Para ilmuwan diaspora Indonesia mengunjungi perguruan tinggi negeri dan swasta di berbagai daerah pada Rabu (15/8/2018) hingga Kamis (16/8/2018). Kunjungan para ilmuwan diaspora ke sekitar 40 perguruan tinggi ini untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan informasi, serta melihat peluang kolaborasi guna mengangkat perguruan tinggi di daerah agar mampu meningkatkan kualitasnya.
Kunjungan para ilmuwan diaspora ke perguruan tinggi ini bagian dari kontribusi riil para ilmuwan diaspora yang berkiprah di perguruan tinggi maupun lembaga riset dari berbagai negara. Program ini bagian dari acara Simposium Cendekia Kelas Dunia (SCKD) yang digelar Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendididkan Tinggi bersama Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) dan Akademi Ilmuwan Muda Indonesia.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Tiga ilmuwan diaspora berbagi pengalaman dan informasi serta membangun kolaborasi dengan para dosen di Institut Teknologi Sumatera, di Lampung, Rabu (15/8/2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Lampung, misalnya, tiga ilmuwan diaspora yakni Satria Zulkarnaen Bisri (33), peneliti di lembaga riset Riken Jepang (semacam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia); Ratna Saptari Soetikno Slamet, Asisten Profesor Antropologi di Universitas Leiden, Belanda; dan Abidin Kusno, Profesor di Universitas York di Toroto, Kanada, mengunjungi Institut Teknologi Sumatera (ITERA) dan Universitas Lampung. Mereka berbagi pengalaman dengan para dosen dan pimpinan perguruan tinggi untuk memperkuat kapasitas pengajar dan juga penelitian.
Di ITERA, para ilmuwan diaspora diterima Rektor Ofyar Z Tamin. Kampus milik pemerintah yang baru empat tahun didirikan ini diharapkan mampu menjadi perguruan tinggi di bidang sains dan teknologi yang unggul di Sumatera.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Diskusi para ilmuwan diaspora Indonesia bersama pimpinan Institut Teknologi Sumatera di Lampung.
Abidin mengatakan, pengembangan ilmu dan riset yang multidisipliner harus terus dilakukan. Pembaharuan juga perlu dilakukan untuk penyesuaian terhadap perkembangan pasar.
Sementara itu, Ratna, mengatakan, pendekatan ilmu sosial, semisal Antropologi, dalam bidang sains dan teknologi juga perlu menjadi bagian multidisiplin. “Membahas Antropologi, bukan terbatas soal kebudayaan. Soal seperti hubungan sosial, kekuasaan, jender, hingga konflik juga bisa memperkaya dalam pengembangan multidisplin di perhuruan tinggi sains dan teknik,” kata Ratna.
Satria mengatakan, para ilmuwan diaspora menjadi semacam “radar” bagi negara untuk melihat perkembangan terbaru di dunia dalam riset maupun pengelolaan perguruan tinggi. Karena itu, kesempatan untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan informasi ini diharapkan dapat membantu perguruan tinggi di Indonesia melihat kesempatan untuk berbenah mengejar ketertinggalan dalam pengembangan ilmu dan riset.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Para ilmuwan diaspora Indonesia berfoto bersama dosen Institut Teknologi Sumatera.
Ekosistem riset
Menurut Satria, dirinya sebagai diaspora berharap pemerintah mengembangkan ekosistem riset yang semakin baik ke depan. “Riset frontier yang merupakan riset dasar yang potensial untuk menghasilkan inovasi yang penting bagi Indonesia dan dunia juga harus dikembangkan. Harus ada rencana untuk serius berinvestasi dalam bidang riset dan pengembangan,” ujar Satria yang fokus di riset material.
Riset frontier atau riset unggulan merupakan penelitian yang memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada penemuan teori/paradigma/perspektif/ metodologi baru dalam ilmu sosial dan kemanusiaan. Riset di bidang material salah satu contoh riset frontier yang potensial.
Mengenai rencana pemerintah untuk mulai menarik para ilmuwan diaspora yang potensial berkiprah di Tanah Air, Satria mengatakan, pemerintah harus punya desain yang jelas soal mobilitas para diaspora di banyak negara. Mereka yang sudah punya pengalaman dan jaringan internasional bisa ditawarkan pulang dengan menyiapkan peluang yang menantang di Indonesia.
“Selain itu, perlu ada juga rencana yang terus berjalan untuk memberikan kesempatan bagi talenta terbaik bangsa untuk keluar negeri. Namun, jangan tergesa dipanggil kembali pulang, harus ada upaya mendorong mereka punya jaringan internasional. Yang paling penting juga, para diaspora ini dapat membawa budaya kerja atau budaya ilmiah yang dimiliki negara maju untuk pengembangan Indonesia,” ujar Satria yang sejak 2006 bekerja di Jepang. Dia mengikuti posdoktoral di Belanda.–ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2018
———————————
Ilmuwan Diaspora Berikan Dukungan Strategis
Kehadiran para ilmuwan diaspora Indonesia di sejumlah perguruan tinggi di berbagai daerah menghasilkan kolaborasi yang strategis untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi. Kebutuhan untuk meningkatkan profesionalisme dosen dan riset bermutu dari perguruan tinggi mendapatkan dukungan dari para ilmuwan diaspora agar Indonesia mampu bersumbangsih pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia.
Ratna Saptari Soetikno Slamet, Asisten Profesor Antropologi di Universitas Leiden, Belanda, yang mengunjungi perguruan tinggi di Lampung, Jumat (17/8/2018), mengatakan, dari pertemuan dengan pimpinan dan dosen di Universitas Lampung, ada keinginan agar ilmu sosial juga mampu memberikan kontribusi penting dalam pengembangan ilmu dan pembangunan, baik di tingkat lokal, nasional, dan global. Apalagi Universitas Lampung punya keinginan agar kajian soal budaya, khususnya budaya Lampung, bisa terangkat dalam riset dan publikasi ilmiah.
“Kami sepakat untuk memetakan tema-tema riset yang potensial untuk bisa diangkat menjadi seminar atau konferensi internasional. Namun, untuk menuju ke sana, ada hal mendasar yang harus dilakukan dalam upaya memperkuat kemampuan dosen untuk melakukan riset dan publikasi yang berkualitas,” kata Ratna yang sekitar 30 tahun menjadi ilmuwan diaspora di Belanda.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Para ilmuwan diaspora Indonesia berdiskusi bersama para dosen di Universitas Lampung.
Menurut Ratna, di Januari nanti akan ada lokakarya penulisan bagi para dosen. Hal ini dimulai dengan membantu para dosen untuk mampu membaca secara kritis literatur yang jadi rujukan penting dalam melakukan riset dan publikasi.
“Dari pengamatan terhadap publikasi ilmiah di jurnal-jurnal Indonesia, penggunaan teori-teori lebih sebagai inventarisasi. Tidak terlihat ada pemikiran kritis untuk bisa merefleksikan teori tersebut. Kondisi ini perlu dibenahi dengan memperkuat hal dasar yakni membaca kritis untuk dapat melakukan penelitian secara kritis. Pengajaran dosen ke mahasiswa juga harus bisa mendorong pemikiran kritis dengan membekali kemampuan membaca kritis,” ujar Ratna.
Rektor Universitas Lampung Hasriadi Mat Akin mengatakan kejadian ilmuwan diaspora ke kampus dirasakan bermanfaat. Melalui program Simposium Cendekiawan Kelas Dunia (SCKD) sejak tahun lalu, perguruan tinggi dalam negeri mendapatkan dukungan mulai dari kolaborasi hingga dukungan jaringan internasional.
“Kami tahun ini memang meminta ada ilmuwan diaspora di bidang sosial, khususnya Antropologi, yang bisa membantu para dosen. Publikasi ilmiah internasional dari sumbangsih ilmu sosial masih minim. Selain itu, di Lampung sendiri kami ingin Unila mampu mencermati masalah budaya, utamanya soal etnis Lampung yang semakin terpinggirkan,” kata Hasriadi.
Interdisipin
Sementara itu, Abidin Kusno, Profesor di Universitas York di Toroto, Kanada, mengatakan, perguruan tinggi di negara maju bisa berkembang karena tidak rigid soal linieritas. Para dosen dapat mengambil studi yang beragam untuk memperkaya wawasan dan mampu berpikir lintas ilmu. Abidin yang lulusan S1 Arsitektur di Indonesia mengambil S2 dan S3 sejarah seni di Amerika serikat. Lalu, saat ini mengajar di Fakultas Studi Lingkungan di Kanada.
Abidin menawarkan konsep pembelajaran dan riset serta publikasi interdisiplin untuk membuat para dosen Indonesia terbiasa membangun kolaborasi. Dengan demikian, pemikiran kritis dapat dilahirkan ilmuwan perguruan tinggi Indonesia dalam mengkritisi kebijakan pembangunan.
“Ada tema besar yang menaungi pembelajaran maupun riset untuk mewujudkan interdisiplin. Lalu, pengembangan dosen pun perlu dipikirkan untuk dapat menjawab kebutuhan interdisiplin yang kini sudah menjadi trend dunia,” kata Abidin.
Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia (I-4) Deden Rukamana yang juga profesor di Savannah State University, Amerika Serikat, mengatakan, para ilmuwan diaspora yang hadir ke Indonesia diharapkan bisa jadi contoh yang riil tentang peranan para diaspora untuk membantu Indonesia. Apalagi kesenjangan perguruan tinggi di Indonesia sangat lebar, sehingga butuh dukungan untuk dapat memberikan wawasan tentang perkembangan pendidikan tinggi dunia saat ini.
“Tadinya para ilmuwan diaspora di berbagai negara tidak saling kenal, kini bisa juga membangun jaringan. Lalu, komitmen mereka untuk membantu perguruan tinggi bisa jadi inspirasi bahwa para diaspora Indonesia harus dioptimalkan secara strategis,” kata Deden.–ESTER LINCE NAPITUPULU
Sumber: Kompas, 18 Agustus 2018