antara lain besaran populasi, perbandingan jenis kelamin, serta pemetaan kelompok kekerabatan antarindividu dari gajah sumatera di Way Kambas.
Analisis genetik juga bisa memakai mikrosatelit DNA. Alat itu digunakan untuk mengumpulkan data terkait keberagaman genetik dari populasi. Selain itu, tingkah laku reproduksi individu bisa diketahui. Data itu akan diterapkan dalam upaya manajemen konservasi berkelanjutan dan spesifik karena didasarkan informasi yang akurat.
Kepala Subdirektorat Sumber Daya Genetik Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Moh Haryono menyampaikan, pemerintah mendorong perlindungan ragam sumber daya genetika. Untuk itu, basis data nasional keanekaragaman hayati di Indonesia akan makin dilengkapi. ”Pemanfaatan ini terutama untuk mengurangi dan memperlambat kepunahan satwa kita,” katanya.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Muhammad Dimyati
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati menambahkan, dukungan pengembangan riset genetika satwa liar terus dilakukan. Pihaknya berupaya agar riset bisa dilakukan di dalam negeri. Keterbatasan sumber daya peneliti dan infrastruktur akan dibenahi.
”Kolaborasi saat ini menjadi kunci. Kita jangan menutup kerja sama dengan berbagai pihak, baik antarlembaga penelitian di dalam negeri maupun di luar negeri. Permasalahan izin terkait penelitian juga akan dipercepat,” ujarnya.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 20 Desember 2018