Pasien tuberkulosis tidak hanya menghadapi beban medis terkait terapi yang dijalaninya, tetapi juga beban sosial dari lingkungan sekitarnya yang dampaknya besar. Aspek itu kerap terlupakan dalam penanggulangan tuberkulosis.
Mantan pasien tuberkulosis sekaligus pendiri Pejuang Tangguh (Peta), organisasi dukungan pasien tuberkulosis, Ully Ulwiyah, Rabu (14/11/2018) di Jakarta, memaparkan, banyak masalah sosial dihadapi pasien tuberkulosis biasa dan tuberkulosis yang resisten pada obat. Ada pasien yang dikucilkan keluarga, bercerai dari pasangannya, atau mengalami perlakuan diskriminatif di tempat kerja. Hal itu memengaruhi keberhasilan terapi.
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN–Dari kanan ke kiri, Pendiri Pejuang Tangguh, organisasi pasien tuberkulosis Ully Ulwiyah, Ketua Stop TB Partnership Indonesia Arifin Panigoro, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, pengajar di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Erlina Burhan menjelaskan bagaimana upaya strategi eliminasi tuberkulosis pada pemimpin redaksi sejumlah media massa di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
”Karena kurangnya pengetahuan akan tuberkulosis, ada keluarga yang memisahkan tempat makan anggota keluarga yang kena TB karena khawatir menular,” kata pengajar pada Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Erlina Burhan.
Di tempat kerja, sejumlah pasien TB didiskriminasi, bahkan diberhentikan, karena dinilai tak produktif dan berisiko menularkannya. Karena berobat tiap hari, produktivitas pasien TB terganggu. Perusahaan perlu memberikan dukungan.
Tuberkulosis disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis dan menular lewat udara, bukan melalui makanan atau alat makan penderita. Pasien TB bisa menularkan kepada 10-15 orang. Padahal, TB bisa disembuhkan dengan disiplin berobat.
KOMPAS/ADHITYA RAMADHAN–Dari kanan ke kiri, Pendiri Pejuang Tangguh, organisasi pasien tuberkulosis Ully Ulwiyah, Ketua Stop TB Partnership Indonesia Arifin Panigoro, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, pengajar di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Erlina Burhan menjelaskan bagaimana upaya strategi eliminasi tuberkulosis pada pemimpin redaksi sejumlah media massa di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
Berdasarkan Laporan Global TB tahun 2017, Indonesia menempati posisi ketiga negara dengan kasus TB tertinggi di dunia, dengan 842.000 kasus dan 3.119 kasus TB resisten obat. Sayangnya, dari jumlah itu, notifikasi kasusnya baru 446.732 kasus. Masih banyak kasus TB yang tidak terlaporkan.
Menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono, dalam eliminasi TB, aspek medis dan sosial pasien penting diperhatikan. Aspek nonmedis harus mendapat porsi advokasi besar.
Pembangunan manusia
Hal itu relevan dengan komitmen pemerintah yang fokus membangun mutu manusia Indonesia. Pasien TB yang sembuh lebih produktif dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengakui, dalam eliminasi TB selama ini beban sosial pasien belum banyak mendapat per- hatian. Tenaga kesehatan lebih fokus pada aspek medis. ”Tenaga kesehatan tak bisa sendirian mengerjakan ini,” ujarnya.
Ketua Stop TB Partnership Indonesia Arifin Panigoro menyampaikan, perlu cara baru kampanye eliminasi TB. Sebab, tantangan yang dihadapi tak mudah.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Bambang Wibowo menambahkan, salah satu kelemahan upaya eliminasi TB ialah pencatatan dan pelaporan. Kasus TB di fasilitas kesehatan swasta tak terekam dengan baik. Padahal, banyak kasus TB ditangani fasilitas kesehatan swasta.
Kini pemerintah mengembangkan sistem informasi pencatatan yang melibatkan rumah sakit swasta. Dengan demikian, pasien yang menjalani terapi di rumah sakit swasta tercatat dalam sistem nasional. Selain meningkatkan notifikasi kasus, hal itu membuat terapi lebih terstandar.–ADHITYA RAMADHAN
Sumber: Kompas, 15 November 2018