Hipnopedia atau kemampuan untuk belajar sambil tidur populer di kampanyekan pada tahun 1960-an. Konsep ini digadang-gadang sebagai salah satu upaya membentuk manusia masa depan yang unggul, bersama dengan pemanfaatan teknologi dan manipulasi psikologi.
Kemampuan belajar sambil tidur itu dipopulerkan melalui novel fiksi ilmiah Brave New World yang ditulis Aldous Huxley pada tahun 1931. Namun konsep itu akhirnya ditinggalkan karena kurangnya bukti ilmiah yang mendukung kemampuan manusia belajar sembari tidur.
Studi terbaru yang dipimpin Philippe Peigneux dari Institut Neurosains, Universitas Libre de Bruxelles (ULB), Belgia dan dipublikasikan di jurnal Scientific Reports, Senin (6/8/2018), menunjukkan saat tidur, otak manusia masih mampu menangkap suara-suara, sama seperti saat terjaga. Namun, saat tidur, otak tidak bisa mengelompokkan suara-suara itu secara berurutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN–Anggota DPR tertidur saat mengikuti rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (30/3). Saat tidur, otak manusia merekam suara-suara di sekitarnya. Namun, otak tidak bisa mengelompokkan suara-suara itu sesuai urutan.
Salah satu yang mendasari studi tersebut adalah riset terbaru sebelumnya yang menunjukkan otak manusia masih memberi respon terhadap stimulus dasar selama tidur. Kemampuan itu berlaku pada otak hewan dan manusia. Namun, studi itu tidak menjelaskan apakah belajar sambil tidur seperti yang digaungkan beberapa dekade sebelumnya benar-benar bisa diwujudkan sebagai metode pembelajaran baru di masa depan.
Aktivitas otak
Untuk membuktikan apakah belajar sambil tidur memungkinkan, Juliane Farthoaut, anggota peneliti lain dari ULB dibawah arahan Philippe, berusaha mencatat aktivitas otak para responden saat diberi stimulus suara menggunakan magnetoensefalografi (MEG). Perekaman aktivitas otak saat diberi stimulus suara itu dilakukan saat responden tidur atau terjaga.
Untuk fase tidur, respon suara yang direkam berlangsung dalam fase tidur terdalam atau tidur nyenyak. Pada fase tidur nyenyak itu, frekuensi gelombang tidur otak dalam kondisi paling lemah (short wave sleep/SWS).
Sementara itu, stimulus suara yang diberikan berupa suara yang dikelompokkan dalam tiga set atau kondisi, yaitu suara cepat, suara acak yang terorganisasi dan suara yang terstruktur.
Hasilnya, MEG mencatat bahwa otak manusia terus menangkap suara-suara yang ada meski dalam fase tidur paling nyenyak sekalipun. Perekaman suara yang sama juga berlangsung saat responden terjaga.
Bedanya, sepanjang tidur, otak hanya mengisolasi suara-suara tersebut, tetapi otak tidak menunjukkan respon untuk mengelompokkan suara-suara tersebut. Sebaliknya, saat terjaga, otak responden mengelompokkan suara-suara itu dalam tiga kondisi seperti stimulus yang diberikan.
Studi Philippe dan rekan itu itu menunjukkan kemampuan otak manusia mengelompokkan sumber suara, yang biasa dilakukan saat terjaga, benar-benar hilang saat manusia tidur. Alhasil, keterbatasan intrinsik dalam pengolahan suara di otak itu membuat belajar sambil tidur yang dicita-citakan manusia untuk masa depan sulit diwujudkan. (SCIENCEDAILY)–M ZAID WAHYUDI
Sumber: Kompas, 10 Agustus 2018