Isu kegagalan sistem peringatan dini bencana Indonesia (InaTEWS) kembali muncul terkait tsunami Palu.
Parameter keberhasilan suatu sistem adalah hasil akhirnya. Suatu sistem dikatakan tidak gagal jika dan hanya jika hasil akhirnya sesuai yang diharapkan. Parameter InaTEWS, secara menyeluruh, adalah ada tidaknya atau banyak dan sedikitnya korban. Ratusan orang menjadi korban tsunami Palu, di luar jumlah korban luka dan hilang. Masuk akal jika dikatakan InaTEWS gagal. Masihkah tidak diakui?
Ahmad Arif, jurnalis Kompas, menuliskan bagaimana Jepang membangun sistem peringatan dini dan mitigasi tsunami (Kompas, 10 Oktober 2018). Sistem ini tidak selesai seketika, tetapi dibangun setahap demi setahap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setiap bencana tsunami adalah berkah dan jalan bagi penyempurnaan sistem. Dari setiap tsunami, kelemahan sistem diketahui. Kegagalan adalah keniscayaan, buah dari masih terbatasnya pemahaman manusia atas perilaku bumi. Maka, penyempurnaan tidak akan pernah selesai karena tantangan terhadap sistem selalu berubah. Inilah yang membuat masyarakat Jepang menjadi pembelajar.
Masih bermasalah
Dengan perspektif itu, adalah naif jika ada yang menyatakan InaTEWS sama sekali tidak gagal. Pernyataan ini tidak bijak karena bisa menghentikan upaya untuk terus menyempurnakan sistem. Tulisan Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempabumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG (Kompas, 13 Oktober 2018), seolah hendak menghentikan kritik kepada BMKG atas kegagalan bagian InaTEWS.
Kritik ini bukan yang pertama. Hampir di setiap kejadian gempa besar, BMKG menerima kritik, yang sesungguhnya kritik membangun. Ini menunjukkan harapan yang besar bahwa suatu saat InaTEWS benar-benar mampu menghindarkan masyarakat dari bencana tsunami.
Bagi orang yang memahami kerja InaTEWS, tulisan itu memicu tanda tanya besar, menguatkan dugaan bahwa sistem bukan hanya gagal di bagian hilir, yaitu masyarakat, melainkan sejak dari hulu. Bukankah saat memutuskan untuk mengakhiri peringatan dini tsunami pukul 18.36 BMKG tidak tahu bahwa tsunami sudah terjadi di Palu? Ini karena tidak ada detektor tsunami di lepas pantai dan sensor pasang surut di pelabuhan juga tidak berfungsi akibat putusnya aliran listrik.
Jadi, apa yang mendasari pengakhiran peringatan dini tsunami? Bukankah tsunami adalah rangkaian gelombang dengan jumlah gelombang bisa lebih dari tiga dan selisih waktu antargelombang bisa 10 menit? Bukankah tsunami hampir selalu dimulai gelombang awal yang tidak tinggi sebelum gelombang tertingginya menerjang? Dengan demikian, bukankah mengakhiri peringatan dini pada menit ke-34 adalah tindakan sembrono karena sensor pasang surut di Mamuju mendeteksi terjadinya tsunami pada menit ke-25?
Tidak dapat dinafikan peradaban manusia bertumbuh bukan di atas keberhasilan, melainkan kegagalan. Maka, kemampuan mengakui kegagalan menjadi langkah penting untuk bertumbuh. Pergulatannya adalah kegagalan untuk sebagian kultur sosial masyarakat sudah telanjur dianggap aib.
Mengakui kegagalan berarti keberanian menerima kecaman, pembulian, dan pengucilan sosial. Ini tentunya menakutkan bagi kebanyakan orang. Konsekuensinya, tumbuh kultur sosial untuk menutupi kegagalan, yaitu kultur berbohong. Inilah proses degradasi budaya yang berujung pada hancurnya kehidupan dan kemanusiaan yang menyeluruh.
Sistem peringatan dini
Sistem peringatan dini tsunami di seluruh dunia bergantung pada dua detektor, yaitu detektor gempa (seismometer) dan tsunami (tsunameter).
Seismometer dipakai untuk merekam guncangan gempa. Dari analisis sinyal seismometer, diketahui magnitudo, hiposenter, episenter, dan mekanisme pergeseran patahan (sesar) pemicu gempa. Parameter ini menjadi isi peringatan dini pertama yang dikeluarkan oleh BMKG.
Potensi tsunami dalam peringatan dini pertama masih berdasarkan pada letak episenter gempa dan mekanisme gerak patahan. Jika gempa mengandung gerak vertikal dan episenter berada di bawah laut, gempa dinyatakan berpotensi tsunami.
BMKG menggunakan sedikitnya tujuh sinyal seismometer yang paling awal mencapai pusat analisis data untuk menghasilkan peringatan dini pertama. Perlu hampir 5 menit untuk mendapat sejumlah sinyal dan menyelesaikan analisis gempanya. Setidaknya 1 menit tambahan diperlukan untuk mengirim informasi peringatan dini ke media, penyedia komunikasi seluler, BPBD, BNPB, serta TNI dan Polri sebagai pendukung. Jadi, diperlukan sekurangnya 6 menit supaya informasi ini sampai ke masyarakat, bisa lebih lama jika rantai dalam sistem rusak.
Informasi peringatan dini kedua berisi pembaruan parameter gempa dan konfirmasi apakah tsunami terjadi atau tidak berdasarkan tsunameter (tsunami buoy) khususnya yang dipasang di lepas pantai. Tsunameter di lepas pantai menjadi pendeteksi tsunami sebelum gelombang mencapai daratan. Namun, InaTEWS tidak menggunakan tsunameter sejak 2012.
Sensor pasang surut (marimeter) di pelabuhan dipasang oleh Badan Informasi Geospasial tidak untuk deteksi tsunami, tetapi untuk kadastral dengan interval pembacaan setiap 15 menit. Jika tsunami sampai pelabuhan 1 menit setelah marimeter membaca terakhir kalinya, marimeter akan membaca lagi 14 menit kemudian. Boleh jadi gelombang tsunami berikutnya sudah menghancurkannya sebelum mendeteksi tsunami.
Dalam InaTEWS, konfirmasi terjadinya tsunami diperoleh dari marimeter dan saksi mata. Namun, ini berarti tsunami sudah sampai daratan. Tidak ada waktu lagi untuk menyelamatkan diri. Inilah hulu InaTEWS saat ini!
InaTEWS saat ini hanya mengandalkan seismometer. Saat gempa Palu, masyarakat sudah merasakan guncangan gempa dan menerima dampaknya saat sinyal seismometer baru mencapai BMKG untuk diolah.
Bagi masyarakat di pantai, guncangan gempa harus menjadi peringatan dini tsunami. Apalagi untuk wilayah dengan ancaman tsunami serupa Palu, yaitu waktu antara gempa dan tsunami melanda daratan kurang dari 10 menit, di antaranya pantai barat Sulawesi, pantai utara Bali, Lombok, Sumbawa dan Flores, deretan pulau di sebelah barat Sumatera mulai dari Simeulue hingga Enggano, serta Maluku.
Menunggu informasi peringatan dini dari BMKG berarti kehilangan waktu 6 menit untuk menyelamatkan diri, waktu yang amat berarti di tengah kepanikan. Apalagi jika ada anak-anak dan lansia yang harus dijaga.
Jika guncangan gempa terasa lebih dari 60 detik, kuat dan lemah mengayun tidak ada bedanya, gempa ini berpotensi memicu tsunami. Masyarakat harus segera menjauhi pantai atau ke tempat tinggi.
Eko Yulianto Peneliti Paleotsunami dan Kebencanaan Puslit Geoteknologi LIPI
Sumber: Kompas, 23 Oktober 2018