Pengembangan varietas tanaman bioteknologi di Indonesia masih terkendala oleh ketidaksiapan regulasi. Padahal, Indonesia mempunyai potensi besar dalam bidang bioteknologi. Pemanfaatannya pun semakin dibutuhkan untuk menyediakan kebutuhan pangan yang terus meningkat.
“Potensi bioteknologi yang besar di Indonesia perlu dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai masalah sosial ekonomi nasional, terutama masalah penyediaan pangan murah bagi masyarakat Indonesia yang populasinya terus bertumbuh pesat,” ujar Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor Manuntun Parulian Hutagaol di Bogor, Senin (20/8/2018).
Ia menyatakan, tanpa dukungan teknologi pertanian yang lebih maju, Indonesia perlu menambah lahan sawah seluar 1,5 juta hektar untuk memenuhi kebutuhan beras nasional tanpa impor. Perluasan lahan di Pulau Jawa dinilai tidak mungkin dilakukan dengan jumlah penduduk yang semakin padat, sementara ekstensifikasi di luar Jawa butuh biaya yang sangat mahal meski lahan tersedia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–(kiri-kanan) Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor Manuntun Parulian, Peneliti Utama Bidang Bioteknologi Pertanian Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian M Herman, Ketua Direksi ISAAA Paul S Teng, Direktur Indobic Bambang Purwanta, dan Director ISAAA-Global Knowledge Center Rhodora R Aldemita di Bogor, Senin (20/8/2018).
Direktur Indonesian Biotechnology Information Centre (Indobic) Bambang Purwanta berpendapat, meskipun kebutuhan semakin mendesak, regulasi yang berlaku saat ini dinilai justru menghambat percepatan pemanfaatan bioteknologi di sektor tanaman pangan. Regulasi tersebut terkait pedoman pengawasan pascapelepasan dan prosedur pelepasan atau pun pendaftaran varietas bioteknologi tanaman pangan.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik, pengkajian keamanan hayati harus memenuhi persyaratan keamanan lingkungan, keamanan pangan, dan keamanan pakan. Pengawasan keamanan pangan menjadi tanggung jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan, sementara keamanan lingkungan berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan keamanan pakan Kementerian Pertanian.
“Namun itu tidak cukup. Saat ini sudah ada dua produk yang sudah lolos uji keamanan pangan, pakan, dan lingkungan, namun belum bisa dikomersialisasikan karena terganjal prosedur pelepasan varietas. Dua produk ini adalah tebu tahan kekeringan dan jagung tahan hama,” kata Bambang.
Menurutnya, Indonesia sebenarnya telah merintis tebu tahan kekeringan lebih dulu daripada Argentina. Namun, pemanfaatannya tertinggal karena kendala regulasi.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO–Pengunjung memetik sendiri saat berbelanja buah stroberi di kawasan Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (24/10/2017). Pengembangan bisnis semacam mengajak interaksi konsumen atas komoditi pertanian menjadi bagian dari inovasi yang menyelamatkan pertanian. Dan hal demikian saat berpeluang untuk dikembangkan dalam bisnis komoditi pertanian pangan lainnya.
Adopsi meluas
Ketua Dewan Direksi International Services for the Acquisition of Agribiotech Application (ISAAA) Paul S Teng menyampaikan, adopsi tanaman bioteknologi DI tingkat global semakin meluas. Dampak dari pemanfaatan tanaman bioteknologi signifikan bagi lingkungan dan perbaikan kondisi sosial-ekonomi petani serta masyarakat.
Ia mencontohkan, produksi tanaman bioteknologi generasi terbaru saat ini adalah apel dan kentang yang tahan kerusakan sehingga tidak mudah berwarna kecokelatan ketika dikupas. Selain itu, nanas manis super berwarna merah muda juga dikembangkan di Hawaii, Amerika Serikat.
“Adopsi tanaman bioteknologi, terutama di negara berkembang telah berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, produksi hasil pangan, dan penurunan angka kemiskinan,” ujarnya.
Laporan ISAAA menunjukkan, area global tanaman bioteknologi meningkat pada 2017 sebesar 3 persen atau setara dengan 4,7 juta hektar dari sebesar 185,1 juta hektar di tahun 2016. Peningkatan ini terjadi karena keuntungan yang meningkat dari harga komoditas yang lebih tinggi. Permintaan pasar domestik dan internasional juga semakin besar terhadap produk dan benih yang tersedia.
Saat ini,dari 24 negara yang menanam tanaman bioteknologi, 19 negara diantaranya adalah negara berkembang. Negara-negara tersebut antara lain, India, Pakistan, Bangladesh, Brazil, Meksiko, Vietnam, dan Kolombia. Tercatat dari 1996-2016, tanaman bioteknologi menghasilkan keuntungan ekonomi sebesar 186,1 miliar dolar AS bagi 17 juta petani.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 21 Agustus 2018