Kekayaan sumber daya genetik Indonesia memiliki potensi ekonomi tinggi. Namun, selama ini beberapa sumber daya genetik sudah diteliti peneliti asing dan dikomersialkan tanpa memberi keuntungan bagi Indonesia. Karena itu, dibutuhkan undang-undang khusus yang mengatur penggunaan sumber daya genetik tersebut.
Direktur Pangan dan Pertanian Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN), Anang Noegroho, mengatakan, sumber daya genetik dari flora dan fauna memiliki kekuatan ekonomi tinggi. Kontribusi ekonomi sumber daya genetik untuk bahan obat, kesehatan, dan kosmetika pada tahun 2012 sebesar Rp 4 miliar. Hal itu ia sampaikan pada Kongres Sumber Daya Genetik VII di Balai Besar Biogen, Cimanggu, Bogor, Selasa (14/8/2018).
Potensi ekonomi sumber daya genetik itu menurutnya perlu dikelola dengan baik karena bias mendorong pembangunan nasional. Anang mengatakan, dibutuhkan peraturan berupa undang-undang yang mengatur pemanfaatan sumber daya genetik di Indonesia. “Rancangan Undang-undang SDG (Sumber Daya Genetik) seyogianya cepat untuk disahkan,” kata Anang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal ini ia sampaikan karena peneliti asing kerap memanfaatkan genetika dari hewan dan tumbuhan di Indonesia. Sayangnya, hasil dari penelitian tersebut tidak disertai dengan pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya genetik di Indonesia.
SUCIPTO UNTUK KOMPAS–Suasana Kongres Sumber Daya Genetik VII di Balai Besar Biogen, Cimanggu, Bogor, Selasa (14/8/2018).
Staf Ahli Komite II DPD, Rusli Abdullah, mengatakan, belum lama ini sejumlah peneliti di Amerika meriset darah komodo. Penelitian yang dipimpin oleh Monique van Hoek ini meneliti darah komodo untuk dimanfaatkan sebagai penyembuh luka.
Rusli mengatakan, penelitian itu seharusnya memberi kontribusi bagi masyarakat Indonesia karena komodo adalah binatang khas Indonesia. Jika penelitian itu dikomersialkan sebagai obat luka, potensi ekonominya besar.
“RUU SDG (Sumber Daya Genetik) sudah diajukan. Hal ini perlu mendapat perhatian karena seharusnya ada pembagian keuntungan yang adil dan merata atas pemanfaatan sumber daya genetik di Indonesia,” kata Rusli.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ragil Yoga Edi, mengatakan, pembagian keuntungan yang dimaksud, antara lain pertukaran ilmu pengetahuan dan pembagian keuntungan.
Peneliti asing yang meneliti di Indonesia seharusnya bermitra dengan peneliti lokal. Hal ini dimaksudkan agar ada proses transfer pengetahuan dari hasil penelitian tersebut. Selain itu, ada perjanjian pembagian keuntungan kepada pemerintah Indonesia jika hasil penelitian itu dikomersialkan.
Menurutnya, wilayah Indonesia yang luas membuat peneliti asing melakukan riset tanpa diketahui pemerintah. Bahkan, ia pernah menemui sebuah kasus peneliti berkedok turis. Ia pernah menemukan turis di Bali yang menangkap kupu-kupu untuk diteliti pada tahun 2000-an.
Menurut Ragil, belum adanya peraturan yang mengikat ini membuat etika di dalam penelitian kerap diabaikan peneliti asing di Indonesia. “Untuk menjaga sumber daya genetik, pemanfaatannya secara arif,” kata Ragil. (SUCIPTO)–YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 15 Agustus 2018