Iklan Sekolah

- Editor

Selasa, 15 Mei 2001

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

SAYA barusan lulus dari sebuah PTS di Yogykarta, merasa makin risih melihat iklan lembaga pendidikan tinggi di Yogyakarta. Berbagai bentuk iklan tumbuh dan sering menjadi angin surga bagi calon pendaftar, termasuk saya yang lulus dari program D III, ternyata yang saya raih jauh dari angin surga yang dijanjikan pada saat mau mendaftar. Apalagi sekarang ini, terobosan pendaftaran sebelum siswa lulus SMU-nya, wah kreatif betul para akadimisi kampus dalam merebut calon konsumen. Gimana nih, pak wied?
LLK, tinggal di Bantul Jogjakarta

Menjelang tahun ajaran baru, selalu ada fenomena baru, yaitu lahirnya sekolah-sekolah baru, adanya kekuatan baru bagi lembaga agar bisa dibilang mentereng, dan terjadilah marketing war untuk bisa meraih mahasiswa sebanyak?banyaknya. Segala kekuatan dicurahkan habis-habisan dengan memanfaatkan momentum waktu. Kottler memang meramalkan bahwa jasa pendidikan menjadi trend bisnis masa depan.

Yang menarik adalah, bahwa badan hukum lembaga pendidikan tersebut biasanya yayasan, yang tentu saja bukan berjalan dengan patokan?patokan bisnis minded. Bahkan pada saat lembaga pendidikan akan dikenai pajak, mereka berteriak dengan slogan?slogan yang sangat idealis sebagai lembaga sosial dan untuk mencerdaskan bangsa. Barangkali ia lupa bahwa saat seperti ini, ia adalah makhluk bisnis yang paling bergairah. Etika beriklan kerapkali diterjang, seperti yang anda rasakan hanya memberi angin surga”.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Otonomi Kampus sama dengan Bisnis?
Otonomi kampus tentu saja bukan membohongi calon konsumen, agar mahasiswa yang masuk jumlahnya banyak dan rela membayar mahal. Universitas di AS kebanyakan juga melakukan otonomi, seperti memiliki toko buku, rumah sakit, apartemen dan usaha yang menunjang mutu perguruan tingginya. Sehingga makna otonomi bukan berkonotasi gencar melakukan marketing, tetapi lebih diorientasikan pada upaya membangun citra. Sedangkan dana operasional semestinya ditunjang oleh sektor?sektor produk yang bisa ditangani lembaga? lembaga tersebut atau keberhasilan dalam membangun jaringan kerjasama, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Orintasi pada membangun academic atmosphere semestinya yang ditonjolkan dalam memasarkan produknya, dan tidak sekedar sarana fasilitas visinya saja. Namun inilah realita yang semestinya perlu disikapi oleh lembaga pembela konsumen, agar para konsumen yang akan mengkonsumsi produknya dalam waktu yang lama (akademi 3 tahun, S-1 4 sampai 5 tahun) itu tidak salah pilih.

Perkembangan Universitas atau College di Amerika bisa sangat termasyur bukan karena dukungan dana mahasiswanya semata, tetapi ternyata memang ada para donaturnya (robber barron) yang rela menyumbangkan dananya bagi pengembangan lembaga tersebut. Seperti Universitas Chicago yang dibantu oleh Rockefeller foundation dan berbagai universitas yang lainnya. Akan lebih elegan citra pendidikan itu manakala ia mampu menemukan para donatur yang memang peduli dengan misi luhur pendidikan, bukan sebaliknya mengoptimalkan pisau marketing untuk meraih mahasiswa sebanyak-­banyaknya, tanpa mempertimbangkan kualitas.

Ilmuwan punya jiwa Enterpreneur
Di dalam sejarah ilmuwan AS, dapat dilihat kiprah tokoh ilmuwan sosial seperti P Lazzarfeld, yang mampu mengembangkan kualitas keilmuannya dengan cara mandiri. Artinya, ia mampu membuat model pengembangan lembaganya agar tetap eksis dengan berbagai aktivitas ilmiahnya yang mampu menghasilkan dana. Model?model seperti itulah yang menurut saya perlu dikembangkan oleh lembaga pendidikan di Indonesia.

Bagi para calon konsumen lembaga pendidikan tinggi, cobalah cermati sistem promosi lembaga tersebut. Siapa yang menyatakan, apa yang dikatakan (bahasa dan janji?janjinya) dan siapa outputnya. Dalam bahasa public relation, memilih sekolah itu sebaiknya justru bertanya pada orang ketiga yang tahu persis, tetapi tidak terkait dalam kepentingan hisnis lembaga.

———-

Radar Jogja, Selasa Legi 15 Mei 2001
Konsultasi marketing dan Public relations bersama Drs Widodo Muktiyo, MS. SCCM, direktur CES Public Relations School

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dokter Spesialis Kaya?
Ingin Jadi Dokter Spesialis Anak
Pilihan Karier: Antara Teknik dan Manajemen
Kronologi Penetapan PTN Sebagai Badan Hukum Milik Negara
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 15 Februari 2015 - 06:35 WIB

Dokter Spesialis Kaya?

Minggu, 8 September 2013 - 21:01 WIB

Ingin Jadi Dokter Spesialis Anak

Jumat, 22 Juni 2001 - 11:36 WIB

Pilihan Karier: Antara Teknik dan Manajemen

Selasa, 15 Mei 2001 - 10:51 WIB

Iklan Sekolah

Rabu, 21 Maret 2001 - 11:11 WIB

Kronologi Penetapan PTN Sebagai Badan Hukum Milik Negara

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB