Kuliah jarak jauh akan makin digalakkan untuk meningkatkan angka partisipasi kasar pendidikan tinggi. Pemerintah menargetkan pada tahun 2019 angka partisipasi kasar pendidikan tinggi naik menjadi 35 persen.
“Saat ini, baru 32,5 persen penduduk Indonesia yang mengakses pendidikan tinggi,” kata Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir ketika berpidato dalam acara Dies Natalis ke-34 Universitas Terbuka di Tangerang Selatan, Banten, Selasa (4/9/2018).
Angka itu masih di bawah negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia (38 persen) dan Korea Selatan (92 persen). Pendidikan tinggi, baik berupa akademik maupun vokasi, memberi seseorang kemampuan berpikir kritis, terstruktur, dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja maupun di masyarakat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWAR–Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir dalam acara Dies Natalis ke-34 Universitas Terbuka.
Nasir mengungkapkan, dari 170 negara, Indonesia berada di peringkat 36 karena masih tertinggal di pendidikan tinggi dan pelatihan keterampilan kerja. Harus ada langkah yang drastis dalam mengatasi permasalahan ini. Caranya dengan membuka akses kuliah luas melalui kuliah jarak jauh.
“Pendidikan tinggi semestinya memberi ruang gerak luas dan fleksibel. Tentunya disertai pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat guna memastikan materi, cara penyampaian, dan evaluasinya sesuai dengan standar,” paparnya.
Pendidikan tinggi semestinya memberi ruang gerak luas dan fleksibel. Tentunya disertai pengawasan dan penjaminan mutu yang ketat guna memastikan materi, cara penyampaian, dan evaluasinya sesuai dengan standar.
Kemenristek dan Dikti mencatat ada 26 program studi yang sudah dilaksanakan secara jarak jauh, yaitu 50 persen daring dan 50 persen tatap muka. Adapula yang sudah daring secara sepenuhnya. Kuliah jenis ini hanya boleh dilangsungkan oleh prodi berakreditasi A. Bahkan, prodi daring merupakan prodi mandiri yang dosennya terpisah dari prodi reguler guna memastikan mutu perkuliahan. (Kompas, 20 November 2017).
Universitas Terbuka
Pilihan paling utama ialah mengembangkan program kuliah di Universitas Terbuka (UT). Nasir menilai, UT memberi kesempatan bagi penduduk Indonesia yang terbentur kendala biaya dan waktu kuliah agar bisa menempuh pendidikan tinggi tanpa dibatasi tenggat waktu.
“Ke depan, semestinya kuliah daring bisa dikembangkan agar tak bergantung pada komputer, melainkan memakai ponsel pintar. Jadi tenaga kerja Indonesia yang bekerja di kapal di tengah laut pun bisa ikut kuliah,” katanya. Selain itu, modul kuliah dwibahasa dikembangkan agar mahasiswa terbiasa membaca teks berbahasa Inggris sehingga bisa mengakses publikasi dari perguruan tinggi di luar negeri.
Target satu juta mahasiswa
Pemerintah meminta agar UT bisa menaikkan target merangkul 1 juta mahasiswa. Rektor UT Ojat Darojat mengatakan, jumlah mahasiswa UT tercatat ada 60.000 orang. Pada tahun 2017, perguruan tinggi ini berhasil merangkul 28.000 orang yang tidak diterima di perguruan tinggi negeri karena keterbatasan kuota atau setara dengan 10 persen lulusan SMA sederajat pada tahun 2017.
“Kami mempromosikan bahwa UT adalah pilihan untuk pendidikan tinggi, bukan pilihan terakhir,” ujarnya. Universitas Terbuka memakai sistem pendaftaran yang terbuka sepanjang tahun sehingga mahasiswa tidak perlu khawatir terhambat oleh kuota.
Dalam acara itu, UT juga membebaskan biaya kuliah untuk para mahasiswanya yang terdampak oleh gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.–LARASWARI ARIADNE ANWAR
Sumber: Kompas, 5 September 2018