Sekitar 9 juta anak balita di Indonesia tercatat mengalami stunting atau tubuh pendek atau kerdil akibat masalah gizi kronis. Jumlah tersebut hampir 30 persen dari jumlah balita keseluruhan.
Bahkan, data Kementerian Kesehatan menunjukkan, hanya dua provinsi dari 34 provinsi yang prevalensi stunting balita di daerahnya di bawah 20 persen sesuai batas angka stunting dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu yakni Yogyakarta (19,8 persen) dan Bali (19,1 persen). Angka stunting di provinsi lainnya sekitar 30 persen hingga 40 persen.
Stunting terjadi terutama karena selama 1.000 hari pertama kehidupan anak, terhitung dari 270 hari di kandungan hingga anak usia dua tahun. Ada banyak faktor penyebabnya, antara lain sosial ekonomi, asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit menular, kekurangan mikronutrien, dan lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait faktor asupan makanan, anak harus mendapat asupan gizi yang cukup sejak dalam kandungan. Nutrisi ibu hamil harus dijaga dengan mengkonsumsi menu sehat seimbang, asupan zat besi yang cukup, serta asupan asam folat dan yodium yang cukup. Ketika bayi lahir, ibu juga wajib memberikan ASI (air susu ibu) eksklusif hingga bayi berusia enam bulan. Setelah usia enam bulan, selain mendapat asupan ASI, anak perlu mendapatkan makanan pendamping ASI (MPASI) yang bergizi tinggi paling tidak hingga usia dua tahun.
Masalah gizi anak yang menyebabkan stunting dan kekurangan gizi pada ibu hamil seringkali tidak disadari baik itu oleh individu, keluarga, maupun masyarakat. Ini menjadi ironi karena Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar. Ketergantungan masyarakat terhadap konsumsi beras dan gandum menjadi salah satu penyebabnya. Penyebab lain adalah keterbatasan kemampuan pengolahan makanan di masyarakat.
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA–Sejumlah bahan pangan fungsional tengah dikembangkan oleh Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna (PPTTG) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Subang, Jawa Barat.
Karena itu, Pusat Pengembangan Teknologi Tepat Guna (PPTTG) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berada di Subang, Jawa Barat secara intensif mengembangkan sejumlah produk inovasi pangan untuk ibu hamil, ibu menyusui, dan bayi guna mencegah stunting. Inovasi ini dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal yang disesuaikan dengan karakteristik daerah. Bahan pangan lokal seperti pisang, jagung, dan singkong menjadi bahan dasar pengembangan produk fungsional ini.
Pangan fungsional merupakan pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses kajian ilmiah mengandung satu atau lebih senyawa yang memiliki fungsi fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan. Produk pangan ini bisa dikonsumsi seperti makanan atau minuman pada umumnya. Selain itu, produk ini tidak menimbulkan kontraindikasi dan tidak memberi efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya.
Sejumlah produk pangan fungsional yang sudah dihasilkan antara lain, mi nongandum, banana flake, dan banana bar. Untuk mi nongandum, bahan baku yang digunakan adalah tepung mocaf (fermentasi dari singkong), tepung jagung, dan tepung tempe. Sedangkan produk banana flake dan banana bar menggunakan bahan dasar buah pisang matang dan tepung pisang.
Peneliti Muda Bidang Kimia Pangan LIPI, Enny Sholichah, yang mengoordinir pengembangan produk mi nongandum, menyampaikan, produk ini tidak menggunakan campuran tepung terigu atau bebas gluten sehingga bisa menjadi makanan dengan sumber kalori yang mudah diserap tubuh.
Kadar proteinnya pun lebih tinggi dari beras, yaitu 9,5 persen. Adapun kandungan vitamin dan mineral setara dengan beras. Keunggulan lain adalah adanya kandungan beta karoten yang didapatkan dari jagung.
“Teknologi pengolahan mi nongandum ini sudah diimplementasikan di Kabupaten Sumenep, Madura dengan memberdayakan usaha menengah kecil binaan dari pemerintah daerah setempat. Diharapkan, daerah lain yang memproduksi jagung bisa mengadopsi teknologi ini agar bisa dikembangkan,” katanya.
Adapun banana flake merupakan makanan ringan yang dikembangkan PPTTG sejak tahun 2016. Produk ini berbahan baku pisang. Penggunaan pisang sebagai bahan baku mengingat banyak produksi pisang di Subang. Karena tidak diolah dengan baik, secara umum hanya dikonsumsi secara langsung sebagai buah, banyak pisang yang terbuang karena membusuk.
Pertama-tama, pisang diolah menjadi tepung pisang matang, tepung pisang, dan bubur pisang matang di Laboratorium Mikrobiologi Pangan Pusat Penelitian Biologi LIPI. Tepung pisang ini digunakan sebagai sumber karbohidrat. Adapun kandungan lainnya seperti telur dan susu bermanfaat sebagai sumber protein.
Pada satu kemasan banana flake mengandung kadar air 0,33 persen berat basah dan kadar protein 6,03 persen berat basar. Dari proses fortifikasi (penambahan mikronutrien), produk ini juga mengandung zat besi (Fe), lemak, serat, seng (Zinc), vitamin B1, vitamin B2, dan asam folat. Kemasan yang menarik serta rasa yang manis menjadi daya tarik untuk menjadi camilan bagi anak sekaligus untuk memenuhi asupan gizinya.
Pembuatan pangan fungsional ini menggunakan alat atau mesin khusus yang dikembangkan PPTTG LIPI. Mesin ini dirancang agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Bagai usaha kecil menengah di daerah, LIPI bisa memberikan mesin ini secara cuma-cuma untuk mengembangkan produk pangan fungsional ini.
Terus dikembangkan
Kepala PPTTG LIPI Pramono Nugroho mengatakan, pihaknya terus berupaya mengembangkan produk pangan fungsional dari bahan-bahan pangan lokal lainnya. Teknologi pangan fungsional lain yang sedang dikembangkan adalah pemanfaatan iwung atau biasa disebut rebung (Bambusa bulgaris) yang dimanfaatkan sebagai penambah sumber energi bagi ibu pascamelahirkan dan sebagai produk untuk memperlancar ASI. Produk lainnya adalah MPASI berbasis mocaf dan bubur instan MPASI berbasis sorgum untuk terapi gizi saluran pencernaan bayi.
Produk MPASI berbasis mocaf maupun sorgum akan dikembangkan dengan penambahanan kandungan gizi lain, seperti kacang hijau, kacang merah, dan macam-macam kandungan sayur serta buah. Selain untuk menunjang asupan gizi pada anak usia 6-12 bulan, keunggulan bahan mocaf dan sorgum dibandingkan dengan beras adalah tidak memicu terjadinya obesitas pada anak.
“Masih dalam tahap uji formula. Dari hasil penelitian, sorgum mengandung sumber gizi makro, seperti karbohidrat, protein, lemak, serta sumber gizi mikro dari formulasi kandungan lain, seperti vitamin dan mineral,” ujar Diki Nanang Surahman, Peneliti Madya Bidang Teknologi Pengelolaan Pangan LIPI yang mengoordinir penelitian terkait MPASI berbasis sorgum.
Sementara itu, pemanfaatan iwung atau rebung sebagai penambah sumber energi bagi ibu setelah melahirkan dan memperlancar ASI pada ibu menyusui sebenarnya merupakan kebiasaan yang sudah dilakukan oleh sebagian ibu-ibu di daerah Jawa Barat, khususnya suku Sunda. Namun, melalui proses penelitian, pemanfaatan iwung dibuktikan secara ilmiah.
Peneliti Madya Bidang Teknologi Pengelolaan Pangan LIPI, Rima Kumalasari, mengatakan, pengembangan untuk pemanfaatan iwung masih dalam tahap karakterisasi pembuktian antioksidan yang diduga mengandung laktogogum sebagai pelancar ASI. “Diduga fungsi iwung ini sama dengan daun katuk dan daun kelor untuk memperlancar produksi ASI. Selain itu, keunggulan lain dari iwung ini banyak tumbuh di tengah masyarakat,” katanya.
Dari sejumlah kajian yang dilakukan, tujuan utama yang ingin disasar dengan pengembangan produk pangan bergizi dari bahan-bahan pangan lokal ini adalah untuk menunjang kebutuhan pangan dan gizi secara menyeluruh, mulai dari ibu hamil, ibu menyusui, balita, hingga remaja. Gizi yang diberikan adalah protein, lemak, vitamin, dan mineral yang disesuaikan degan Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Akses terhadap makanan bergizi terutama pada masyarakat dengan kasus stunting tinggi pun perlu lebih diintervensi melalui pengadaan pangan bergizi dengan harga terjangkau, pemberian makanan tambahan, dan pendidikan. Untuk itu, sentuhan inovasi teknologi sederhana pada potensi pangan lokal diharapkan bisa semakin dimanfaatkan untuk mewujudkan keberagaman pangan dan pemerataan gizi di Indonesia. Komitmen pemerintah, terutama pemerintah daerah, untuk mengembangkan potensi pangan lokal menjadi sangat penting untuk mendukung upaya tersebut.–DEONISIA ARLINTA
Sumber: Kompas, 13 Agustus 2018