Sebagai akademisi keilmuan Geodesi dan Geomatika yang akrab dengan peta dan perpetaan, saya tahu banyak peta tematik di Indonesia yang belum mengacu pada peta dasar yang sama. Masalah ini masih bertambah dengan skala, sistem proyeksi, dan tahun pembuatan peta tematik yang kerap berbeda.
Akibatnya, jika berbagai peta tematik tersebut ditumpang tindihkan (overlay) di wilayah yang sama, terjadi ketidaksesuaian geometrik. Kalau setiap peta tematik juga memuat sejumlah izin legal, terjadilah tumpang tindih perizinan.
Kejadian tumpang tindih ini kerap ditemukan. Banyak kasus di mana izin perkebunan kelapa sawit dan pertambangan tumpang tindih dengan kawasan lindung, lahan adat, dan lahan gambut dengan fungsi lindung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ratusan ribu kasus
Berdasarkan analisis spasial Kementerian Koordinator Perekonomian, terdapat lebih dari 430.000 lokus tumpang tindih di Pulau Kalimantan saja. Ini berarti 12 persen-47 persen dari luas provinsi di Kalimantan terindikasi bermasalah. Sebagian besar tumpang tindih berasal dari ketidaksesuaian antara rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan batas kawasan hutan dan perizinan.
SAFRUDIN/SAVE OUR BORNEO–Perkebunan sawit mengepung Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Foto diambil pada pertengahan tahun 2017 lalu. Saat ini tanaman sawit semakin dekat dengan bibir danau.
Berdasarkan kajian sistem perencanaan hutan KPK tahun 2010, potensi kerugian akibat tumpang tindih izin usaha pertambangan (IUP) di hutan di Kalimantan Rp 15,9 triliun.
Ketidakpastian kepemilikan lahan telah memberi ruang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk mengeksploitasi sumber daya alam. Ini yang berdampak pada kerusakan lingkungan, konflik tenurial, perubahan iklim, ekonomi yang tidak berkelanjutan, sekaligus korupsi sumber daya alam.
Ketelanjuran yang terjadi selama puluhan tahun ini akibat kurangnya ketersediaan basis data spasial yang terpadu, terbaru, dan akurat sebagai acuan pembangunan atau perencanaan. Jika ketelanjuran ini tidak diatasi, pembangunan Indonesia akan terus berjalan tanpa berbasis data, lebih parah lagi, berdasarkan data yang salah.
Kebijakan satu peta sejatinya adalah upaya mengatasi berbagai permasalahan dan merupakan langkah awal bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berbasis data.
Skala operasional
Melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (KSP) pada tingkat ketelitian peta skala 1:50.000, pemerintahan Presiden Joko Widodo berupaya mengatasi permasalahan data spasial pada skala yang operasional.
Kemenko Perekonomian dan Badan Informasi Geospasial (BIG) memimpin percepatan perbaikan data spasial tematik dalam satu referensi, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal melalui empat tahapan, yakni kompilasi, integrasi, sinkronisasi, dan berbagi pakai (data sharing).
Tahap pertama adalah kompilasi. Kemenko Perekonomian dan BIG mengumpulkan 85 peta tematik dari 19 kementerian/lembaga dan 34 provinsi. Tahap kedua integrasi, berarti menyelaraskan peta tematik agar sesuai peta dasar atau peta Rupa Bumi Indonesia.
Peta tematik yang telah diperbaiki akan dimuat dalam geoportal yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada Agustus 2018. Ini adalah sebuah prestasi yang bersejarah di ulang tahun ke-73 Kemerdekaan Indonesia.
Namun, pekerjaan belum usai. Tahap ketiga adalah sinkronisasi, penyelesaian tumpang tindih antarpeta tematik yang melibatkan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah terkait. Karena melibatkan berbagai pihak dan berimplikasi pada perubahan regulasi dan kebijakan, tahap sinkronisasi akan membutuhkan waktu lebih lama. Kemenko Perekonomian tengah mengembangkan panduan sinkronisasi yang berisi identifikasi tipologi tumpang tindih peta serta rekomendasi penyelesaiannya.
Tahap terakhir adalah berbagi pakai, di mana data hasil integrasi dan sinkronisasi dikelola dan dibagikan kepada pengguna di lingkup pemerintahan dan publik.
Saat ini, protokol akses berbagi pakai data tengah disusun untuk mengatur tata kelola dan klasifikasi akses, termasuk diunduh, dilihat, atau tertutup bagi seluruh pengguna. Berbagi pakai data dijalankan melalui Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN), yang merupakan sistem pengelolaan informasi geospasial terpadu antarinstitusi yang disebut simpul jaringan.
Setiap simpul jaringan perlu menyiapkan kelembagaan, kebijakan, sumber daya manusia, teknologi, dan standar pengelolaan data spasial hasil kebijakan satu peta.
Tahun ini, BIG sebagai pembina simpul jaringan mendorong kesiapan pemerintah pusat dan daerah dalam berbagi pakai data. Dari 19 kementerian/lembaga peserta Kebijakan Satu Peta, 16 simpul jaringan telah berfungsi. Dari seluruh provinsi, 34 simpul jaringan telah terhubung.
JIGN direncanakan akan mengakomodasi simpul jaringan kabupaten/kota serta simpul jaringan PPIDS (Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial) dari satu perguruan tinggi negeri (PTN) di setiap provinsi. Saat ini sudah 26 kabupaten/kota dan 20 PPIDS PTN terkoneksi ke JIGN (data per 9 Agustus 2018).
Akses terbuka
Akses terhadap geoportal Satu Peta juga sepatutnya terbuka bagi masyarakat. Ketersediaan data satu peta bagi masyarakat, jika dimanfaatkan dengan benar, dapat berdampak positif. Dengan transparansi data, masyarakat dapat melengkapi upaya pemerintah mengawasi perencanaan pembangunan secara inklusif. Harapannya, eksploitasi sumber daya alam, tumpang tindih lahan, dan konflik sosial tidak terjadi lagi.
Peluncuran geoportal Satu Peta oleh Presiden Joko Widodo adalah hasil kerja bersama, tetapi seyogianya tidak dipandang sebagai titik akhir.
Dalam hal ini, penting untuk memastikan data spasial hasil KSP terus diperbaiki berdasarkan realitas di lapangan serta didetailkan ke skala yang lebih besar (seperti skala 1:5000 dan 1:1000) sesuai tuntutan berbagai program pembangunan di level tapak saat ini sekaligus meminimalkan konflik.
Hasanuddin Z Abidin Kepala Badan Informasi Geospasial
Sumber: Kompas, 5 September 2018